Kearifan
Lokal Bangun Perilaku Moral
Alif Muarifah ; Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 27 September 2014
SAAT ini krisis moral atau karakter melanda semua sektor kehidupan.
Fenomena di lapangan, kegiatan pembelajaran di sekolah lebih mengedepankan
berkembangnya otak kiri (kognitif), dibandingkan dengan otak kanan yang lebih
lentur dan acak. Akibatnya, produk pendidikan menghasilkan manusia cerdas, namun
tak memiliki kepekaan terhadap orang lain, tumpulnya suara hati, sehingga
tidak mampu membedakan mana yang baik dan buruk, rendahnya pengendalian diri,
tidak peduli pada sesama, melupakan kebaikan, serta suka bertindak
semena-mena.
Padahal, sekian puluh tahun yang lalu, Bangsa Indonesia terkenal
berbudi pekerti, bangsa yang santun dan beradab. Bangsa yang selalu
mengedepankan dan berpegang pada nilai kearifan, sehingga disegani bangsa
lain.
Nilai kearifan dengan prinsip universitalitas, tidak bertentangan
dengan ajaran agama dan budaya, tidak lagi dipakai sebagai patokan serta
keteladanan dalam membangun moral, karena telah terkikis oleh budaya asing,
yang mengarah pada individualistik dan mementingkan diri sendiri,
materialistik, serta hedonisme. Nilai-nilai tersebut bermakna universal
sepanjang zaman, karena merupakan kristalisasi normatif dari kearifan para
pemikir bangsa pendahulu (Astiyanto, 2005).
Tebing kehancuran terlihat di depan mata dan kalau tidak segera
diselamatkan, akan masuk dalam jurang kebobrokan moral yang membawa bangsa
terpuruk. Moral merupakan sekelompok aturan yang terstandar untuk mengarahkan
seseorang bertingkah laku sesuai dengan kaidah, sehingga mampu membedakan
yang baik dan buruk.
Keluarga
Proses belajar panjang dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai sisi
perlu dibangun kembali untuk mengenalkan kearifan lokal. Mengupayakan
keteladanan, pengawasan, atau kontrol, serta evaluasi yang tersistem, menjadi
pendorong untuk mengembalikan nilainilai yang sudah mulai luntur dan akan
hilang. Keterlibatan berbagai pihak seperti orang tua, keluarga, guru,
masyarakat, media, serta pengaturan sistem oleh pemerintah harus ditegakkan
dan dijalin kembali dengan penuh tanggung jawab.
Keluarga merupakan komponen dasar utama tempat anak tumbuh. Melalui
orang tua dan anggota keluarga, penanaman perilaku moral dapat digunakan
sebagai landasan melakukan interaksi dengan sesama serta membangun
kepercayaan (trust), sehingga
memiliki kekuatan yang mampu mengubah dunia luar.
Moral identik dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga bangsa yang
bermoral adalah bangsa yang berkarakter, beretika, atau berakhlak. Mereka
akan menjunjung tinggi dan mempertahankan nilai. Mereka menjalankan
aktivitas, karena mencintai kebaikan, bukan karena takut pada hukuman.
Kecintaan pada kebaikan memunculkan keinginan untuk berbuat kebaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar