Suara
Kelompok Feminis
dan
Tantangan Nawa Cita Jokowi : Sebuah Refleksi
Ruth Indah Rahayu ; Pelaku dan Pengamat Politik Perempuan
|
INDOPROGRESS,
26 September 2014
MARY E. Hawkesworth (Holmstorm, 2002) mengajukan pertanyaan yang
mengguncang pegiat demokrasi: mengapa
demokrasi yang dirayakan oleh politisi, ilmuwan politik dan masyarakat
politik, malah menciptakan redistribusi sumberdaya yang tidak adil gender,
sehingga membuat kehidupan perempuan bertambah buruk dan terdislokasi dari
demokrasi itu sendiri?
Ia mencontohkan hasil pemilu legislatif di Eropa Timur dan Amerika
Latin pada dekade 1990an, jauh dari keterwakilan 30 persen perempuan.
Kehidupan perempuan di Eropa Timur makin banyak yang menganggur dari kerja
produktif, sementara tunjangan terhadap kesehatan reproduksi dan pengasuhan
anak dibatasi negara. Keadaan serupa terjadi di Afrika, Amerika Latin dan
Asia, ketika kebijakan penyesuaian struktural sejak dekade 1970an diwajikan
oleh IMF untuk dilaksanakan negara-negara pengutang, maka anggaran untuk
reproduksi sosial dipotong secara besar-besaran. Kebijakan penyesuaian
struktural menambah jam kerja perempuan di ranah produktif demi melangsungkan
keluarga agar dapat bertahan hidup, tetapi tanpa mengurangi kerja perempuan
di ranah reproduktif/domestik. Akibatnya, keadaan perempuan tergusur dari
perayaan demokrasi yang pada mulanya diasumsikan dapat menjamin kesetaraan
dan kesempatan yang sama bagi warganegara untuk memperoleh hak-hak dasarnya.
Tetapi demokrasi dalam praktik ini telah mengabaikan aspek keadilan sosial,
terkhusus keadilan gender.
Pertanyaan Hawkesworth itu kiranya relevan untuk kita refleksikan ke
dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Meski tulisan ini tidak bermaksud
mengupas tentang demokrasi, namun kita dapat meminjam unsur yang dijamin
dalam demokrasi, yakni mengenai ‘kesetaraan atas perbedaan’ dan keadilan.
Dalam konteks warga negara, perbedaan adalah kondisi alami, termasuk
perbedaan gender. Tetapi pada kenyataannya, adanya perbedaan gender harus
disuarakan agar mendapat pengakuan. Sebab dalam perbedaan, seringkali yang
muncul adalah ketidaksetaraan akibat dominasi kelompok satu terhadap lainnya,
gender laki-laki terhadap gender perempuan, sehingga gender yang
tersubordinasi tidak dikenali atau dilenyapkan seluruh peranannya sebagai
warganegara. Hal ini berimplikasi pada munculnya ketidakadilan dalam
mendistribusikan sumberdaya negara terhadap warganegara yang bergender
perempuan. Keadilan sosial merupakan aspek yang genting yang seringkali
dilenyapkan dalam gagasan dan praktik demokrasi.
Aspek keadilan sosial telah dikaji oleh Nancy Fraser (1997; 2003), dan
menurutnya memiliki dilema di dalamnya. Di satu pihak keadilan sosial
mengandaikan adanya rekognisi (recognition)
terhadap perbedaan identitas, baik berdasarkan gender, ras, seks, etnis,
agama, yang setara sebagai warganegara. Tetapi, perbedaan dan kesetaraan
justru menjadi masalah ketika dikaitkan dengan negara. Maka munculah
perjuangan untuk mendapatkan pengakuan atas identitas tertentu. Di lain
pihak, keadilan sosial mengandaikan adanya relasi kelas, dimana kelas
borjuasi mendominasi redistribusi (redistribution)
sumberdaya ekonomi, sehingga kelas pekerja yang tereksploitasi dalam struktur
ekonomi kapitalis sama sekali tidak memperolehnya. Maka munculah perjuangan
untuk mendapatkan redistribusi ekonomi.
Perjuangan untuk memperoleh rekognisi mendominasi perjuangan sepanjang
akhir abad 20, bahkan sampai awal abad 21, dengan tema-tema yang menonjol
berupa nasionalitas, etnisitas, ras, dan seksualitas. Kepentingan perempuan
dan perjuangan feminis termasuk dalam kategori perjuangan untuk memperoleh
pengakuan sebagai seks yang mengalami ketidakadilan sosial. Perjuangan untuk
memperoleh pengakuan (yang berimplikasi pada identitas) dalam pengalaman
politik, seringkali bersitegang dengan perjuangan atas nama kepentingan kelas
untuk memperoleh redistribusi ekonomi. Secara empiris, kita mengambil contoh
tuntutan kelas pekerja (buruh) seperti tidak berhubungan sama sekali dengan
tuntutan kelompok-kelompok feminis, masyarakat adat, bahkan juga tuntutan
LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual dan Queer). Fraser mengatakan
bahwa tegangan itu bersifat paradigmatik yang selama ini dianggap sebagai dua
kutub yang berseberangan. Tegangan di antara dua paradigma tersebut mulanya
cukup panas di negara-negara ‘mantan-sosialis’, ‘mantan otoritarian’, tetapi
kini telah mengglobal ke negara-negara kapitalis yang mengalami krisis
ekonomi. Padahal, menurut Fraser, kedua paradigma tersebut menawarkan
paradigma pegakuan dan paradigma redistibusi ekonomi bisa menjadi sintesis
perjuangan memotong struktur ketidakadilan sosial (justice interuptus). Bukan merupakan dua kutub yang terpisah,
melainkan sebuah sintesis, seperti dua sisi mata uang, yang di dalamnya
terdapat tegangan yang produktif.
Dua paradigma keadilan sosial yang dikemukan Fraser itu kiranya dapat
membantu refleksi terhadap suara-suara kelompok feminis (untuk tidak
men-generalisasi dengan istilah ‘gerakan perempuan Indonesia’) dan Nawa Cita:
9 Agenda Perubahan Jokowi-JK yang mendukung peningkatan keterwakilan
perempuan, peningkatan perempuan dalam pembangunan dan menjadikan negara
hadir untuk melindungi perempuan.
Suara-suara
Kelompok Feminis: sebuah refleksi
Sebelum mengupas Nawa Cita Jokowi-JK, perlu kiranya merunut kembali
suara gerakan feminis sejak reformasi sampai saat ini. Pada masa awal
reformasi, suara kelompok-kelompok feminis mengerucut pada dua isu, yakni
sistem kuota 30 persen untuk keterwakilan perempuan di parlemen dan isu
kekerasan berbasis gender baik dalam ranah domestik (kekerasan dalam rumah
tangga) maupun pada ranah negara (kekuasaan politik). Kedua isu tersebut
didorong oleh kelompok-kelompok feminis agar masuk ke dalam ranah keputusan
politik negara, baik berupa keputusan legislasi maupun institusional. Dalam
keputusan legislasi, sistem kuota 30 persen berhasil dicantumkan dalam UU
Pemilu dan penyelenggaraannya (Peraturan KPU). Selain itu, wadah bagi anggota
legislatif perempuan dibentuk pula di dalam parlemen yang disebut Kaukus
Perempuan Parlemen, yang mulanya dimungkinkan sebagai sarana meningkatkan
kapasitas sekaligus konsolidasi memperjuangkan isu gender maupun isu
perempuan di dalam politik legislasi. Di luar dugaan, lembaga legislatif
meloloskan usulan dari kelompok feminis untuk mensahkan UU KDRT dan UU
Anti-Perdagangan Perempuan dan Anak. Tetapi sampai saat ini belum mensahkan
RUU Kesetaraan Gender (payung bagi semua kebijakan/UU untuk melindungi
perempuan dari diskriminasi), dan RUU Perlindungan PRT (Pekerja Rumah
Tangga). Pada ranah eksekutif, telah ada Kementrian Pemberdayaan Perempuan
(KPP) dan Komisi Negara yang menangani aspek kekerasan seksual (Komnas
Anti-Kekerasan terhadap Perempuan). Lalu, pada saat Gus Dur menjadi presiden,
ia mengeluarkan kebijakan untuk pengarus-utamaan gender pada program
kementrian dan Bappenas.
Kita harus mengakui pencapaian itu merupakan kerja keras
kelompok-kelompok feminis sejak dekade 1980an. Sampai saat ini,
kelompok-kelompok feminis itu masih menyuarakan masalah rekognisi dan
identitas, dan beberapa di antaranya membentuk kelompok perempuan di ranah
kampung kota maupun kampung desa. Ada banyak isu perempuan yang mereka
produksi dan advokasi, tetapi, jika boleh disederhanakan, sejak 2004 isu yang
mengemuka adalah (1) isu keterwakilan perempuan di parlemen dan legislasi,
(2) isu identitas yang sekait dengan hak perempuan dalam organisasi keagamaan
dan gender ketiga (orientasi seksualitas), (3) isu kesejahteraan yang
didominasi oleh pelaku ekonomi mikro (credit union, kelompok simpan-pinjam,
kelompok pembuat kerajinan makanan maupun barang-barang suvenir). Sejak
adanya sistem kuota dalam pemilu, kelompok-kelompok feminis tersebut
mendorong anggotanya untuk untuk berkontestasi dalam pemilu. Untuk itu ada
sebagian caleg yang masuk ke partai politik, dan sebagian lainnya hanya
meminjam partai politik agar dapat berkontestasi pada saat pemilu. Kini yang
menjadi wacana umum dari perjuangan perempuan adalah mengisi ruang
keterwakilan perempuan di parlemen. Politik perempuan direduksi menjadi
caleg-caleg yang bertarung saat pemilu untuk menjadi anggota legislatif.
Tetapi dalam kontestasi pemilu legislatif 2014, calon anggota
legislatif perempuan yang terpilih mulai dari kabupaten/kota, provinsi sampai
pusat, secara umum masih jauh dari kuota 30 persen keterwakilan perempuan.
Malahan jumlah anggota legislatif yang terpilih untuk DPR Pusat hanya
mencapai 17,32 persen, yang artinya turun dibanding hasil pileg 2009 (18,2
persen). Untuk provinsi dengan populasi padat seperti DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Utara, dan Sulawesi
Selatan, hanya berkisar antara 17- 23 persen keterwakilan perempuan.
Pendeknya, energi yang dimobilisasi melalui proses politik ‘swadaya masyarakat’
maupun politik negara, belum memadai untuk memotong, bahkan menginterupsi,
persoalan ketidakadilan gender yang menyelisip ‘abadi’ ke dalam ranah publik
dan domestik/privat. Inilah masalah yang belum dapat ditunaikan oleh
kelompok-kelompok feminis. Mengapa demikian?
Suara kelompok-kelompok feminis, bahkan sejak dekade 1980an, adalah
suara, yang disebut Fraser, suara politik rekognisi. Suara itu mewakili
kondisi Indonesia yang dikonstruksi secara otoritarian, dengan menyembunyikan
perbedaan berdasar gender dalam pembangunan, dan mensubordinasikan gender
perempuan ke dalam keluarga besar Orde Baru. Status dan peranan perempuan
adalah bagian dari keluarga batih. Perempuan bukan unit personal yang otonom,
melainkan koncowingking (teman yang ditempatkan di belakang) laki-laki ketika
berelasi dengan struktur ekonomi, politik dan sosial. Maka, perjuangan untuk
mendapat rekognisi, pada dasarnya adalah perjuangan untuk memperoleh status
dan peranan di ranah publik yang berkaitan dengan struktur ekonomi-politik.
Hal itu sesuai dengan kenyataan, bahwa makin banyak perempuan yang
termobilisasi ke ranah publik, masuk ke dalam institusi ekonomi dan politik
yang telah tersegregasi berdasar gender. Sementara, secara sosial perempuan
tetap terikat dengan peranan mothering (parenting dan seksualitas) untuk
melangsungkan proses reproduksi sosial.
Apakah politik rekognisi kelompok feminis tersebut telah berhasil
menginterupsi ketidakadilan sosial? Barangkali dapat dikatakan telah berhasil
memunculkan status dan peranan perempuan sebagai personal yang otonom dalam
institusi ekonomi-politik. Mereka menjadi anggota legislatif karena dirinya
dan namanya, bukan karena suami atau ayahnya. Kelompok feminis telah berhasil
pula dalam melakukan tindakan afirmatif untuk memperoleh kesetaraan
keterwakilan perempuan melalui sistem kuota. Dengan kata lain, kelompok
feminis telah berhasil menginterupsi masalah ketidakadilan di ranah publik,
tetapi belum dapat menggeser peranan mothering sebagai kerja dan tanggung
jawab yang dapat dipikul bersama dengan laki-laki. Ketidaksetaraan gender di
ranah domestik masih menjadi persoalan yang belum dapat dipecahkan oleh
kelompok feminis. Sementara, isu untuk membebaskan perempuan dari tanggung
jawab mutlak sebagai penyelenggara reproduksi sosial masih luput dari
perhatian utamanya. Padahal kelompok feminis dapat menuntut kepada negara
untuk meringankan tanggung jawab tersebut. Negara berhutang kepada perempuan
yang telah memberikan waktu dan tenaganya tanpa upahan untuk melangsungkan
regenerasi dan merawat anak-anak sebagai calon tenaga produktif baru.
Perusahaan-perusahaan kapitalis pun tinggal memanfaatkan tenaga produktif
tersebut tanpa mengeluarkan biaya untuk proses regenaratif. Barangkali karena
isu reproduksi sosial dipandang tidak berdampak pada perubahan identitas
perempuan di ranah publik, maka maka isu reproduksi sosial seringkali
dipandang sebagai isu yang melanggengkan domestikasi perempuan.
Di sisi lain, kepentingan perempuan ditentukan oleh struktur kelas,
kasta, dan ras. Kepentingan perempuan kelas sosialita (baca: borjuasi) adalah
konsumsi barang bermerk, yang tentu sangat berbeda dengan kepentingan buruh
perempuan untuk bertahan hidup. Menjadi anggota legislatif bagi perempuan
borjuasi adalah demi status dan gengsi, sementara bagi perempuan kelas
pekerja adalah untuk memperjuangkan redistribusi sumberdaya ekonomi. Suara
kelompok feminis yang menuntut redistribusi sumberdaya ekonomi masih begitu
lirih terdengar di Indonesia. Jikalau mereka ada, seringkali tidak
dikategorikan sebagai kelompok feminis, tetapi kelompok buruh atau kelompok
tani atau miskin kota. Masalahnya pula, perempuan yang berada dalam kelompok
perjuangan kelas ini tersembunyi, bahkan nyaris hilang, atas dasar asumsi
bahwa kelas tidak bergender. Maka tak ada masalah ketidakadilan gender,
melainkan yang ada adalah ketidakadilan berdasarkan kelas. Lantas tidak
mengherankan jika isu keterwakilan perempuan dan kekerasan seksual kurang
menjadi perhatian serikat buruh, serikat tani dan kelompok miskin kota.
Karena yang menjadi pusat tuntutan adalah redistribusi sumberdaya ekonomi dan
bukan mengenai pengakuan identitas. Di Indonesia, hanya kelompok tani dan
buruh yang beridentitas ‘perempuan’ yang biasanya berupaya untuk memadukan
politik rekognisi dan politik redistribusi ekonomi seturut untuk merebut
keadilan sosial.
Maka saya sependapat dengan Fraser, bahwa tantangan perjuangan feminis
bukanlah mengkontradiksikan paradigma rekognisi di satu pihak, dan di lain
pihak dengan paradigma redistribusi sumberdaya ekonomi. Tetapi untuk
mensintesiskan kedua paradigma tersebut sebagai metode dan strategi mencapai
keadilan sosial yang sesungguhnya. Dalam hal ini, kita masih menggunakan
peran negara sebagai pengatur keadilan sosial, melalui program-progam yang
merujuk pada paradigma rekognisi dan paradigma redistribusi sumberdaya
ekonomi.
Nawa
Cita Jokowi-JK: adakah kandungan keadilan sosial bagi perempuan?
Sintesis atas dua paradigma keadilan sosial (rekognisi dan
redistribusi) teraktualisasi pada ‘kerja perempuan’, yang meliputi kerja
produktif (untuk mendapatkan upah) dan reproduktif (untuk melangsungkan
reproduksi sosial masyarakat). Waktu dan tenaga perempuan dalam kehidupan
sehari-hari dihabiskan untuk melakukan dua pekerjaan, sementara laki-laki
hanya untuk melakukan satu pekerjaan (produktif). Kerja ganda tersebut
mengonstruksi kesadaran perempuan, sebagaimana yang seringkali diucapkan:
semaju-majunya perempuan di luar rumah, satu kakinya tetap terikat di dalam
rumah. Perempuan menganggap bahwa kerja ganda merupakan ‘kodrat’ perempuan.
Padahal yang disebut kodrat adalah yang asali dimiliki perempuan, seperti
haid, hamil, kemampuan melahirkan anak, kemampuan mengeluarkan air susu untuk
anak, dan pemilikan terhadap alat-alat untuk reproduksi biologis tersebut.
Kita boleh sepakat atau tidak sepakat bahwa suara feminis dari
paradigma rekognisi maupun dari paradigma redistribusi ekonomi, sejatinya
belum mampu mematahkan kesadaran perempuan terhadap apa yang mereka anggap
sebagai ‘kodrat’nya (kerja produktif dan reproduktif). Bahkan perempuan yang
telah sekian lama menjadi anggota kelompok feminis, belum mampu berbagi kerja
reproduktif dengan suaminya. Pun suami yang telah memiliki kesadaran feminis,
dalam praktiknya, belum mampu menjadikan kerja reproduktif sebagai bagian
dari pekerjaannya (bukan karena dalam keadaan darurat). Karena kerja ganda
perempuan merupakan wujud dualisme patriarki pada satu pihak, dan kapitalisme
pada pihak yang lain (Walby, 1986). Patriarki mencakup suatu ideologi, budaya
dan seksualitas yang mengukuhkan dan memberi norma bahwa kerja reproduktif
adalah mutlak sebagai kerja perempuan. Adapun kapitalisme mencakup relasi
majikan dan buruh yang memobilisasi perempuan untuk upah murah di sektor
padat karya. Posisi patriarki dan kapitalisme merupakan unit-unit yang
independen tetapi saling berkaitkelindan. Maka ketika membahas tentang
keadilan sosial bagi gender perempuan, unit analisis negara patriarki tak
dapat dilepaskan kaitkelindannya dengan kapitalisme.
Perjuangan kelompok-kelompok feminis di Indonesia yang berkutat pada
politik rekognisi hanya mengandaikan ‘negara patriarki’ sebagai medan
pertarungan, tanpa mengaitkan dengan kapitalisme yang menjadi sumber dukungan
‘negara patriarki’. Untuk merebut ‘negara patriarki’, kelompok feminis
tersebut melakukan dengan cara mengambil-alih jabatan-jabatan strategis di
ranah negara, agar dapat menentukan keputusan politik yang menganut prinsip
kesetaraan gender. Gagasan ini cukup tua, dianut oleh kelompok feminis
liberal, yang mendasarkan pemikirannya pada libertarian kanan, antara lain
Locke dan Rousseau, mengenai kebebasan dan kesetaraan. Tetapi kebebasan dan
kesetaraan tidak serta merta mendatangkan keadilan. Dalam kenyataannya, kapitalisme
mendukung prinsip kesetaraan sebagai wujud dari demokrasi. Wujud kesetaraan
gender dapat dimungkinkan melalui keterwakilan perempuan di dalam lembaga
legislatif. Tetapi konsep keterwakilannya mengandaikan seorang perempuan
mewakili semua perempuan tanpa memandang kepentingan kelas dan ras. Sementara
anggota legislatif perempuan pada umumnya berasal dari kelas borjuasi, yang
serta merta mewakili ideologi kelasnya. Maka isu redistribusi ekonomi yang
dapat dialokasikan untuk memikul reproduksi sosial yang diemban perempuan
absen dari politik legislasi (baik undang-undang maupun anggaran).
Jalan lain untuk merebut ‘negara patriarki’ adalah melalui program
pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sejak masa pemerintahan Gus Dur, konsep
pengarus-utamaan gender dijalankan sebagai kebijakan pemerintah, tetapi
pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Kementrian Pemberdayaan Perempuan
tidak memiliki otoritas untuk memastikan bahwa pengarus-utamaan gender
terlaksana di semua kementrian, selain hanya memberikan pelatihan
sensitivitas dan analisa gender.
Kini pada era presiden terpilih Jokowi, jauh-jauh hari telah
mengumumkan visi, misi dan program aksi yang dinamakan Nawa Cita: 9 Agenda
Perubahan. Ini merupakan gejala baru yang belum pernah dilakukan presiden-presiden
sebelumnya. Jika kita simak isi Nawa Cita: 9 Agenda Perubahan, mengandung
tiga semangat perubahan, yakni negara hadir bekerja, membangun kemandirian
dan kesejahteraan petani serta revolusi mental. Kiranya, dalam Nawa Cita,
terkandung semangat untuk membuat negara yang selama ini absen hadir
memusatkan (centering) dan melindungi kelompok masyarakat yang termarginal,
baik dalam artian geopolitik (kemaritiman) maupun sektor (petani, nelayan,
UKM). Namun, semangat tersebut tidak serta merta mentransformasi ‘negara
patriarki’ menjadi negara yang egaliter. Karena dalam butir mengenai revolusi
mental, tidak dinyatakan perlunya mentransformasi watak patriarkis melalui
pendidikan yang menekankan prinsip egaliter antara perempuan dengan
laki-laki, dan etika kepedulian. Revolusi mental semata untuk mentranformasi
kesadaran terhadap keberagaman identitas, dan penghormatan atas keberagaman
tersebut.
Dalam butir 2 Nawa Cita, disebutkan bahwa pemerintah akan
memprioritaskan ‘peningkatan peranan dan keterwakilan perempuan dalam politik
dan pembangunan’. Klausul ini bukan sesuatu yang memiliki terobosan berarti,
karena sejak masa Suharto selalu menyatakan adanya program ‘peningkatan
peranan wanita dalam pembangunan’, dan pada masa reformasi ditambah dengan
‘keterwakilan perempuan dalam politik’. Alhasil, program pemerintah Jokowi-JK
hanya copy paste dari pemerintah sebelumnya. Sekalipun aspek keterwakilan
perempuan dalam politik merupakan serapan pemerintah terhadap suara
kelompok-kelompok feminis yang memperjuangkan politik rekognisi. Adapun
peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan sejak masa Orde Baru sampai
saat ini, masih sebatas untuk memobilisai kehadiran perempuan guna membantu
pelaksanaan kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan keluarga berencana
dan imunisasi anak. ‘Negara patriarki’ akan tetap menempatkan perempuan
sebagai koncowingking dalam pembangunan dan bukan sebagai pemegang otoritas.
Sementara ‘kapitalis patriarki’ mendukung peningkatan peranan perempuan dalam
pembangunan karena mendapat legitimasi untuk memobilisasi perempuan ke dalam
unit kerja padat karya (yang membutuhkan jumlah buruh besar dan murah).
‘Kapitalis patriarki’ juga mendorong keterwakilan perempuan dalam politik
untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan ekonomi-politik.
Pada butir 4 Nawa Cita, disebutkan negara akan hadir untuk ‘melindungi
anak, perempuan dan kelompok masyarakat marginal’. Dalam ‘negara patriarkis’,
konsep perlindungan acapkali berwujud subordinasi. Contoh, agar perempuan dan
anak-anak aman dari sasaran kekerasan seksual, maka diharuskan untuk
berpakaian panjang sampai menutup kaki dan lengan tangan. Belakangan ini
muncul kebijakan yang mengharuskan anak laki-laki sekolah SD bercelana
panjang, agar terlindung dari kekerasan seksual. Demikian pula perempuan yang
bekerja di luar rumah, dianjurkan untuk tidak pulang malam dan mengenakan
pakaian yang menutup aurat.
Lalu pada butir 5 Nawa Cita menyatakan bahwa ‘Kami akan meningkatkan
kualitas hidup manusia Indonesia melalui program kartu Indonesia Pintar
(wajib belajar 12 tahun tanpa pungutan), kartu Indonesia Sehat, kartu
Indonesia kerja dan Indonesia Sejahtera melalui reforma agraria 9 juta HA,
rumah susun bersubsidi dan jaminan sosial’. Program ‘kartu-kartu subsidi’ ini
memang tidak secara khusus berhubungan dengan kesetaraan dan keadilan gender,
tetapi berhubungan dengan kerja reproduktif perempuan di dalam keluarga,
sehingga dalam pengalaman pembagian Kartu Sehat dan Kartu Pintar di DKI, para
perempuanlah yang membanjiri kantor kelurahan untuk mengurus kartu-kartu tersebut.
Tetapi asumsi Kartu Sehat tetap merujuk pada logika bisnis asuransi,
yakni menyangkut definisi tentang sehat, tetapi sebenarnya adalah mengenai
sakit. Kartu Sehat hanya dapat digunakan untuk orang sakit yang rawat inap di
rumah sakit. Tanpa mencakup pemeriksaan kesehatan dan tindakan pencegahannya
sebelum orang menjadi jatuh sakit. Untuk kepentingan perempuan, Kartu Sehat
hanya melayani persalinan, tetapi perawatan kesehatan sejak perempuan itu
hamil dan sesudah melahirkan, berada di luar pelayanan Kartu Sehat. Jadi
kartu sehat adalah kartu bebas biaya rawat inap di rumah sakit (ranah
publik), dan tidak berfungsi untuk merawat kesehatan di dalam rumah keluarga
yang bersangkutan (ranah domestik). Mengapa demikian? Rawat inap adalah
kepentingan bisnis jasa rumah sakit. Program Kartu Sehat, meski pemerintah
yang membayar ke rumah sakit, namun pemerintah mengikuti kepentigan bisnis
rumah sakit. Serupa dengan program Kartu Pintar, pemerintah hanyalah membantu
orang tua untuk membayar sekolah –kepentingan bisnis sekolah. Tetapi Kartu
Pintar tidak melayani penyediaan buku, alat-alat belajar, seragam dan sepatu,
yang justru memerlukan biaya cukup besar. Jadi, Kartu Sehat maupun Kartu
Pintar yang akan dilaksanakan oleh pemerintah Jokowi-JK secara nasional masih
dalam perspektif neoliberal. Rumah sakit dan sekolah untuk pendidikan tinggi
telah diprivatisasi sejak awal reformasi, dan dalam kerangka program
‘kartu-kartu subsidi’ ini, kebijakan Jokowi-JK justru membiarkan rumah sakit
dan sekolah dikelola dengan cara bisnis kapitalis.
Meski rencana ‘kartu-kartu subsidi’ itu lebih populis dibanding
pemerintah sebelumnya, tetapi pada akhirnya pemerintah harus mengeluarkan
anggaran cukup besar untuk membayar kepada para kapitalis yang mempunyai
bisnis rumah sakit dan pendidikan. Adapun rencana untuk memberi subsidi atau
kredit rumah susun dalam program Kartu Sejahtera, polanya serupa dengan Kartu
Sehat dan Kartu Pintar. Pun masih dipertanyakan, apakah penerima manfaat
‘kartu-kartu subsidi’ ini selalu atas nama kepala keluarga, yang berarti laki-laki?
Seharusnya pemanfaat ‘kartu-kartu subsidi’ itu atas nama perempuan sesuai
dengan tanggung jawab reproduktif yang dibebankan ke pundaknya.
Lain halnya jika pemerintah Jokowi-JK menggunakan paradigma
redistribusi sumberdaya ekonomi untuk membangun fasilitas reproduksi sosial
bagi warganya. Dalam konsep ini, pemerintah Jokowi-JK bukan memberikan
program subsidi finansial sebagaimana ‘kartu-kartu subsidi’, melainkan
membangun infrastruktur dan fasilitas pemenuhan reproduksi sosial, seperti pembangunan
fasilitas pengasuhan anak, crisis centre dan shelter, pusat kesehatan
perempuan (bukan kesehatan ‘ibu’ yang diasumsikan berhubungan dengan keluarga
berencana dan persalinan), subsidi pangan bergizi dan energi, air bersih,
lingkungan huni sehat, taman bermain anak-anak, transportasi, dan sebagainya.
Pengertian redistribusi sumberdaya ekonomi bukan hanya berupa pembagian tanah
9 juta HA (untuk berapa petani?), tetapi terpenting adalah mengambil-alih
aset-aset nasional untuk diredistribusikan berupa fasilitas untuk pemenuhan
reproduksi sosial. Dalam kerangka paradigma ini, pemerintah melaksanakan
keadilan sosial yang adil gender. Dengan kata lain, pemerintah akan membantu
perempuan membebaskan diri dari beban kerja reproduktif, sehingga mereka dapat
melakukan aktivitas lainnya, seperti peningkatan kapasitas pengetahuan dan
ketrampilan, aktualisasi ekspresi kebudayaan dan politik.
Basis
Politik dari Ormas Perempuan: Persyaratan Pokok!
Keberhasilan pelaksanaan Nawa Cita Jokowi-JK secara umum, dan secara
khusus untuk keadilan gender, bukan sekedar tergantung pada struktur
birokrasi negara, melainkan yang fundamental adalah basis dukungan di tingkat
massa yang terorganisir. Sebagai contoh, bagaimana program distribusi tanah 9
juta HA dapat dilaksanakan? Persoalan yang klasik adalah mendata siapa petani
yang berhak? Jika tanpa didukung oleh serikat-serikat tani, maka distribusi
tanah itu akan diperebutkan oleh juragan agribisnis (petani kaya). Belum
lagi, dari aspek keadilan gender akan mempertanyakan apakah penerima
distribusi tanah atas nama kepala keluarga —yang pada umumnya adalah
laki-laki? Dalam hal memastikan keadilan gender, kiranya peran dan otoritas
organisasi perempuan di tingkat basis merupakan persyaratan pokok.
Jadi, untuk peningkatan keterwakilan perempuan maupun peningkatan
status dan pereanan perempuan dalam pembangunan, perlindungan untuk perempuan
dan anak, maupun pembagian ‘kartu-kartu subsidi’ membutuhkan persyaratan
adanya peran dan otoritas organisasi atau serikat-serikat perempuan kelas
pekerja. Untuk itu PKK dapat direvitalisasi, bukan sekedar organisasi
koncowingking untuk melaksanakan program pemerintah desa/kelurahan, atau
seksi konsumsi untuk acara-acara seremonial desa/kelurahan. PKK harus
ditingkatkan statusnya sebagai organisasi yang memiliki otoritas perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan terhadap Nawacita Jokowi-JK (tak hanya yang
terkhusus perempuan). Selain PKK, ada majelis taklim, kelompok doa Katolik,
dan kelompok-kelompok perempuan lainnya yang perlu ditingkatkan aktivitasnya,
tak hanya sekedar berdoa, melainkan merealisasi kepentingan perempuan dalam
program Jokowi-JK. Terpenting, bagaimana kelompok-kelompok feminis membantu
PKK dan kelompok lainnya menjadi bagian dari kekuatan organisasi perempuan di
tingkat kampung desa maupun kampung kota.
Pertanyaan yang tak kalah mendasar, justru tertuju kepada organisasi
yang mengusung cita-cita sosialisme: apakah akan diam atau hanya mendukung
dari ‘belakang’, karena kecewa Nawa Cita Jokowi-JK belum berparadigma
sosialis? Dalam kerangka kaedilan sosial, justru inilah saatnya organisasi
yang bercita-cita merealisasi sosialisme, apakah serikat buruh, serikat tani,
serikat perempuan, serikat miskin kota, dan partai-partai kader, memberikan
kepeloporannya untuk membangun organisasi perempuan atau kelas pekerja secara
umum di basis-basis desa dan kota. Pastikan bahwa Nawa Cita Jokowi-Jk
dinikmati oleh kelas pekerja, khususnya kelas pekerja perempuan. Jika
organisasi sosialis dapat mendayagunakan pelaksanaan Nawa Cita Jokowi-JK
dengan memperluas dan memperkuat bangunan organisasi di tingkat basis,
kiranya telah maju selangkah dalam mempersiapkan pranata atau infrastruktur
untuk merealisasi program-program keadilan sosial yang berperspektif
sosialis. Terkhusus bagi organisasi perempuan sosialis, inilah saatnya
merealisasi sintesis politik rekognisi dan politik redistribusi sumberdaya
ekonomi. Sasarannya adalah kerja reproduktif perempuan, bagaimana hal ini
dapat dibebaskan sebagai beban mutlak yang ditanggung perempuan. Pembebasan
itu bukan dengan cara negara memberi upah bagi kerja reproduktif perempuan,
melainkan negara meredistribusi sumberdaya ekonomi untuk membangun fasilitas
reproduksi sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar