Kampung
Munawir Aziz ; Alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
|
KORAN
TEMPO, 26 September 2014
Pemerintah
pimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) pada era mendatang memberi ruang
bagi kampung untuk melakukan akselerasi. Kampung tidak lagi dimaknai sebagai
lumbung ekonomi dan politik, tapi memiliki hak untuk dianggap penting sebagai
penopang pemerintahan. Di tangan Jokowi, kampung-kampung akan disulap menjadi
ruang yang nyaman untuk melahirkan sumber daya manusia kreatif, dan basis
produksi kerajinan, agraria, serta ekonomi kreatif.
Pada awal masa
pemerintahannya, Jokowi berjanji untuk melakukan blusukan dan pembenahan atas
1.000 kampung nelayan. Ia menganggap kampung nelayan merupakan bagian dari
revolusi kebijakan tentang maritim dan politik lokal, yang mendorong
orang-orang di setiap desa untuk menciptakan inovasi-inovasi kreatif berbasis
sumber daya di daerahnya. Jokowi berencana membangun kampung nelayan dengan
sistem integratif: mendorong Bank Rakyat Indonesia (BRI) membuat kantor
cabang dan Pertamina dengan stasiun pengisian bahan bakar solar. Kolaborasi
pembiayaan APBN dan CSR perusahaan-perusahaan merupakan bagian dari langkah
produktif untuk membangun kampung nelayan.
Penamaan
kampung dan desa tidak hanya dimaknai dalam sistem administratif dan
kebudayaan. Kampung tidak lagi dipahami sebagai tempat berkumpulnya
orang-orang kampungan yang udik, melainkan ruang bagi ide-ide inovatif dan
basis produksi kerajinan kreatif. Jokowi lebih sering menyebut kampung untuk
memberi tekanan pentingnya aspek kultural dan penghormatan atas hukum adat.
Dalam
sejarahnya, dinamika kampung dalam setiap fase zaman menjadi penentu basis
politik dan ekonomi. Pada masa kemerdekaan, UUD 1945 dan UU Pokok Agraria
menjadi payung inisiasi untuk menempatkan desa sebagai bagian dari ketahanan
pangan dan politik, namun terjadi penyimpangan dalam eksekusi kebijakan. Penyimpangan
inilah yang menjadi akar dari sengkarut kepentingan atas desa, serta
politisasi desa sebagai lumbung politik. Pada awal 1970-an, pemerintah Orde
Baru melakukan konsolidasi politik dengan menguatkan represi keamanan hingga
tingkat desa. Pembentukan organisasi militer berupa Bintara Pembina Desa
(Babinsa) merupakan bagian dari strategi rezim Soeharto untuk menguatkan
fondasi politik dan menjaga stabilitas keamanan. Desa dianggap sebagai akar
dari subversi politik, sehingga perlu diamankan dengan menempatkan personel
militer ke jantung politik desa. Dengan demikian, pemantauan terhadap
perkembangan politik dan dinamika keamanan di tingkat desa dapat dilakukan
secara terstruktur.
Pada tahun
ini, lahir Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang ini pada
dasarnya menegaskan pengakuan negara terhadap keberadaan desa dan sistem
hukum adat di kampung. Dari titik inilah UU ini secara signifikan memberi
ruang perencanaan, penganggaran, dan evaluasi pembangunan. Kampung tidak lagi
dimaknai sebagai lumbung ekonomi dan politik yang menguntungkan penguasa. Di
tangan Jokowi, kampung diberi perhatian, kebijakan, dan bantuan yang
memungkinkan lahirnya manusia-manusia cerdas yang mampu melahirkan komoditas
kreatif. Bagaimana wajah kampung selanjutnya? Sejarah yang akan menulisnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar