Menggagas
Poros Maritim Dunia
Rokhmin Dahuri ; Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB,
Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (Ganti),
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan
|
SINAR
HARAPAN, 27 September 2014
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan karena memiliki lebih dari
17.000 pulau yang tersebar di penjuru Nusantara. Tentu saja hal itu
membuktikan bangsa ini kaya akan sumber daya kelautan, baik yang di permukaan
maupun di dasar laut. Mulai dari sektor perikanan, terumbu karang, minyak,
gas, hingga potensi wisata bahari dan lalu lintas kapal perdagangan logistik.
Sayangnya, hingga saat ini potensi yang diperkirakan turut
berkontribusi besar pada pendapatan ekonomi nasional itu tak juga bisa diolah
secara maksimal. Kerangka pembangunan masih sangat tersentral di darat (land based development), belum
terintegrasi dengan pembangunan berbasis kelautan (ocean based development).
Tak heran bila banyak pemerhati maritim yang menyebut sektor kelautan
kita ibarat “raksasa ekonomi yang masih tidur terlelap”.
Dalam rapat kerja nasional (rakernas) PDI Perjuangan di Semarang belum
lama ini, presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan, total potensi
kerugian negara akibat kegiatan ilegal yang terjadi di wilayah perairan
Indonesia mencapai Rp 300 triliun. Hal ini menjadi bukti tak terbantahkan di
mana sektor kelautan selama ini belum diperhatikan secara serius.
Berdasarkan hal itu, pemerintahan mendatang Indonesia diharapkan akan
menjadi poros maritim dunia dengan memberi perhatian lebih pada sektor ini.
Apalagi bangsa ini memiliki modal besar untuk menjadi kekuatan maritim di
tingkat global. Argumentasi ini bukanlah sekadar asal belaka. Namun, itu
merupakan harapan untuk membangun kembali kejayaan maritim, seperti pada masa
Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan kesultanan Islam pada abad ke-7 sampai
abad ke-13.
Pasalnya, selain memiliki sejarah panjang di bidang kemaritiman, fakta
empiris Indonesia sebagai negara bahari tercermin dari keberadaan pulau-pulau
besar, indah, dan kaya. Negeri ini merupakan negara bahari dan kepulauan
terbesar di dunia yang tersusun atas 17.504 pulau (baru 13.466 pulau yang
telah diberi nama dan didaftarkan ke PBB), memiliki 95.181 km garis pantai
(terpanjang kedua setelah Kanada), dan 75 persen wilayahnya berupa laut (5,8
juta km2) termasuk ZEEI (Zona Ekonomi Esklusif Indonesia). Sebagai catatan,
Filipina sebagai negara kepulauan terbesar kedua di dunia hanya memiliki
7.100 pulau (Aroyo, 2012).
Di wilayah pesisir dan laut itu terkandung kekayaan alam yang sangat
besar dan beragam, baik berupa sumber daya alam (SDA) terbarukan (seperti
perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk
bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih
besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti pasang-surut,
gelombang, angin, dan ocean thermal energy conversion/OTEC); maupun jasa-jasa
lingkungan kelautan untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber
keragaman hayati serta plasma nutfah.
Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat
didayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11
sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3)
industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5)
pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8)
perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan
jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional.
Total nilai ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan itu
diperkirakan mencapai US$ 1,2 triliun per tahun dan dapat menyediakan
lapangan kerja untuk 40 juta orang. Sampai sekarang, potensi ekonomi yang
luar biasa besar, ibarat “raksasa yang tertidur” itu belum dimanfaatkan
secara produktif dan optimal.
Sekadar ilustrasi betapa besarnya potensi ekonomi kelautan dapat
disaksikan dari sektor ekonomi perikanan budi daya di perairan payau (tambak)
dan di perairan laut (mariculture).
Total potensi lahan pesisir (coastal
land), termasuk lahan bertekstur pasir (untuk tambak biocrete) yang potensial untuk budidaya payau dengan komoditas
bernilai ekonomi penting, seperti udang vanammei, udang windu, kepiting,
bandeng, nila saline, kerapu lumpur, dan rumput laut (Gracillaria spp) itu
sekitar 2 juta ha dengan potensi produksi sekitar 15 juta ton per tahun.
Hingga tahun lalu, baru dimanfaatkan sekitar 300.000 ha (15 persen) dengan
total produksi 7 juta ton (43 persen).
Dengan rata-rata produktivitas dan harga jual saat ini, bila dalam lima
tahun ke depan Indonesia mampu mengusahakan 600.000 ha tambak untuk budi daya
udang vanammei, udang windu, dan rumput laut, total pendapatan kotornya
sekitar US$ 75 miliar dan jumlah tenaga kerja on farm sekitar 8 juta orang
dengan pendapatan bersih (keuntungan) rata-rata antara Rp 3-15 juta per ha
per bulan.
Dapat dibayangkan, kalau Indonesia mampu mendayagunakan potensi
mariculture dan budi daya payau 75 persen dari total potensinya, persoalan
pengangguran, kemiskinan, kesenjangan kaya versus miskin, disparitas
pembangunan antarwilayah, defisit neraca perdagangan, dan IPM (indeks
pembangunan manusia) yang rendah akan dapat teratasi secara signifikan. Lebih
dari itu, dengan mengembangkan industri hilir dari sejumlah komoditas
mariculture dan budi daya payau, tidak hanya kedaulatan pangan yang bisa
dibangun, tetapi juga farmasi, biofuel (energi), dan ratusan produk industri
hilir lainnya.
Selain itu, modal Indonesia untuk menjadi negara berdaulat maritim yang
kuat dan sejahtera didukung dengan posisi geografisnya yang semakin strategis
di pusaran lalu lintas perekonomian global. Ekonomi kelautan Indonesia bakal
semakin strategis, seiring pergeseran pusat ekonomi dunia dari poros Atlantik
ke Asia Pasifik. Hampir 70 persen total perdagangan dunia berlangsung di
antara negara-negara di Asia Pasifik.
Sementara itu, lebih dari 75 persen barang dan komoditas yang
diperdagangkan ditransportasikan melalui laut dan 45 persen lagi (US$ 1.500
triliun per tahun) di antaranya melalui ALKI (alur laut Kepulauan Indonesia).
Karena letak Indonesia yang sangat strategis (diapit Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia serta oleh Benua Asia dan Australia), mestinya Indonesia yang
mendapat keuntungan paling besar dari posisi kelautan global tersebut.
Dengan berbagai potensi sumber daya kemaritiman ini, diharapkan
Indonesia ke depan mampu menjadi poros maritim dunia yang kuat dan berdaulat.
Namun, kondisinya akan tetap tidak terjamah bila pemerintahan ke depan masih
berparadigma pembangunan darat. Angin segar mulai dapat dirasakan bangsa
Indonesia ketika presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-Jusuf Kalla
kerap menyebut-nyebut ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Karena itu, tanggung jawab besar ada di pundak pemerintahan ke depan
supaya dapat merealisasikan agenda kampanyenya mewujudkan tol laut dan
keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian
ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, serta mencerminkan
kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar