Jilbooty
dan Jilboobs
Musyafak ; Staf di Balai Litbang Agama Semarang
|
KORAN
TEMPO, 27 September 2014
Baru-baru ini di linimaya ramai perbincangan menyoal cara berjilbab
yang masih menampakkan sembulan-sembulan tubuh yang sensual. Dalam
perbincangan yang penuh cemoohan itu tercetus dua istilah yang setidaknya
merepresentasikan fenomena berjilbab yang paradoksal, yaitu jilbooty dan
jilboobs.
Istilah yang pertama merupakan akronim dari jilbab dan booty (pantat).
Jilbooty menunjuk cara berjilbab yang mengabaikan bagian bawah tubuh,
sehingga lekukan bokong atau bahkan sebagian bokong jelas terpapar. Adapun
istilah yang kedua adalah akronim dari jilbab dan boobs (dada). Jilboobs juga
menjadi istilah cemoohan bagi mereka yang berjilbab mini dan berbaju ketat
sehinga sembulan dadanya tampak jelas.
Baik jilbooty maupun jilboobs memaparkan paradoks perempuan muslim
dalam mengurus syariat dan fashion. Dalam satu waktu, seseorang memutuskan
untuk menutup kepalanya dengan jilbab, namun sebagian tubuhnya yang sensual
justru ditonjolkan. Fenomena itu mengisyaratkan bahwa seseorang tidak mau
mati gaya, dalam arti kehilangan kesan seksi, ketika mengenakan jilbab.
Secara ideologis, ada nalar keagamaan yang tersembunyi di balik jilbab.
Ada alasan-alasan syariah yang melatarbelakangi orang berjilbab, semisal
perintah agama untuk menutup aurat di sebagian kepala-meski
batasan-batasannya juga masih longgar untuk didebatkan.
Namun, dalam konteks sosiologis, tidak semua perempuan muslim yang
berjilbab serta-merta menuruti ajaran agama. Sebagian mereka tak ubahnya
"korban" dari proyek politik identitas kaum muslim di Indonesia
yang hendak mengukuhkan identitas kemusliman di ruang publik dengan simbol-simbol
agama seperti jilbab. Di tengah gelombang proyek identitas itu para perempuan
"dipaksa" melakukan konformitas (penyesuaian) sosial dengan sesama
muslim perempuan yang sudah dominan berjilbab.
Secara historis, bentuk jilbab yang sekarang digunakan oleh
perempuan-perempuan muslim di Indonesia baru muncul pada 1990-an ketika
proyek identitas kaum muslim Indonesia sedang digulirkan. Sebelumnya, tradisi
menutup kepala dilakukan dengan sejenis kerudung (Jawa) atau a'bongong
(Makassar) yang tidak menutup semua bagian rambut atau kepala.
Kini, jilbab telah mengalami komodifikasi sedemikian rupa oleh industri
fashion. Jilbab tidak semata-mata diletakkan sebagai titah agama, tapi juga
kebutuhan mode yang fleksibel dan dinamis yang bisa diperbarui sewaktu-waktu.
Komodifikasi ini ditautkan dengan industri hiburan yang mudah diakses
masyarakat muslim melalui media massa. Akhirnya, para artis yang kini malah
menjadi "panutan" dalam berjilbab.
Ketika Syahrini mengenakan jilbab model baru, misalnya, segera akan booming
"jilbab Syahrini". Anganan berjilbab yang modis itu juga tampak
dari munculnya komunitas-komunitas jilbabers yang mengajari para perempuan
untuk berjilbab semisal dengan gaya lipat-lilit yang bermacam-macam. Dari
kalangan inilah kemudian muncul buku-buku panduan berjilbab.
Fenomena jilbooty dan jilboobs tak sesederhana urusan syariah ataupun
gaya hidup. Di baliknya tersembunyi ketegangan, atau sebaliknya, pembauran
yang manis antara tafsir keagamaan, kapitalisme, dan proyek identitas
keislaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar