Minggu, 28 September 2014

Kearifan Lokal Bangun Perilaku Moral

                     Kearifan Lokal Bangun Perilaku Moral

Alif Muarifah ;   Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
SUARA MERDEKA,  27 September 2014

                                                                                                                       


SAAT ini krisis moral atau karakter melanda semua sektor kehidupan. Fenomena di lapangan, kegiatan pembelajaran di sekolah lebih mengedepankan berkembangnya otak kiri (kognitif), dibandingkan dengan otak kanan yang lebih lentur dan acak. Akibatnya, produk pendidikan menghasilkan manusia cerdas, namun tak memiliki kepekaan terhadap orang lain, tumpulnya suara hati, sehingga tidak mampu membedakan mana yang baik dan buruk, rendahnya pengendalian diri, tidak peduli pada sesama, melupakan kebaikan, serta suka bertindak semena-mena.

Padahal, sekian puluh tahun yang lalu, Bangsa Indonesia terkenal berbudi pekerti, bangsa yang santun dan beradab. Bangsa yang selalu mengedepankan dan berpegang pada nilai kearifan, sehingga disegani bangsa lain.

Nilai kearifan dengan prinsip universitalitas, tidak bertentangan dengan ajaran agama dan budaya, tidak lagi dipakai sebagai patokan serta keteladanan dalam membangun moral, karena telah terkikis oleh budaya asing, yang mengarah pada individualistik dan mementingkan diri sendiri, materialistik, serta hedonisme. Nilai-nilai tersebut bermakna universal sepanjang zaman, karena merupakan kristalisasi normatif dari kearifan para pemikir bangsa pendahulu (Astiyanto, 2005).

Tebing kehancuran terlihat di depan mata dan kalau tidak segera diselamatkan, akan masuk dalam jurang kebobrokan moral yang membawa bangsa terpuruk. Moral merupakan sekelompok aturan yang terstandar untuk mengarahkan seseorang bertingkah laku sesuai dengan kaidah, sehingga mampu membedakan yang baik dan buruk.

Keluarga

Proses belajar panjang dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai sisi perlu dibangun kembali untuk mengenalkan kearifan lokal. Mengupayakan keteladanan, pengawasan, atau kontrol, serta evaluasi yang tersistem, menjadi pendorong untuk mengembalikan nilainilai yang sudah mulai luntur dan akan hilang. Keterlibatan berbagai pihak seperti orang tua, keluarga, guru, masyarakat, media, serta pengaturan sistem oleh pemerintah harus ditegakkan dan dijalin kembali dengan penuh tanggung jawab.

Keluarga merupakan komponen dasar utama tempat anak tumbuh. Melalui orang tua dan anggota keluarga, penanaman perilaku moral dapat digunakan sebagai landasan melakukan interaksi dengan sesama serta membangun kepercayaan (trust), sehingga memiliki kekuatan yang mampu mengubah dunia luar.

Moral identik dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga bangsa yang bermoral adalah bangsa yang berkarakter, beretika, atau berakhlak. Mereka akan menjunjung tinggi dan mempertahankan nilai. Mereka menjalankan aktivitas, karena mencintai kebaikan, bukan karena takut pada hukuman. Kecintaan pada kebaikan memunculkan keinginan untuk berbuat kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar