Surat
Terbuka untuk Ketua Umum PBNU
Syaiful Arif ;
Anak Muda NU; Peneliti Forum
Demokrasi
|
KOMPAS,
25 September 2014
Yang
terhormat,
Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj.
Surat terbuka ini terpaksa saya layangkan
karena dua hal. Pertama, masa depan demokrasi kita berada di ujung tanduk.
Kedua, kewaskitaan Nahdlatul Ulama sebagai lokomotif gerakan masyarakat sipil
(civil society) juga di ujung
tanduk.
Semua berawal dari pernyataan Kiai yang
mendukung Rancangan Undang- Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) tak
langsung.
Memang, Kiai mendasarkan argumentasi pada hasil
Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas NU), 15-17 September 2012, di
Cirebon, Jawa Barat. Melalui Bahstul Masa’il Maudlu’iyyah, Munas NU mendukung
pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Seperti biasa, hal ini
didasarkan pada kaidah fikih, dar’ul
mafasid muqaddam ’ala jalbil mashalih (menghindari keburukan lebih utama daripada mencari kemanfaatan).
Menurut munas, keburukan pilkada langsung
terdapat pada dua hal. Pertama, mahalnya biaya politik, baik yang ditanggung
negara maupun kandidat, sehingga melahirkan money politics (risywah
siyasiyyah).
Kedua, munculnya konflik horizontal akibat
perbedaan dukungan. Manfaat pilkada langsung dinilai masih semu (wahmiyyah), sedangkan keburukannya
telah nyata (muhaqqaqah). Maka,
pilkada melalui DPRD merupakan cara yang paling kecil keburukannya di antara
dua keburukan (irtikab akhaffud
dlararain).
Argumentasi munas sendiri sah dalam konteks
kekhawatiran para ulama atas dampak negatif pilkada langsung: money politics dan konflik horizontal.
Atas hal ini, saya sepakat. Akan tetapi, anggapan kemanfaatannya semu
merupakan penilaian tanpa refleksi, apalagi riset mendalam.
Pertanyaannya, apakah gairah politik warga DKI
Jakarta, yang pada dua bulan sebelum munas (11/7/2012) melakukan pilkada
gubernur dan memenangkan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, tidak dinilai
sebagai kebaikan yang nyata? Apakah melonjaknya partisipasi rakyat untuk
memilih setelah sekian lama golput tidak dianggap manfaat nyata?
Kelemahan
kita
Guru dan pemimpin besar kita, KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), paham kelemahan NU. Dalam ”Islam, the State and Development in Indonesia”, Gus Dur menyebut
corak pemikiran NU sebagai legalisme adaptif (adaptive legalism), yakni pola pemikiran Islam yang berangkat
dari legalisme fikih dan digunakan untuk beradaptasi dengan keadaan.
Risikonya langsung terlihat. Pertama, ia
menggunakan kaidah fikih klasik untuk kondisi modern. Kedua, minimnya
kerangka sosial yang membantu kontekstualisasi kaidah tersebut pada
kompleksitas modernitas (Wahid, 1981:
25-26).
Kelemahan ini terdapat pada hasil Munas 2012.
Pertama, kaidah dar’ul mafasid muqaddam
’ala jalbil mashalih tidak mencukupi untuk melahirkan pandangan progresif
atas polemik pilkada.
Kedua, ketiadaan kerangka sosial, misalnya
asupan konsep-konsep demokrasi, membuat ia bertentangan dengan
prinsip-prinsip demokrasi. Perbedaan hasil munas dengan suara rakyat yang
tetap pro pilkada langsung di era RUU Pilkada kini menunjukkan kontra
relevansi pandangan NU atas semangat zaman yang menuntut partisipasi
demokratis.
Kiai Said
yang terhormat,
Memang pernyataan Anda bagian dari artikulasi
pandangan organisasi. Akan tetapi, secara tidak langsung, Anda memberikan
dukungan terhadap ”akal bulus” Koalisi Merah Putih untuk merebut kekuasaan
daerah, setelah kekalahan pemilihan presiden pada 9 Juli.
Spirit RUU Pilkada dan hasil Munas 2012 sendiri
berbeda. Hasil munas murni keresahan para ulama yang, meskipun kurang tepat,
nir-kepentingan. Sementara RUU Pilkada lebih merupakan ”manuver sakit hati”
dari hasrat berkuasa tak terpuasi.
Menempatkan putusan murni dalam konteks yang
keruh tentu bertentangan dengan prinsip sufisme yang Anda pakari. Lebih jauh,
dukungan Kiai telah menurunkan derajat NU sebagai civil Islam terbesar di
republik ini.
Banyak orang luar, terutama ilmuwan Barat,
terpesona kepada NU gara-gara organisasi ini menjadi lokomotif demokrasi. Hal
ini dianggap kontradiktif dengan sifat dasarnya, yang tradisional.
Mitsuo Nakamura menyebut NU sebagai bagian dari
radical traditionalism. Artinya, justru karena tradisinya, NU memiliki paham
dan tindakan politik radikal, dalam arti pandangan politik mendasar (Nakamura, 1996: 72).
Ini karena kemampuan NU mengintegrasikan Islam
ke dalam perjuangan nasional dalam bentuk demokratisasi jangka panjang.
Kiai Said
yang terhormat,
Kita tentu mafhum, masyarakat Indonesia tengah
menuju kematangan demokrasi. Kemunculan para pemimpin daerah yang kreatif
dalam ”mengadministrasikan keadilan sosial” berbalas manis dengan bangkitnya
kegairahan publik atas politik.
Anda pasti sepakat bahwa program populis
seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP), yang dibesut
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, selaras dengan kaidah fikih: kebijakan
pemimpin harus terkait dengan kesejahteraan rakyat. Tanpa pilkada langsung,
tak akan muncul populisme ini.
Sebagaimana tradisi kita, NU semestinya
memperkuat hal ini, dengan menjaga partisipasi publik dalam demokrasi, salah
satunya melalui pilkada langsung.
Bukankah hal ini menjadi pedoman politik NU
yang ditetapkan dalam Muktamar Ke-28 tahun 1989? Yakni mengembangkan
kemerdekaan hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa demi
kemaslahatan bersama.
Kemerdekaan hakiki yang demokratis hanya
terlaksana melalui pilkada langsung sebab subyek demokrasi adalah rakyat.
Adapun subyek pilkada via DPRD tentu orang-orang partai.
Apakah kita rela kedaulatan yang sudah berada
di tangan rakyat diambil alih oleh oligarki partai yang belum membersihkan
diri dari politik transaksional dan ”dagang sapi”? Salam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar