Sabtu, 27 September 2014

Surat Terbuka untuk Ketua Umum PBNU

Surat Terbuka untuk Ketua Umum PBNU

Syaiful Arif  ;   Anak Muda NU; Peneliti Forum Demokrasi
KOMPAS, 25 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Yang terhormat,

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj.

Surat terbuka ini terpaksa saya layangkan karena dua hal. Pertama, masa depan demokrasi kita berada di ujung tanduk. Kedua, kewaskitaan Nahdlatul Ulama sebagai lokomotif gerakan masyarakat sipil (civil society) juga di ujung tanduk.
Semua berawal dari pernyataan Kiai yang mendukung Rancangan Undang- Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) tak langsung.

Memang, Kiai mendasarkan argumentasi pada hasil Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas NU), 15-17 September 2012, di Cirebon, Jawa Barat. Melalui Bahstul Masa’il Maudlu’iyyah, Munas NU mendukung pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Seperti biasa, hal ini didasarkan pada kaidah fikih, dar’ul mafasid muqaddam ’ala jalbil mashalih (menghindari keburukan lebih utama daripada mencari kemanfaatan).

Menurut munas, keburukan pilkada langsung terdapat pada dua hal. Pertama, mahalnya biaya politik, baik yang ditanggung negara maupun kandidat, sehingga melahirkan money politics (risywah siyasiyyah).

Kedua, munculnya konflik horizontal akibat perbedaan dukungan. Manfaat pilkada langsung dinilai masih semu (wahmiyyah), sedangkan keburukannya telah nyata (muhaqqaqah). Maka, pilkada melalui DPRD merupakan cara yang paling kecil keburukannya di antara dua keburukan (irtikab akhaffud dlararain).

Argumentasi munas sendiri sah dalam konteks kekhawatiran para ulama atas dampak negatif pilkada langsung: money politics dan konflik horizontal. Atas hal ini, saya sepakat. Akan tetapi, anggapan kemanfaatannya semu merupakan penilaian tanpa refleksi, apalagi riset mendalam.

Pertanyaannya, apakah gairah politik warga DKI Jakarta, yang pada dua bulan sebelum munas (11/7/2012) melakukan pilkada gubernur dan memenangkan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, tidak dinilai sebagai kebaikan yang nyata? Apakah melonjaknya partisipasi rakyat untuk memilih setelah sekian lama golput tidak dianggap manfaat nyata?

Kelemahan kita

Guru dan pemimpin besar kita, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), paham kelemahan NU. Dalam ”Islam, the State and Development in Indonesia”, Gus Dur menyebut corak pemikiran NU sebagai legalisme adaptif (adaptive legalism), yakni pola pemikiran Islam yang berangkat dari legalisme fikih dan digunakan untuk beradaptasi dengan keadaan.

Risikonya langsung terlihat. Pertama, ia menggunakan kaidah fikih klasik untuk kondisi modern. Kedua, minimnya kerangka sosial yang membantu kontekstualisasi kaidah tersebut pada kompleksitas modernitas (Wahid, 1981: 25-26).

Kelemahan ini terdapat pada hasil Munas 2012. Pertama, kaidah dar’ul mafasid muqaddam ’ala jalbil mashalih tidak mencukupi untuk melahirkan pandangan progresif atas polemik pilkada.

Kedua, ketiadaan kerangka sosial, misalnya asupan konsep-konsep demokrasi, membuat ia bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Perbedaan hasil munas dengan suara rakyat yang tetap pro pilkada langsung di era RUU Pilkada kini menunjukkan kontra relevansi pandangan NU atas semangat zaman yang menuntut partisipasi demokratis.

Kiai Said yang terhormat,

Memang pernyataan Anda bagian dari artikulasi pandangan organisasi. Akan tetapi, secara tidak langsung, Anda memberikan dukungan terhadap ”akal bulus” Koalisi Merah Putih untuk merebut kekuasaan daerah, setelah kekalahan pemilihan presiden pada 9 Juli.

Spirit RUU Pilkada dan hasil Munas 2012 sendiri berbeda. Hasil munas murni keresahan para ulama yang, meskipun kurang tepat, nir-kepentingan. Sementara RUU Pilkada lebih merupakan ”manuver sakit hati” dari hasrat berkuasa tak terpuasi.

Menempatkan putusan murni dalam konteks yang keruh tentu bertentangan dengan prinsip sufisme yang Anda pakari. Lebih jauh, dukungan Kiai telah menurunkan derajat NU sebagai civil Islam terbesar di republik ini.

Banyak orang luar, terutama ilmuwan Barat, terpesona kepada NU gara-gara organisasi ini menjadi lokomotif demokrasi. Hal ini dianggap kontradiktif dengan sifat dasarnya, yang tradisional.

Mitsuo Nakamura menyebut NU sebagai bagian dari radical traditionalism. Artinya, justru karena tradisinya, NU memiliki paham dan tindakan politik radikal, dalam arti pandangan politik mendasar (Nakamura, 1996: 72).

Ini karena kemampuan NU mengintegrasikan Islam ke dalam perjuangan nasional dalam bentuk demokratisasi jangka panjang.

Kiai Said yang terhormat,

Kita tentu mafhum, masyarakat Indonesia tengah menuju kematangan demokrasi. Kemunculan para pemimpin daerah yang kreatif dalam ”mengadministrasikan keadilan sosial” berbalas manis dengan bangkitnya kegairahan publik atas politik.

Anda pasti sepakat bahwa program populis seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP), yang dibesut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, selaras dengan kaidah fikih: kebijakan pemimpin harus terkait dengan kesejahteraan rakyat. Tanpa pilkada langsung, tak akan muncul populisme ini.

Sebagaimana tradisi kita, NU semestinya memperkuat hal ini, dengan menjaga partisipasi publik dalam demokrasi, salah satunya melalui pilkada langsung.
Bukankah hal ini menjadi pedoman politik NU yang ditetapkan dalam Muktamar Ke-28 tahun 1989? Yakni mengembangkan kemerdekaan hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa demi kemaslahatan bersama.

Kemerdekaan hakiki yang demokratis hanya terlaksana melalui pilkada langsung sebab subyek demokrasi adalah rakyat. Adapun subyek pilkada via DPRD tentu orang-orang partai.

Apakah kita rela kedaulatan yang sudah berada di tangan rakyat diambil alih oleh oligarki partai yang belum membersihkan diri dari politik transaksional dan ”dagang sapi”? Salam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar