Minggu, 28 September 2014

Menggagas Poros Maritim Dunia

                              Menggagas Poros Maritim Dunia

Rokhmin Dahuri  ;   Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB,
Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (Ganti),
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Maritim dan Perikanan
SINAR HARAPAN,  27 September 2014

                                                                                                                       


Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan karena memiliki lebih dari 17.000 pulau yang tersebar di penjuru Nusantara. Tentu saja hal itu membuktikan bangsa ini kaya akan sumber daya kelautan, baik yang di permukaan maupun di dasar laut. Mulai dari sektor perikanan, terumbu karang, minyak, gas, hingga potensi wisata bahari dan lalu lintas kapal perdagangan logistik.

Sayangnya, hingga saat ini potensi yang diperkirakan turut berkontribusi besar pada pendapatan ekonomi nasional itu tak juga bisa diolah secara maksimal. Kerangka pembangunan masih sangat tersentral di darat (land based development), belum terintegrasi dengan pembangunan berbasis kelautan (ocean based development).

Tak heran bila banyak pemerhati maritim yang menyebut sektor kelautan kita ibarat “raksasa ekonomi yang masih tidur terlelap”.
Dalam rapat kerja nasional (rakernas) PDI Perjuangan di Semarang belum lama ini, presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan, total potensi kerugian negara akibat kegiatan ilegal yang terjadi di wilayah perairan Indonesia mencapai Rp 300 triliun. Hal ini menjadi bukti tak terbantahkan di mana sektor kelautan selama ini belum diperhatikan secara serius.

Berdasarkan hal itu, pemerintahan mendatang Indonesia diharapkan akan menjadi poros maritim dunia dengan memberi perhatian lebih pada sektor ini. Apalagi bangsa ini memiliki modal besar untuk menjadi kekuatan maritim di tingkat global. Argumentasi ini bukanlah sekadar asal belaka. Namun, itu merupakan harapan untuk membangun kembali kejayaan maritim, seperti pada masa Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan kesultanan Islam pada abad ke-7 sampai abad ke-13.

Pasalnya, selain memiliki sejarah panjang di bidang kemaritiman, fakta empiris Indonesia sebagai negara bahari tercermin dari keberadaan pulau-pulau besar, indah, dan kaya. Negeri ini merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia yang tersusun atas 17.504 pulau (baru 13.466 pulau yang telah diberi nama dan didaftarkan ke PBB), memiliki 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan 75 persen wilayahnya berupa laut (5,8 juta km2) termasuk ZEEI (Zona Ekonomi Esklusif Indonesia). Sebagai catatan, Filipina sebagai negara kepulauan terbesar kedua di dunia hanya memiliki 7.100 pulau (Aroyo, 2012).

Di wilayah pesisir dan laut itu terkandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya alam (SDA) terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi); SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan ocean thermal energy conversion/OTEC); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan untuk pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah.

Kekayaan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan tersebut dapat didayagunakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) hutan mangrove, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA nonkonvensional.

Total nilai ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan itu diperkirakan mencapai US$ 1,2 triliun per tahun dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 40 juta orang. Sampai sekarang, potensi ekonomi yang luar biasa besar, ibarat “raksasa yang tertidur” itu belum dimanfaatkan secara produktif dan optimal.

Sekadar ilustrasi betapa besarnya potensi ekonomi kelautan dapat disaksikan dari sektor ekonomi perikanan budi daya di perairan payau (tambak) dan di perairan laut (mariculture). Total potensi lahan pesisir (coastal land), termasuk lahan bertekstur pasir (untuk tambak biocrete) yang potensial untuk budidaya payau dengan komoditas bernilai ekonomi penting, seperti udang vanammei, udang windu, kepiting, bandeng, nila saline, kerapu lumpur, dan rumput laut (Gracillaria spp) itu sekitar 2 juta ha dengan potensi produksi sekitar 15 juta ton per tahun. Hingga tahun lalu, baru dimanfaatkan sekitar 300.000 ha (15 persen) dengan total produksi 7 juta ton (43 persen).

Dengan rata-rata produktivitas dan harga jual saat ini, bila dalam lima tahun ke depan Indonesia mampu mengusahakan 600.000 ha tambak untuk budi daya udang vanammei, udang windu, dan rumput laut, total pendapatan kotornya sekitar US$ 75 miliar dan jumlah tenaga kerja on farm sekitar 8 juta orang dengan pendapatan bersih (keuntungan) rata-rata antara Rp 3-15 juta per ha per bulan.

Dapat dibayangkan, kalau Indonesia mampu mendayagunakan potensi mariculture dan budi daya payau 75 persen dari total potensinya, persoalan pengangguran, kemiskinan, kesenjangan kaya versus miskin, disparitas pembangunan antarwilayah, defisit neraca perdagangan, dan IPM (indeks pembangunan manusia) yang rendah akan dapat teratasi secara signifikan. Lebih dari itu, dengan mengembangkan industri hilir dari sejumlah komoditas mariculture dan budi daya payau, tidak hanya kedaulatan pangan yang bisa dibangun, tetapi juga farmasi, biofuel (energi), dan ratusan produk industri hilir lainnya.

Selain itu, modal Indonesia untuk menjadi negara berdaulat maritim yang kuat dan sejahtera didukung dengan posisi geografisnya yang semakin strategis di pusaran lalu lintas perekonomian global. Ekonomi kelautan Indonesia bakal semakin strategis, seiring pergeseran pusat ekonomi dunia dari poros Atlantik ke Asia Pasifik. Hampir 70 persen total perdagangan dunia berlangsung di antara negara-negara di Asia Pasifik.

Sementara itu, lebih dari 75 persen barang dan komoditas yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut dan 45 persen lagi (US$ 1.500 triliun per tahun) di antaranya melalui ALKI (alur laut Kepulauan Indonesia). Karena letak Indonesia yang sangat strategis (diapit Samudra Pasifik dan Samudra Hindia serta oleh Benua Asia dan Australia), mestinya Indonesia yang mendapat keuntungan paling besar dari posisi kelautan global tersebut.

Dengan berbagai potensi sumber daya kemaritiman ini, diharapkan Indonesia ke depan mampu menjadi poros maritim dunia yang kuat dan berdaulat. Namun, kondisinya akan tetap tidak terjamah bila pemerintahan ke depan masih berparadigma pembangunan darat. Angin segar mulai dapat dirasakan bangsa Indonesia ketika presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-Jusuf Kalla kerap menyebut-nyebut ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Karena itu, tanggung jawab besar ada di pundak pemerintahan ke depan supaya dapat merealisasikan agenda kampanyenya mewujudkan tol laut dan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, serta mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar