Sabtu, 27 September 2014

Kurikulum 2013, Naif Pusat

Kurikulum 2013, Naif Pusat

Irfan Ridwan Maksum  ;   Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi-FISIP-Universitas Indonesia; Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah-RI
KOMPAS, 26 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

BELAKANGAN ramai diperbincangkan pelaksanaan Kurikulum 2013. Kurikulum ini diharapkan akan memajukan pendidikan Indonesia ke depan dengan metode yang amat mengandalkan keaktifan peserta didik, daya nalar, dan kemampuan komunikasi.

Namun, penerapannya sejak awal banyak mendapat sorotan miring dan keluh kesah dari berbagai pihak. Apalagi, elemen pendukungnya, yakni buku-buku yang diwajibkan untuk dibaca oleh peserta didik, tidak seragam antardaerah dan bahkan antarsekolah.

Tata-kelola

Dari pedoman pelaksanaan Kurikulum 2013, pemerintah memfasilitasi pengadaan buku ajar kurikulum tersebut melalui tender di pusat dibuka secara terbuka (open bidding).

Tujuannya adalah dapat ditemukan pemasok buku yang murah. Dalam hal ini sekolah dianjurkan membelinya melalui dana BOS yang disediakan juga oleh Kemendiknas kepada pemenang tender pengadaan buku ajar Kurikulum 2013 tersebut.

Dari dokumen tersebut terdapat kerancuan tata-kelola urusan pemerintahan. Pertama, soal kurikulum itu sendiri; kedua, tender pemenangan pengadaan buku; dan ketiga, proses pembelian buku.

Soal pertama mengenai kurikulum. Betulkah pemerintah pusat harus menangani kurikulum pendidikan dasar menengah, alias secara terpusat? Di negara mana kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditangani secara terpusat?

Yang masuk akal adalah pedoman penyusunan kurikulum dari mulai PAUD, TK, sampai perguruan tinggi menjadi tugas pemerintah berserta monitoring dan evaluasinya. Dalam pedoman tersebut dikandung indikator untuk menilai kualitas kurikulum yang dibuat, proses penyusunan, dan bagaimana evaluasinya.

Yang terjadi pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendiknas, menentukan desain substansi Kurikulum 2013 agar menjadi standar di seluruh wilayah RI dari tingkat dasar sampai menengah. Yang harus menyediakan buku-buku ajar dalam kurikulum tersebut, juga melalui tender secara terpusat. Akibatnya, pemenang tender akan menguasai seluruh wilayah RI. Jika diputuskan lebih dari satu pemenang, maka akan terjadi share di antara pemenang tender.

Sekali lagi seharusnya, tata cara (pedoman) pelaksanaan tender, indikator tender yang berkualitas, proses tender, dan evaluasi terhadap tender-lah yang diatur pusat. Dalam bahasa pemerintahan seharusnya pusat mengatur dan mengurus norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK)-nya.

Daerah dalam pendidikan tingkat dasar dan menengah lebih banyak berperan operasional. Sudah seharusnya pusat dalam lini operasional menentukan urusan pendidikan tinggi saja, sedangkan pendidikan dasar dan menengah hanya mengatur dan mengurus NSPK dan pengawasan terhadap jalannya NSPK tersebut.

Soal ketiga, mengenai proses pembelian buku yang dilakukan dengan dana BOS dan dilakukan oleh kepala sekolah secara langsung merupakan titik kritis juga.
Dana BOS dialokasikan oleh pusat langsung kepada sekolah-sekolah dasar dan menengah adalah praktik manajemen urusan pemerintahan yang tidak memiliki dasar konsep dan norma yang dapat dibenarkan secara akal.

Terdapat kerancuan manajemen di mana kelembagaan sekolah di daerah-daerah berada dalam naungan manajemen pemerintah daerah, menerima pendanaan langsung dari pusat. Indonesia tidak menganut desentralisasi fungsional, praktik ini tidak masuk akal.

Kepala sekolah bukan juga administrator proyek. Sungguh naif jika hal ini dibiarkan terus terjadi. Pengawasan terhadap kualitas akademik dapat mengendor jika kepala sekolah dibebani soal-soal proyek pemerintahan, terlebih oleh pemerintah pusat.

Desain ulang

Desain ulang dalam urusan pendidikan dasar dan menengah sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan Kurikulum 2013. Harus ada keberanian pemerintah pusat, bahwa substansi kurikulum ditentukan oleh daerah otonom sendiri mengingat pendidikan dasar dan menengah selayaknya diatur dan diurus daerah.

Pedoman penyusunan kurikulum dan monitoring dan evaluasi segera dibuat oleh pusat untuk strata pendidikan tersebut. Dekonsentrasi unit Kemendiknas agar tersebar di daerah dalam rangka pelaksanaan pedoman tersebut dan monitoring-evaluasinya, harus didorong baik oleh Kemenpan dan RB ataupun oleh Kemendiknas.

Pembinaan terhadap instansi pemerintah daerah yang mengatur dan mengurus soal dikdasmen di daerah harus dilakukan. Karena itu, instansi vertikal tadi di samping monitoring dan evaluasi juga melakukan pembinaan.
Pembinaan ini tidak mungkin dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah, yang hanya ditugasi dari pusat untuk soal pemerintahan umum, bukan sektoral. Gubernur bukan ahlinya.

Dengan demikian, pemerintah pusat menjaga dan memastikan jaminan standar antardaerah dalam kadar sesuai visi nasional. Daerah diperkenankan berlomba atau berkompetisi sesuai urusan yang dilimpahkan kepadanya.

Dalam soal pendidikan dasar menengah, lebih khusus penerapan Kurikulum 2013, kompetisi antardaerah sangat dimungkinkan dengan mengandalkan kreativitas dan kearifan lokal.

Kurikulum 2013 harus menampung keragaman lokal karena menyangkut strata pendidikan dasar menengah, bukan pendidikan tinggi.

Bagaimana visi nasional masuk dalam kurikulum tersebut, terletak dalam monitoring-evaluasi serta pembinaan pusat dengan mengacu NSPK yang dibuat sejak awal.

Dari sini dapat dihindari kerancuan proses pengadaan buku, keuangan, sumber daya manusia, dan kelembagaannya sehingga dapat efektif dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar untuk merealisasikan Kurikulum 2013 yang andal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar