Selasa, 30 September 2014

Setelah Heboh 4x6 Vs 6x4

Setelah Heboh 4x6 Vs 6x4

Hendra Gunawan  ;   Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung
KOMPAS,  30 September 2014

                                                                                                                       


ADA  kejadian luar biasa di negeri kita pada September 2014 ini. Tiba-tiba orang Indonesia ramai berbicara tentang soal matematika walau yang menjadi topik pembicaraan ”hanya” seputar 4 x 6 atau 6 x 4. Pada mulanya siswa kelas II sekolah dasar diminta mengerjakan sejumlah soal penjumlahan berulang oleh gurunya. Siswa diminta menuliskan penjumlahan berulang tersebut sebagai bentuk perkalian terlebih dahulu sebelum menuliskan jawabannya. Seorang siswa menulis:

4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6 = 24.

Oleh gurunya, ia pun disalahkan. Gurunya menulis bahwa penjumlahan berulang tersebut seharusnya adalah 6 x 4, bukan
4 x 6. Kakak sang siswa protes dan mengunggah lembar jawaban adiknya yang telah diperiksa oleh guru tersebut ke media sosial. Indonesia pun ramailah. Bahkan, di tengah riuhnya soal pilkada lewat DPRD, anggota DPR pun turut bicara. Seru!

Beberapa isu

Memang ada beberapa isu dalam kasus di atas. Pertama, apa arti tanda ”=” (baca: sama dengan) dalam konteks ini. Ketika guru menyalahkan jawaban anak tersebut, ia sesungguhnya sedang menerapkan arti ”=” yang khas dalam matematika, yaitu ”=” yang dinobatkan atau didefinisikan, bukan ”=” yang merupakan fakta atau konsekuensi dari asumsi-asumsi sebelumnya.

Sebagai contoh, dalam kalimat: jika n = 1, maka n2 = 1, tanda ”=” yang pertama berbeda artinya dari tanda ”=” yang kedua.

Sebagai bilangan kardinal (yang menyatakan banyaknya sesuatu), 4 + 4 = 8 = 10 – 2. Kesamaan di sini bukan definisi. Demikian juga 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6 = 24. Akan tetapi, dalam kasus di atas, sang guru menuntut siswanya menjawab 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 6 x 4 = 24.

Perhatikan bahwa tanda ”=” yang pertama dalam hal ini merupakan ”=” yang didefinisikan. (Dapat diduga bahwa sebelumnya guru tersebut telah mendefinisikan perkalian dua bilangan bulat positif sebagai penjumlahan berulang, atau sebaliknya: penjumlahan berulang sebagai perkalian.)

Bagi siswa kelas II SD, ini tentu merupakan isu besar. Saya pun bertanya: apakah anak kelas II SD sudah cukup matang untuk diajak ”bermain” dengan definisi? Menurut saya, belumlah waktunya bagi guru menuntut siswa bekerja dengan definisi (yang ketat pula). Apalagi meminta siswa menuliskan kalimat matematika yang mengandung dua tanda ”=” yang berbeda artinya!

Yang namanya definisi itu kesepakatan. Bijakkah guru, seorang manusia dewasa yang sudah bisa berpikir abstrak, mengajak siswa kelas II SD, yang masih berpikir dalam tahap konkret, bersepakat tentang sesuatu yang baru akan mereka pelajari? Rasanya tidak.

Lagi pula, dalam matematika, definisi tidak harus unik. Beberapa definisi yang setara bisa dibuat untuk satu hal yang sama. Mengapa memaksakan satu versi definisi?

Isu kedua berkenaan dengan penyajian soal. Penjumlahan berulang memang diajarkan lebih dulu daripada perkalian. Namun, soal di atas jelas memperlihatkan, perkalian hanya dianggap sebagai ”singkatan” dari penjumlahan berulang. Bahkan, kita bisa mempertanyakan, andaikan siswa menulis 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 6 x 4 (sebagai definisi), bagaimana kemudian ia tahu bahwa 6 x 4 = 24 (sebagai fakta)?

Pada hemat saya, urutannya yang lebih bisa diterima adalah 6 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24. Ini pun dengan catatan bahwa ada dua tanda ”=” yang berbeda artinya dalam kalimat ini.

Bagaimana sebaiknya?

Jadi bagaimana sebetulnya, atau katakanlah sebaiknya? Penjumlahan berulang sebetulnya bisa dipandang sebagai metode atau cara untuk menyelesaikan masalah perkalian. Karena itulah, sebelum siswa belajar perkalian, penjumlahan berulang diperkenalkan terlebih dahulu. Tujuannya, ketika siswa belajar perkalian, ”senjata” untuk menyelesaikannya sudah ada.

Ingat bagaimana siswa kelas I SD belajar penjumlahan. Sebelumnya siswa belajar menghitung maju lebih dulu. Budi memiliki 5 butir kelereng. Pada hari ulang tahunnya ayahnya memberi ia 10 butir kelereng baru. Berapa banyakkah kelereng Budi kemudian? Jawabannya tentu 15.

Namun, bagaimana jawaban ini diperoleh? Siswa menghitung maju, 5 di kepala, 10 di tangan. Masih ingat, bukan? Namun, ada cara kedua, yang lebih efisien, 10 di kepala, 5 di tangan. Dengan cara pertama, siswa menulis:
5 + 10 = 15. Dengan cara kedua, siswa menulis: 10 + 5 = 15.

Nah, untuk perkalian,  guru seyogianya memulai dengan masalah perkalian, lalu meminta anak untuk menyelesaikannya dengan menggunakan penjumlahan berulang. Masalah atau soal perkalian seperti apa? Soal alami perkalian adalah soal luas daerah persegi panjang. Akan tetapi, untuk anak kelas II SD, tentu guru harus memilihkan soal yang cukup konkret bagi anak. Sebagai contoh, mintalah anak menghitung banyak ubin pada lantai, yang terdiri atas 4 baris, masing- masing baris terdiri atas 6 ubin.

Bagaimana anak menghitungnya?

Ingat, anak sudah diajarkan penjumlahan berulang sebelumnya. Dalam hal ini, anak bisa menghitungnya baris per baris:
6 + 6 + 6 + 6 = 24. Akan tetapi, ini bukan satu-satunya cara. Anak juga bisa menghitung kolom per kolom: 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24. Bahkan, anak yang belum mantap dengan penjumlahan berulang bisa juga mencacah ubin tersebut: 1 + 1 + … + 1 = 24. Semuanya benar.

Guru kemudian dapat memberi soal serupa, misalnya: ”Ada 3 baris ubin, masing-masing terdiri atas 9 ubin. Berapa ubin semuanya?” Setelah cukup bermain dengan ubin, guru pindah ke papan tulis dan menulis (misalnya): Ini adalah 4 x 6.

Bagaimana menghitungnya? Berdasarkan permainan dengan ubin sebelumnya, 4 x 6 dapat dihitung baris per baris sebagai 6 + 6 + 6 + 6 atau kolom per kolom sebagai 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4. Dengan cara pertama, siswa menulis: 4 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6 = 24. Dengan cara kedua, siswa menulis: 4 x 6 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24. Di sini tanda ”=” bukan definisi, tetapi fakta atau konsekuensi terkait dengan cara menghitungnya.

Kalau ada siswa yang bertanya, ”Bu, bolehkah saya anggap gambar di atas sebagai 6 x 4?” Guru yang ramah akan menjawab: ”Mengapa tidak, Nak? Kalau kamu anggap 6 x 4, memangnya bagaimana kamu akan menghitungnya? Sama saja, bisa 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4, atau 6 + 6 + 6 + 6, ya, bukan?”

Soal lainnya yang juga merupakan masalah perkalian bisa diberikan. Misalnya, ada 10 kantong, masing-masing berisi 2 butir kelereng. Berapa kelereng semuanya?

Ya, ini adalah masalah perkalian 10 x 2, seperti kata Prof Yohanes Surya. Akan tetapi, bagaimana menghitungnya? Bagi sebagian siswa, banyak kelereng semuanya sama dengan 2 + 2 + ... + 2 = 20. Siswa yang menjawab seperti ini mungkin membayangkan dirinya menghitung kelereng kantong per kantong.

Siswa yang lain membayangkan dirinya mengeluarkan kelereng dari masing-masing kantong, lalu menjejerkannya sebagai berikut:

1    2    3    4    5    6    7    8   9   10

1    *    *    *    *    *    *    *    *    *    *

2    *    *    *    *    *    *    *    *    *    *

Kemudian ia berpikir bahwa akan lebih mudah baginya bila ia menghitung ”baris per baris”: ”kelereng pertama” dari masing- masing kantong berjumlah 10, demikian juga ”kelereng kedua”. Jadi, banyak kelereng semuanya 10 + 10 = 20.

Membangun pemahaman

Apa yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini adalah: jangan terburu-buru ”bermain” dengan definisi, apalagi dengan siswa SD kelas bawah. Untuk perkalian, gunakan penjumlahan berulang sebagai metode atau cara, bukan definisi. Ketika ia didudukkan sebagai metode atau cara, ingat prinsip bahwa sering kali ada banyak cara untuk mendapatkan satu hasil yang sama.

Dengan pendekatan seperti ini, saya berharap guru pun bisa membangun pemahaman pada siswa bahwa 4 x 6 = 6 x 4.

Sifat serupa juga ditemui dalam penjumlahan: 5 + 7 = 7 + 5. Akan tetapi, guru juga mesti mengingatkan bahwa tidak semua operasi bisa dibolak-balik:
4 - 2 =/ o2 - 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar