Simalakama
Partai Demokrat
Ardi Winangun ; Pengamat Politik, Tinggal di Matraman, Jakarta
|
DETIKNEWS,
29 September 2014
Selepas penetapan RUU Pilkada menjadi undang-undang, ribuan hujatan
dialamatkan kepada Presiden Indonesia yang sekaligus sebagai Ketua Majelis
Tinggi dan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono atau yang
lebih sering disebut dengan SBY. Mereka yang menghujat SBY lewat media sosial
disebabkan kesal dengan sikap Partai Demokrat yang walkout dalam Sidang
Paripurna DPR saat penetapan UU Pilkada.
Dengan walkout maka saat voting untuk menyetujui atau tidak
undang-undang itu, kubu yang menginginkan pilkada langsung dipilih rakyat
yang didukung oleh PDIP, PKB, dan Partai Hanura, kalah oleh kubu yang
menginginkan pilkada lewat DPRD yang didukung oleh partai yang terhimpun
dalam Koalisi Merah Putih, yakni PPP, PAN, PKS, Partai Gerindra, dan Partai
Golkar.
Kubu PDIP, PKB, dan Partai Hanura jelas kalah saat voting sebab jumlah
kursi mereka kalah jauh dibanding dengan kubu Koalisi Merah Putih.
Perbandingannya kurang lebih, 273 suara Koalisi Merah Putih dan 139 suara
kubu PDIP, Hanura, dan PKB.
Mereka marah kepada Partai Demokrat dan SBY sebab suara yang dimiliki
di DPR sangat besar, yakni 148 kursi. Di sinilah letak marahnya PDIP, Hanura,
PKB, dan simpatisannya pada Partai Demokrat dan SBY yang tidak mau memihak
pilkada langsung dipilih oleh rakyat. Besarnya suara Partai Demokrat di DPR
memang menjadi rebutan bagi Koalisi Merah Putih dengan kubu PDIP, Hanura, dan
Nasdem. Untuk merayu agar Partai Demokrat seirama dengan PDIP, Hanura, dan
PKB, ketiga partai itu mendukung 10 syarat pilkada langsung. Rupanya dukungan
itu masuk telinga kanan keluar telinga kiri Partai Demokrat.
Sebagai partai yang sangat menentukan iya dan tidaknya disahkan
undang-undang pilkada, Partai Demokrat memang dalam posisi yang sulit. Di
satu sisi, arah politik Partai Demokrat lebih dekat kepada Koalisi Merah
Putih namun di sisi yang lain, ada aspirasi masyarakat menginginkan pilkada
langsung. Dalam kebingungan dan kebimbangan inilah bisa jadi Partai Demokrat
mencari jalan aman dengan walkout. Langkah walkout bisa jadi dianggap sebagai
jalan tengah, yakni tidak memihak kepada siapapun.
Walkout dianggap oleh kubu PDIP, Hanura, PKB, dan simpatisannya sebagai
langkah pengecut. Namun bila Partai Demokrat mendukung pilkada langsung lewat
pilihan rakyat, tuduhan serupa akan dialamat oleh Koalisi Merah Putih kepada
Partai Demokrat dan SBY. Di sinilah letak serba salah Partai Demokrat.
Ibaratnya sedang makan buah simalakama.
Secara politik langkah Demokrat walkout, mendukung, atau menolak
pilkada lewat rakyat atau DPRD adalah sah. Ini hak-hak politik seluruh
partai. Bukankah dulu PDIP sering melakukan langkah yang demikian. Jadi
Partai Demokrat tidak melakukan kesalahan dalam menentukan sikapnya. Bila
dikatakan mengingkari demokrasi, demokrasi versi siapa?
Demokrasi adalah sangat subjektif bagi partai politik. Partai politik
yang mendukung pilkada langsung belum tentu dilandasi oleh suara rakyat namun
bisa jadi faktor-faktor lain. Kalau Pilkada lewat DPRD, PDIP bisa menang di
banyak daerah seperti Jawa Tengah, Bali, dan Surabaya, karena di wilayah itu
basis partai berlambang banteng moncong putih.
Dalam politik, kalah dan menang itu soal biasa. Politik adalah soal
kepentingan, bukan rakyat. Bisa jadi partai-partai politik yang berseberangan
soal pilkada langsung atau lewat DPRD ini mempunyai kepentingan yang tak sama
namun bisa jadi suatu saat akan mempunyai kepentingan yang senafas dan mereka
bisa berkoalisi meski sementara.
Respon SBY yang berbalik dengan sikap fraksi partainya yang walkout
bisa jadi SBY terpancing dengan respon negatif di media sosial dan media
massa atas sikap partainya. Hujatan yang ada bisa jadi membuat pria asal
Pacitan, Jawa Timur, itu tersinggung sehingga dirinya akan meninjau lagi
undang-undang itu.
Dalam soal penetapan undang-undang pilkada, SBY seharusnya bisa melihat
bahwa partainya tidak ikut memutuskan. Seharusnya ia menjelaskan bahwa aksi
walkout itu merupakan jalan tengah kepada seluruh partai yang ada, termasuk
kepada rakyat, sebab pilkada langsung atau lewat DPRD masing-masing memiliki
kelebihan dan kelemahan. Banyak bukti pilkada lewat rakyat aman dan damai
namun juga banyak bukti pilkada lewat rakyat terjadi konflik sosial, money
politic, dan kepala daerahnya menjadi tersangka korupsi.
Hujatan yang dialamatkan kepada SBY sebenarnya tidak perlu terlalu
dirisaukan, itu semua adalah bunga-bunga kebebasan yang dijamin konstitusi.
Mereka yang menghujat bisa jadi paham masalah namun bisa jadi hanya
ikut-ikutan saja. Dalam era keterbukaan informasi ini, orang yang biasanya
hanya makan dan minum tiba-tiba bisa menjadi vokal namun vokalnya hanya
sebatas pada media sosial. Mereka belum pada taraf aksi. Jadi hujatan itu
ramainya hanya di media sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar