Internet
dan Psikologi
Kristi Poerwandari ; Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
|
KOMPAS,
28 September 2014
MENGIKUTI Asian Association of
Women’s Studies di Los Baños, Filipina, saya baru benar-benar ”ngeh”
mengenai pentingnya kita membahas implikasi kemajuan teknologi informasi
terhadap kehidupan secara umum dan terhadap psikologi masyarakat.
Saya baru saja menghadiri simposium yang diselenggarakan Asian Association of Women’s Studies
(AAWS) mengenai bagaimana mengantisipasi dan memanfaatkan secara maksimal
kemajuan teknologi internet dan digital. Kebetulan presiden AAWS adalah
rektor University of the Philippines–Open University, yang menyelenggarakan pendidikan
tinggi terbuka di tingkat diploma, S-1, S-2, dan S-3 dengan secara maksimal
memanfaatkan teknologi internet.
Bisnis
dan internet
Beth Anderson dkk (2012) melakukan review pada berbagai penelitian
mengenai Facebook, dan mencatat sambutan luar biasa dari dunia korporasi.
Contoh saja, dalam catatan 24 jam pertama sejak dilansirnya Facebook, ada
100.000 organisasi membuat profilnya. Mereka paham potensi pemanfaatan
internet, meski mungkin tidak menyangka bahwa sambutan masyarakat demikian
luar biasa. Pengguna Facebook antusias mengomunikasikan dukungan pada merek
dan produk tertentu, jadi fans dengan meng-klik ’like’, atau berdiskusi tentang
produk. Bahkan ada berbagai kompetisi (misalnya berfoto dengan produk dan
merek tertentu) yang disambut ramai oleh konsumen.
Kemajuan teknologi luar biasa mengubah cara dan strategi kerja kalangan
bisnis, karena penyadaran mengenai keberadaan produk dilakukan online dan
dapat menjangkau jaringan sosial nyaris tak terbatas, dengan biaya minimal.
Sebenarnya motivasi konsumen untuk melibatkan diri di laman merek tertentu
belum tentu murni kesukaan atau kesetiaan pada merek. Bisa jadi ada kebutuhan
akan identitas sosial, pengungkapan diri, bahkan antisipasi akan insentif
yang dapat diperoleh (misal: menang lomba). Tetapi kalangan bisnis
memanfaatkan ini secara maksimal.
Kalangan bisnis kecil yang belum memanfaatkan teknologi online,
organisasi-organisasi kemanusiaan non-profit, bahkan lembaga pendidikan,
tampaknya perlu mempertimbangkan maksimalisasi penggunaan teknologi internet
dan digital. Anderson dkk menemukan bahwa Facebook dapat membantu naiknya
kembali citra organisasi yang nyaris kehilangan konsumen.
Perlu dicatat pentingnya membuat laman yang interaktif. Laman statis
yang deskriptif saja, apalagi tidak diperbarui secara berkala, dan sudah
kedaluwarsa informasinya, tidak akan menciptakan keterlibatan dari konsumen
atau masyarakat sasaran. Laman demikian dapat menciptakan kesan organisasi
ini tidak dikelola dengan baik, tidak aktif, bahkan ’sudah mati’. Barangkali
ini jadi salah satu penjelasan, mengapa lembaga-lembaga kemasyarakatan–yang
mungkin bekerja sangat keras di lapangan– cenderung kurang terdengar gaung
kerjanya. Yang lebih terdengar adalah yang mampu memanfaatkan teknologi
informasi, misalnya CSR perusahaan, yang bagaimanapun memiliki kepentingan
profit dan penguatan merek, dengan menyiarkan kerja sosial dari kelompoknya.
Antisipasi
persoalan
Kehebatan temuan baru selalu mengandung dua sisi, potensi positif dan
antisipasi persoalan yang dimunculkannya. Kita telah mendengar penipuan
melalui bisnis online, pemanfaatan internet untuk menyiarkan kehebatan produk
atau organisasi (yang ternyata palsu) atau sebaliknya, untuk menyiarkan info
buruk mengenai pesaing.
Secara psikologi, individu menggunakan Facebook dan media sosial lain,
bisa murni untuk mencari dan berbagi informasi, serta mengembangkan jaringan
sosial secara konstruktif. Sebagian yang lain, utamanya anak, remaja, dan
orang muda, mungkin masuk ke media sosial untuk memperoleh penerimaan sosial,
mencari identitas diri, mencari kelekatan (attachment) dengan orang lain,
mencari cara mengatasi kebingungan dan kesepian.
Untuk individu-individu di atas, teknologi informasi dapat membawa
kerentanan tertentu. Anak dan remaja dapat dengan mudah masuk dalam situs
pornografi, terjebak di dalamnya dan menjadi kacau. Anak dan remaja yang
merasa tidak dimengerti orang dewasa di sekitarnya, mereka yang merasa
kesepian dan bingung, mungkin lari ke internet dan media sosial untuk mencari
jawaban. Mereka dapat dengan mudah berkenalan dengan pihak-pihak yang memang
’mencari mangsa’.
Kasus-kasus psikologi klinis dan di lapangan menunjukkan cukup mengkhawatirkannya
gejala remaja yang berpacaran lewat media sosial, ditawari berbagai hal
menggiurkan (seperti baju, sepatu, gadget dan komputer terbaru) yang
sebenarnya adalah bentuk jebakan. Ketika hati ’tertambat’ dan sudah ’jadian’,
mereka membuat janji untuk saling bertemu, dan masuk dalam perangkap.
Di salah satu polres di mana kami bekerja sama melakukan pemeriksaan
psikologi, saya menemukan setidaknya satu tersangka pelaku kekerasan seksual
yang mengaku membuat profil palsu dengan foto palsu di Facebook untuk menarik
perhatian remaja-remaja perempuan, mengajak pacaran, bertemu muka langsung,
dan memaksakan hubungan seksual. Ia sudah banyak berhasil dan para perempuan
itu tidak berani berbuat apa-apa, hanya yang terakhir yang kemudian berani
melaporkan ke polisi.
Di kalangan masyarakat luas, kita perlu waspada bahwa internet juga
dapat dimanfaatkan untuk menyiarkan berita bohong, kebencian pada kelompok
atau figur-figur tertentu, memutar-balik fakta, menciptakan kebingungan,
secara sistematis menciptakan opini yang merugikan, yang tujuannya untuk
memecah-belah masyarakat.
Menjadi PR pula untuk kita: bagaimana memastikan agar masyarakat yang
miskin atau serba terbatas aksesnya, tidak tertinggal, makin tersisih, dan
menjadi korban dari kemajuan teknologi, tetapi dapat ikut memperoleh manfaat
maksimal darinya?
Kita tidak dapat kembali ke masa lalu saat komputer belum ditemukan.
Untuk dapat bertahan, bertumbuh, dan mengambil peran strategis dalam
masyarakat, satu-satunya pilihan adalah memanfaatkan secara maksimal
teknologi ini. Hal yang sama penting adalah mengantisipasi berbagai persoalan
yang mungkin muncul, dan melakukan langkah-langkah untuk mencegah atau
mengatasinya sedini mungkin. Jadi, sudah siapkah kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar