Menyelamatkan
Partai Golkar
Yorrys Raweyai ;
Ketua DPP Partai Golkar bidang
Pemuda
|
DETIKNEWS,
24 September 2014
Eskalasi
politik internal Partai Golkar pasca perhelatan politik nasional (Pemilihan
Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014) semakin mengalami peningkatan. Tidak
hanya menunjukkan sebuah dinamika sebagaimana layaknya partai besar, tapi
juga suhu yang memanas akibat silang pendapat tentang eksistensi dan arah
Partai Golkar ke depan.
Kegagalan
Partai Golkar dalam mencapai target politik dalam even kontestasi 2014 telah
menyisakan persoalan besar. Persoalan yang mengurai sejauh mana kinerja
politik internal partai yang juga menempatkan Ketua Umum Aburizal Bakrie
sebagai mandataris amanah dan tanggung jawab hasil Musyawarah Nasional Partai
Golkar 2009. Kegagalan pencapaian itulah yang memunculkan berbagai wacana dan
opini terkait dengan pelaksanaan Musyawarah Nasional Partai Golkar pada bulan
Oktober 2014.
Tahun Kegagalan
Kegagalan
Partai Golkar dalam mencapai seluruh target di tahun politik 2014, bukanlah
semata kegagalan yang datang secara tiba-tiba. Kegagalan tersebut lahir dari
serangkaian program agenda Catur Sukses,
mekanisme dan manajemen internal kepartaian yang tidak berjalan dengan baik.
Meski demikian, kegagalan tersebut tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dan pembelajaran tentang bagaimana merespons persoalan kepartaian dalam
menghadapi situasi politik yang dinamis.
Sebaliknya,
berbagai evaluasi kritis direspons dengan reaksi emosional, sepihak dan
pragmatis. Hal itu terlihat dari berbagai kebijakan Partai Golkar yang tidak
mencerminkan dirinya sebagai partai politik modern, terbuka dan demokratis.
Kebijakan-kebijakan strategis partai di-drive dan dihasilkan berdasarkan
pertimbangan elitis, tanpa mempertimbangkan aspirasi komponen Partai Golkar
pada tataran bawah (grass-root).
Pada
kenyataannya, sejumlah kebijakan menuai kegagalan. Tidak hanya agenda besar
Partai Golkar untuk meloloskan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden, namun
juga sekedar menjadikannya sebagai calon wakil presiden pun, Partai Golkar
tidak kunjung menuai dukungan signifikan. Pada akhirnya, dukungan kepada
calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, pun
tidak cukup mampu direalisasikan dengan maksimal.
Ironisnya,
aspirasi kritis yang memunculkan perbedaan pandangan ditanggapi dengan sikap
reaktif, hingga memposisikan beberapa pengurus Partai Golkar yang dipilih
secara demokratis, sebagai bentuk penentangan. Klimaksnya, 2 (dua) kader
Partai Golkar yang terpilih secara demokratis dalam Pemilihan Legislatif
2014, Agus Gumiwang dan Nusron Wahid, memperoleh sanksi pemecatan disebabkan
dukungan mereka kepada Jokowi Widodo dan Jusuf Kalla dalam Pemilihan Presiden
2014.
Perbedaan
pilihan politik yang bersumber dari ide dan gagasan rasional seharusnya
direspons dengan memberikan kesempatan kepada kader untuk menjelaskan pilihan
sebagai bentuk pembelaan diri. Sebab pilihan politik tersebut merupakan
kritik bagi Partai Golkar yang justru menetapkan pilihan pada calon presiden
dan Calon wakil presiden yang justru belum memiliki kejelasan manfaat dan
mudarat bagi Partai Golkar di masa yang akan datang.
Pemecatan
dengan alasan perbedaan pilihan politik telah menafikan eksistensi Partai
Golkar dengan "Paradigma Baru" yang disandangnya. Perbedaan politik
tidak lagi dipandang sebagai dinamika politik yang demokratis, melainkan
ancaman yang seakan-akan dapat meruntuhkan eksistensi Partai Golkar di mata
publik.
Penyelamatan Partai
Sejumlah
kebijakan Partai Golkar yang dihasilkan dalam masa kepemimpinan Aburizal
Bakrie tidak berbanding lurus dengan hasil yang dicapai pada tahun politik
2014. Elitisme dan pragmatisme kepartaian yang cukup mentradisi, menampakkan
wajah Partai Golkar yang tidak lagi aspiratif terhadap berbagai masukan yang
justru lahir dari rahim konstituennya.
Setelah kisruh
pemecatan menuai polemik dan kontroversi, Partai Golkar kembali berjibaku
dengan keputusan sepihak mendorong pengesahan RUU Pilkada yang mengembalikan
kewenangan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota di tangan DPRD. Sebuah
keputusan yang berpotensi mencederai, memasung dan mengembalikan tradisi
rezim otoritarian masa lalu.
Pemecatan
terhadap Agus Gumiwang dan Nusron Wahid dan keputusan untuk mendukung Pilkada
lewat DPRD, tentu saja mengeliminasi potensi suara Golkar di masa yang akan
datang. Tidak hanya itu, keputusan sepihak elit Partai Golkar yang me-reshuffle para ketua Dewan Pimpinan
Daerah (DPD) II yang tidak sejalan dengan kebijakan pragmatis Partai Golkar
pun secara langsung akan mempengaruhi keterwakilan suara Golkar pada tingkat
akar rumput di daerah.
Perilaku
politik elit Partai Golkar sudah mencerminkan perilaku otoriter dan despotik.
Kesewenang-wenangan tidak sekedar menggerus wajah Partai Golkar, tapi juga
menyisakan kekecewaan bagi sebagian besar komponen Partai Golkar yang
terepresentasi di tingkat bawah melalui peran vital Ketua DPD II.
Kondisi inilah
yang semakin menggerus kepentingan Partai Golkar di masa yang akan datang.
Upaya membangkitkan gairah dan energi dari keterpurukan akan menuai jalan
yang terjal, mengingat potensi dan mesin kepartaian semakin lama semakin
didegradasi oleh kebijakan yang salah arah. Kondisi ini juga telah
mendegradasi daya saing, nilai tawar dan citra positif Partai Golkar, baik di
kalangan internal, eksternal, maupun di mata publik.
Dinamika
internal Partai Golkar yang semakin berkembang menunjukkan bahwa kondisi ini
tidak lagi cukup dipandang sebelah mata, atau bahkan sebagai rongrongan dan
ancaman, melebihi maksud dan itikad baik yang tulus demi kebaikan, kebesaran
dan kejayaan Partai Golkar di masa yang akan datang.
Pada
gilirannya, kondisi ini memerlukan penyelamatan yang signifikan. Mekanisme
dan menajemen kepartaian memerlukan 'suasana baru' di tengah situasi
'darurat'. Penyelamatan itu hanya bisa dilakukan dengan membersihkan seluruh
anasir-anasir yang merupakan bagian dari kekeliruan selama ini.
Agenda penyelamatan
Partai Golkar inilah yang perlu segera dilakukan melalui agenda Musyawarah
Nasional (Munas) Partai Golkar ke-9 pada tahun 2014. Munas ke-9 menjadi
tonggak awal konstitusional untuk membangun kembali serpihan-serpihan
kepertepurukan Partai Golkar demi kejayaan di masa yang akan datang. Momentum
itu pula yang akan menjadi titik balik bagi perbaikan manajemen internal
kepartaian yang sepenuhnya berperan dan berperilaku untuk kepentingan partai,
bukan kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar