Kurikulum
2013, Naif Pusat
Irfan Ridwan Maksum ;
Ketua Program Pascasarjana Ilmu
Administrasi-FISIP-Universitas Indonesia; Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah-RI
|
KOMPAS,
26 September 2014
BELAKANGAN ramai diperbincangkan pelaksanaan
Kurikulum 2013. Kurikulum ini diharapkan akan memajukan pendidikan Indonesia
ke depan dengan metode yang amat mengandalkan keaktifan peserta didik, daya
nalar, dan kemampuan komunikasi.
Namun, penerapannya sejak awal banyak mendapat
sorotan miring dan keluh kesah dari berbagai pihak. Apalagi, elemen
pendukungnya, yakni buku-buku yang diwajibkan untuk dibaca oleh peserta
didik, tidak seragam antardaerah dan bahkan antarsekolah.
Tata-kelola
Dari pedoman pelaksanaan Kurikulum 2013,
pemerintah memfasilitasi pengadaan buku ajar kurikulum tersebut melalui
tender di pusat dibuka secara terbuka (open
bidding).
Tujuannya adalah dapat ditemukan pemasok buku
yang murah. Dalam hal ini sekolah dianjurkan membelinya melalui dana BOS yang
disediakan juga oleh Kemendiknas kepada pemenang tender pengadaan buku ajar
Kurikulum 2013 tersebut.
Dari dokumen tersebut terdapat kerancuan
tata-kelola urusan pemerintahan. Pertama, soal kurikulum itu sendiri; kedua,
tender pemenangan pengadaan buku; dan ketiga, proses pembelian buku.
Soal pertama mengenai kurikulum. Betulkah
pemerintah pusat harus menangani kurikulum pendidikan dasar menengah, alias
secara terpusat? Di negara mana kurikulum pendidikan dasar dan menengah
ditangani secara terpusat?
Yang masuk akal adalah pedoman penyusunan
kurikulum dari mulai PAUD, TK, sampai perguruan tinggi menjadi tugas
pemerintah berserta monitoring dan evaluasinya. Dalam pedoman tersebut
dikandung indikator untuk menilai kualitas kurikulum yang dibuat, proses
penyusunan, dan bagaimana evaluasinya.
Yang terjadi pemerintah pusat, dalam hal ini
Kemendiknas, menentukan desain substansi Kurikulum 2013 agar menjadi standar
di seluruh wilayah RI dari tingkat dasar sampai menengah. Yang harus
menyediakan buku-buku ajar dalam kurikulum tersebut, juga melalui tender
secara terpusat. Akibatnya, pemenang tender akan menguasai seluruh wilayah
RI. Jika diputuskan lebih dari satu pemenang, maka akan terjadi share di
antara pemenang tender.
Sekali lagi seharusnya, tata cara (pedoman)
pelaksanaan tender, indikator tender yang berkualitas, proses tender, dan
evaluasi terhadap tender-lah yang diatur pusat. Dalam bahasa pemerintahan
seharusnya pusat mengatur dan mengurus norma, standar, prosedur, dan kriteria
(NSPK)-nya.
Daerah dalam pendidikan tingkat dasar dan
menengah lebih banyak berperan operasional. Sudah seharusnya pusat dalam lini
operasional menentukan urusan pendidikan tinggi saja, sedangkan pendidikan
dasar dan menengah hanya mengatur dan mengurus NSPK dan pengawasan terhadap
jalannya NSPK tersebut.
Soal ketiga, mengenai proses pembelian buku
yang dilakukan dengan dana BOS dan dilakukan oleh kepala sekolah secara
langsung merupakan titik kritis juga.
Dana BOS dialokasikan oleh pusat langsung
kepada sekolah-sekolah dasar dan menengah adalah praktik manajemen urusan
pemerintahan yang tidak memiliki dasar konsep dan norma yang dapat dibenarkan
secara akal.
Terdapat kerancuan manajemen di mana
kelembagaan sekolah di daerah-daerah berada dalam naungan manajemen
pemerintah daerah, menerima pendanaan langsung dari pusat. Indonesia tidak
menganut desentralisasi fungsional, praktik ini tidak masuk akal.
Kepala sekolah bukan juga administrator proyek.
Sungguh naif jika hal ini dibiarkan terus terjadi. Pengawasan terhadap
kualitas akademik dapat mengendor jika kepala sekolah dibebani soal-soal
proyek pemerintahan, terlebih oleh pemerintah pusat.
Desain
ulang
Desain ulang dalam urusan pendidikan dasar dan
menengah sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan Kurikulum 2013. Harus ada
keberanian pemerintah pusat, bahwa substansi kurikulum ditentukan oleh daerah
otonom sendiri mengingat pendidikan dasar dan menengah selayaknya diatur dan
diurus daerah.
Pedoman penyusunan kurikulum dan monitoring dan
evaluasi segera dibuat oleh pusat untuk strata pendidikan tersebut.
Dekonsentrasi unit Kemendiknas agar tersebar di daerah dalam rangka
pelaksanaan pedoman tersebut dan monitoring-evaluasinya, harus didorong baik
oleh Kemenpan dan RB ataupun oleh Kemendiknas.
Pembinaan terhadap instansi pemerintah daerah
yang mengatur dan mengurus soal dikdasmen di daerah harus dilakukan. Karena
itu, instansi vertikal tadi di samping monitoring dan evaluasi juga melakukan
pembinaan.
Pembinaan ini tidak mungkin dilakukan oleh
gubernur sebagai wakil pemerintah, yang hanya ditugasi dari pusat untuk soal
pemerintahan umum, bukan sektoral. Gubernur bukan ahlinya.
Dengan demikian, pemerintah pusat menjaga dan
memastikan jaminan standar antardaerah dalam kadar sesuai visi nasional.
Daerah diperkenankan berlomba atau berkompetisi sesuai urusan yang
dilimpahkan kepadanya.
Dalam soal pendidikan dasar menengah, lebih
khusus penerapan Kurikulum 2013, kompetisi antardaerah sangat dimungkinkan
dengan mengandalkan kreativitas dan kearifan lokal.
Kurikulum 2013 harus menampung keragaman lokal
karena menyangkut strata pendidikan dasar menengah, bukan pendidikan tinggi.
Bagaimana visi nasional masuk dalam kurikulum
tersebut, terletak dalam monitoring-evaluasi serta pembinaan pusat dengan
mengacu NSPK yang dibuat sejak awal.
Dari sini dapat dihindari kerancuan proses
pengadaan buku, keuangan, sumber daya manusia, dan kelembagaannya sehingga
dapat efektif dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar untuk merealisasikan
Kurikulum 2013 yang andal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar