Selasa, 30 September 2014

Regresi Politik 2014

Regresi Politik 2014

Mochtar Pabottingi  ;   Profesor Riset LIPI
KOMPAS,  29 September 2014

                                                                                                                       


Peta politik di tiap negara senantiasa berubah. Ernest Renan menulis, ”A nation’s existence is a daily plebiscite”—kehidupan suatu bangsa laiknya plebisit tiap hari. Namun, yang kita ulas di sini bukanlah truisma seperti itu, bukan sekadar rangkaian perubahan yang niscaya terjadi pada tiap negara-bangsa kapan pun, melainkan sejauh mana rangkaian perubahan mengarah pada regresi atau pada progresi politik—pada kemunduran atau pada kemajuan politik. Lebih penting, bagaimana ekuasi atau asimetri di antara keduanya. Nasib bangsa kita ke depan sangat ditentukan oleh ekuasi atau asimetri demikian.

Kemunduran demokrasi

Pada ”tahun politik” ini, bangsa kita dilanda sekaligus oleh tiga regresi politik yang berkumulasi besar dan berkelindan erat satu sama lain. Pertama, merajalelanya kampanye bermuatan fitnah atas dasar sentimen primordial mentah yang sulit dipertanggungjawabkan sepanjang bulan-bulan menjelang Pemilu Presiden 2014.

Kedua, menguatnya oportunisme politik, termasuk pada partai-partai Islam. Di sini oportunisme juga terasa sebagai pengkhianatan, yaitu kala dua-tiga partai pengusung awal reformasi bergabung ke kubu pimpinan tokoh yang tampak masih berorientasi pada Orde Baru dengan rekam jejak yang sangat kontroversial.

Ketiga adalah terjadi apa yang sulit untuk tidak disebut ”laku begal” demi kepentingan politik picik dalam praktik legislasi menyangkut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dan pada hari-hari ini, kita menyaksikan kecenderungan ke arah ”laku jegal” yang dilancarkan juga di DPR menyangkut RUU Pilkada. Pada kedua laku ini aroma hawa nafsu kekuasaan model Orde Baru yang miskin keabsahan kembali merebak. Dalam kaitan ini, kita perlu menambahkan bahwa laku penolakan berlebihan dari kubu Prabowo-Hatta untuk menerima kekalahan pada pilpres lalu juga termasuk preseden buruk. Itu belum pernah terjadi, baik masa demokrasi parlementer maupun sepanjang era reformasi.

Gabungan ketiga regresi ini merupakan kemunduran politik besar karena yang sekaligus dilanggar atau dikhianati adalah ideal-ideal sah dari kehidupan kita bernegara serta beragama di satu sisi dan rasionalitas demokrasi di sisi lain. Pelanggaran serempak terhadap ideal-ideal di ranah negara-bangsa, iman, dan rasionalitas demokrasi itu bisa berkomplikasi buruk ke masa depan. Di atas semuanya, itu bisa membuat bangsa kita keluar dari rel-rel yang sudah disepakati sejak masa kebangkitan nasional, revolusi kemerdekaan, dan pembentukan republik kita. Itu juga merupakan kemunduran (setback) serius dari agenda konsolidasi demokrasi di era reformasi.

Di ranah negara-bangsa, ketiga regresi itu sama sekali tak mengindahkan ideal-ideal Sumpah Pemuda, Pancasila, dan/atau ideal-ideal reformasi itu sendiri. Ketiganya juga tidak mengindahkan simbiosis faktual dan historis yang saling memperkuat antara nasion dan demokrasi. Simbiosis itu berlaku dalam semacam hukum baku politik bahwa manakala demokrasi dijalankan sebagaimana semestinya, ia akan memperkuat serat-serat nasion; dan manakala nasion dijunjung sebagaimana mestinya, ia akan memudahkan tumbuhnya demokrasi secara sehat dan subur.

Di ranah iman, tak sulit menemukan pendukung partai-partai Islam yang melupakan tuntutan agama mereka untuk tidak hanya menghindari, tetapi juga meniadakan laku dan iklim fitnah di sekitar kita. Mereka tak lagi peduli untuk ”menegakkan mizan” dan/atau ”bersaksi secara adil dan benar” serta menegakkan amar ma’ruf, nahi mungkar. Sudah seyogianya jika tuntutan etika politik berlaku jauh lebih kuat pada partai-partai agama dibandingkan dengan partai nonagama.

Rasionalitas demokrasi dilanggar jika prinsip ”keabsahan prosedural” dan ”keabsahan substansial” pada mekanisme pemerintahan dinafikan, termasuk pada penyusunan dan pengesahan UU. Kita ketahui, pengesahan revisi UU MD3 digenjot paksa di tengah kresendo politik Pilpres 2014. Itu bahkan disahkan tepat sehari sebelum hari pemungutan suara Pilpres 2014 itu! Maka, sulit bagi kita untuk tidak mengaitkannya dengan ”laku begal”.

Sudah merupakan konvensi universal demokrasi bahwa UU tidak boleh disusun, apalagi disahkan, secara stealthy—secara mencuri—ketika energi dan perhatian mayoritas warga negara dan terutama mayoritas pelaksana pemerintahan sepenuhnya tersedot pada puncak agenda politik nasional lima tahunan yang ultrapenting. Pada laku demikian, juga dilanggar prinsip kesetaraan tanding (level playing field) dan/atau niscayanya kecukupan musyawarah sejati (the sufficiency of true deliberation) dalam setiap proses legislasi.

Sama halnya, tidaklah mengherankan jika mayoritas masyarakat melihat ofensif untuk mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD sekaligus sebagai upaya merampas kembali kedaulatan rakyat dan mempersulit kiprah pemerintahan baru. Yang dijunjung dan diusung oleh ofensif ini hanyalah kepentingan elitis-sektarian, serta laku gontok-gontokan—sama sekali bukan kepentingan nasional. Yang dilakukan adalah mencampakkan tuntutan akan terselenggaranya prinsip ”pergiliran pemerintahan” secara tertib, tujuan utama pemilu—bagian mutlak dari rasionalitas demokrasi itu. Laku jegal seperti ini bisa berujung pada konsekuensi celaka, yaitu berlangsungnya pemerintahan tanpa pemerintahan sebab niat utamanya tidak untuk menciptakan kemaslahatan bersama (public good), tetapi merisikokan suatu kondisi tak menentu di ranah publik (a state of public uncertainty).

Mengingkari prinsip negara hukum

Baik laku begal legislasi maupun laku jegal pemerintahan di DPR mau tak mau akan membawa kita kembali ke dua pertanyaan sentral yang berkaitan menyangkut setiap pejabat publik dalam demokrasi. Pertama, apa yang terjadi dengan kedua kriteria utama, yaitu integritas dan kompetensi—atau moralitas dan otoritas—yang mereka harus penuhi kapan pun? Kedua, ini juga langsung membawa kita pada pertanyaan tercerahkan dari Giovanni Sartori, yaitu apakah kita melaksanakan demokrasi sebagai ”preskripsi” (sebagai ihwal bertujuan luhur) ataukah semata-mata sebagai ”deskripsi” (sebagai ihwal tanpa tujuan luhur)? Dalam bahasa Sartori: ”Demokrasilah satu-satunya sistem pemerintahan yang adanya ditentukan oleh ideal-idealnya.”

Kita dapat menyimpulkan bahwa kedua laku buruk di atas pada hakikatnya sama-sama mengingkari prinsip negara hukum—prinsip Rechtsstaat. Itu karena negara hukum sejati hanya bisa ditegakkan dengan mengindahkan kedua sisi dari prinsip dwi-keabsahan di atas: keabsahan prosedural dan keabsahan substansial. Di dalam legislasi, kian tinggi penghormatan pada prinsip dwi-keabsahan itu, kian kokoh pulalah bangunan negara-bangsa kita sebagai Rechtsstaat. Jika ini tercipta, kian mengecil pulalah frekuensi kasus yang harus ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, makin tinggi frekuensi kasus yang harus ditangani oleh MK, makin lemah pulalah negara-bangsa kita sebagai Rechtsstaat.

Penjumudan politik in toto demikian di dua ranah sentral ataupun dalam rasionalitas demokrasi tak pernah dialami oleh bangsa kita, di masa demokrasi parlementer sekalipun. Sejak kemerdekaan tak terlacak instance atau contoh momentum lain di mana ketiga regresi politik di atas berlaku sekaligus. Kita sungguh patut bersyukur bahwa terlepas dari gencarnya laku fitnah dan khianat di sepanjang proses Pilpres 2014, yang tampil sebagai pemenang tetap kubu yang hingga saat ini tetap menjunjung kriteria integritas—kompetensi atau moralitas-otoritas—kubu yang sungguh menangkap dan menjunjung ideal-ideal demokrasi. Kemenangan itu jelas menunjukkan bahwa mayoritas rakyat menolak laku fitnah dan laku khianat dalam bernegara-bangsa.

Joko Widodo mungkin satu-satunya presiden terpilih di dunia yang tak menghendaki para relawan pendukungnya selama pilpres bubar setelah dia terpilih. Itu berarti bahwa mengatasi semua presiden yang terpilih lewat pilpres, ia menunjukkan tekad terbuka untuk terus tegak pada ideal-ideal kampanyenya. Hanya kepemimpinan politik yang bisa secara tulus menyentuh kalbu serta menangkap hasrat-hasrat murni-terdalam pada bangsanya yang akan sanggup menggalang kekuatan raksasa menuju masa depan yang lebih baik: suatu negara-bangsa yang integer vitae, scelerisque purus, yang ”makmur terpuji di bawah lindungan Tuhan yang Maha Pengasih”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar