Regresi
Politik 2014
Mochtar Pabottingi ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
29 September 2014
Peta politik di tiap negara senantiasa berubah. Ernest Renan menulis, ”A nation’s existence is a daily
plebiscite”—kehidupan suatu bangsa laiknya plebisit tiap hari. Namun,
yang kita ulas di sini bukanlah truisma
seperti itu, bukan sekadar rangkaian perubahan yang niscaya terjadi pada tiap
negara-bangsa kapan pun, melainkan sejauh mana rangkaian perubahan mengarah
pada regresi atau pada progresi politik—pada kemunduran atau pada kemajuan
politik. Lebih penting, bagaimana ekuasi atau asimetri di antara keduanya.
Nasib bangsa kita ke depan sangat ditentukan oleh ekuasi atau asimetri demikian.
Kemunduran
demokrasi
Pada ”tahun politik” ini, bangsa kita dilanda sekaligus oleh tiga
regresi politik yang berkumulasi besar dan berkelindan erat satu sama lain.
Pertama, merajalelanya kampanye bermuatan fitnah atas dasar sentimen
primordial mentah yang sulit dipertanggungjawabkan sepanjang bulan-bulan
menjelang Pemilu Presiden 2014.
Kedua, menguatnya oportunisme politik, termasuk pada partai-partai
Islam. Di sini oportunisme juga terasa sebagai pengkhianatan, yaitu kala
dua-tiga partai pengusung awal reformasi bergabung ke kubu pimpinan tokoh
yang tampak masih berorientasi pada Orde Baru dengan rekam jejak yang sangat
kontroversial.
Ketiga adalah terjadi apa yang sulit untuk tidak disebut ”laku begal”
demi kepentingan politik picik dalam praktik legislasi menyangkut
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (UU MD3). Dan pada hari-hari ini, kita menyaksikan kecenderungan ke
arah ”laku jegal” yang dilancarkan juga di DPR menyangkut RUU Pilkada. Pada
kedua laku ini aroma hawa nafsu kekuasaan model Orde Baru yang miskin
keabsahan kembali merebak. Dalam kaitan ini, kita perlu menambahkan bahwa
laku penolakan berlebihan dari kubu Prabowo-Hatta untuk menerima kekalahan
pada pilpres lalu juga termasuk preseden buruk. Itu belum pernah terjadi,
baik masa demokrasi parlementer maupun sepanjang era reformasi.
Gabungan ketiga regresi ini merupakan kemunduran politik besar karena
yang sekaligus dilanggar atau dikhianati adalah ideal-ideal sah dari
kehidupan kita bernegara serta beragama di satu sisi dan rasionalitas
demokrasi di sisi lain. Pelanggaran serempak terhadap ideal-ideal di ranah
negara-bangsa, iman, dan rasionalitas demokrasi itu bisa berkomplikasi buruk
ke masa depan. Di atas semuanya, itu bisa membuat bangsa kita keluar dari
rel-rel yang sudah disepakati sejak masa kebangkitan nasional, revolusi
kemerdekaan, dan pembentukan republik kita. Itu juga merupakan kemunduran (setback) serius dari agenda
konsolidasi demokrasi di era reformasi.
Di ranah negara-bangsa, ketiga regresi itu sama sekali tak mengindahkan
ideal-ideal Sumpah Pemuda, Pancasila, dan/atau ideal-ideal reformasi itu
sendiri. Ketiganya juga tidak mengindahkan simbiosis faktual dan historis
yang saling memperkuat antara nasion dan demokrasi. Simbiosis itu berlaku
dalam semacam hukum baku politik bahwa manakala demokrasi dijalankan
sebagaimana semestinya, ia akan memperkuat serat-serat nasion; dan manakala
nasion dijunjung sebagaimana mestinya, ia akan memudahkan tumbuhnya demokrasi
secara sehat dan subur.
Di ranah iman, tak sulit menemukan pendukung partai-partai Islam yang
melupakan tuntutan agama mereka untuk tidak hanya menghindari, tetapi juga
meniadakan laku dan iklim fitnah di sekitar kita. Mereka tak lagi peduli
untuk ”menegakkan mizan” dan/atau ”bersaksi secara adil dan benar” serta
menegakkan amar ma’ruf, nahi mungkar. Sudah seyogianya jika tuntutan etika
politik berlaku jauh lebih kuat pada partai-partai agama dibandingkan dengan
partai nonagama.
Rasionalitas demokrasi dilanggar jika prinsip ”keabsahan prosedural”
dan ”keabsahan substansial” pada mekanisme pemerintahan dinafikan, termasuk
pada penyusunan dan pengesahan UU. Kita ketahui, pengesahan revisi UU MD3
digenjot paksa di tengah kresendo politik Pilpres 2014. Itu bahkan disahkan
tepat sehari sebelum hari pemungutan suara Pilpres 2014 itu! Maka, sulit bagi
kita untuk tidak mengaitkannya dengan ”laku begal”.
Sudah merupakan konvensi universal demokrasi bahwa UU tidak boleh
disusun, apalagi disahkan, secara stealthy—secara mencuri—ketika energi dan
perhatian mayoritas warga negara dan terutama mayoritas pelaksana
pemerintahan sepenuhnya tersedot pada puncak agenda politik nasional lima
tahunan yang ultrapenting. Pada laku demikian, juga dilanggar prinsip
kesetaraan tanding (level playing field)
dan/atau niscayanya kecukupan musyawarah sejati (the sufficiency of true deliberation) dalam setiap proses
legislasi.
Sama halnya, tidaklah mengherankan jika mayoritas masyarakat melihat
ofensif untuk mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD sekaligus sebagai upaya
merampas kembali kedaulatan rakyat dan mempersulit kiprah pemerintahan baru.
Yang dijunjung dan diusung oleh ofensif ini hanyalah kepentingan
elitis-sektarian, serta laku gontok-gontokan—sama sekali bukan kepentingan
nasional. Yang dilakukan adalah mencampakkan tuntutan akan terselenggaranya
prinsip ”pergiliran pemerintahan” secara tertib, tujuan utama pemilu—bagian
mutlak dari rasionalitas demokrasi itu. Laku jegal seperti ini bisa berujung
pada konsekuensi celaka, yaitu berlangsungnya pemerintahan tanpa pemerintahan
sebab niat utamanya tidak untuk menciptakan kemaslahatan bersama (public good), tetapi merisikokan suatu
kondisi tak menentu di ranah publik (a
state of public uncertainty).
Mengingkari
prinsip negara hukum
Baik laku begal legislasi maupun laku jegal pemerintahan di DPR mau tak
mau akan membawa kita kembali ke dua pertanyaan sentral yang berkaitan
menyangkut setiap pejabat publik dalam demokrasi. Pertama, apa yang terjadi
dengan kedua kriteria utama, yaitu integritas dan kompetensi—atau moralitas
dan otoritas—yang mereka harus penuhi kapan pun? Kedua, ini juga langsung
membawa kita pada pertanyaan tercerahkan dari Giovanni Sartori, yaitu apakah
kita melaksanakan demokrasi sebagai ”preskripsi” (sebagai ihwal bertujuan
luhur) ataukah semata-mata sebagai ”deskripsi” (sebagai ihwal tanpa tujuan
luhur)? Dalam bahasa Sartori: ”Demokrasilah
satu-satunya sistem pemerintahan yang adanya ditentukan oleh ideal-idealnya.”
Kita dapat menyimpulkan bahwa kedua laku buruk di atas pada hakikatnya
sama-sama mengingkari prinsip negara hukum—prinsip Rechtsstaat. Itu karena negara hukum sejati hanya bisa ditegakkan
dengan mengindahkan kedua sisi dari prinsip dwi-keabsahan di atas: keabsahan
prosedural dan keabsahan substansial. Di dalam legislasi, kian tinggi
penghormatan pada prinsip dwi-keabsahan itu, kian kokoh pulalah bangunan
negara-bangsa kita sebagai Rechtsstaat. Jika ini tercipta, kian mengecil
pulalah frekuensi kasus yang harus ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan
kata lain, makin tinggi frekuensi kasus yang harus ditangani oleh MK, makin
lemah pulalah negara-bangsa kita sebagai Rechtsstaat.
Penjumudan politik in toto
demikian di dua ranah sentral ataupun dalam rasionalitas demokrasi tak pernah
dialami oleh bangsa kita, di masa demokrasi parlementer sekalipun. Sejak
kemerdekaan tak terlacak instance atau contoh momentum lain di mana ketiga
regresi politik di atas berlaku sekaligus. Kita sungguh patut bersyukur bahwa
terlepas dari gencarnya laku fitnah dan khianat di sepanjang proses Pilpres
2014, yang tampil sebagai pemenang tetap kubu yang hingga saat ini tetap
menjunjung kriteria integritas—kompetensi atau moralitas-otoritas—kubu yang
sungguh menangkap dan menjunjung ideal-ideal demokrasi. Kemenangan itu jelas
menunjukkan bahwa mayoritas rakyat menolak laku fitnah dan laku khianat dalam
bernegara-bangsa.
Joko Widodo mungkin satu-satunya presiden terpilih di dunia yang tak
menghendaki para relawan pendukungnya selama pilpres bubar setelah dia
terpilih. Itu berarti bahwa mengatasi semua presiden yang terpilih lewat
pilpres, ia menunjukkan tekad terbuka untuk terus tegak pada ideal-ideal
kampanyenya. Hanya kepemimpinan politik yang bisa secara tulus menyentuh
kalbu serta menangkap hasrat-hasrat murni-terdalam pada bangsanya yang akan
sanggup menggalang kekuatan raksasa menuju masa depan yang lebih baik: suatu
negara-bangsa yang integer vitae,
scelerisque purus, yang ”makmur
terpuji di bawah lindungan Tuhan yang Maha Pengasih”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar