Jumat, 26 September 2014

Menyelamatkan Partai Golkar

Menyelamatkan Partai Golkar

Yorrys Raweyai  ;   Ketua DPP Partai Golkar bidang Pemuda
DETIKNEWS, 24 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Eskalasi politik internal Partai Golkar pasca perhelatan politik nasional (Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014) semakin mengalami peningkatan. Tidak hanya menunjukkan sebuah dinamika sebagaimana layaknya partai besar, tapi juga suhu yang memanas akibat silang pendapat tentang eksistensi dan arah Partai Golkar ke depan.

Kegagalan Partai Golkar dalam mencapai target politik dalam even kontestasi 2014 telah menyisakan persoalan besar. Persoalan yang mengurai sejauh mana kinerja politik internal partai yang juga menempatkan Ketua Umum Aburizal Bakrie sebagai mandataris amanah dan tanggung jawab hasil Musyawarah Nasional Partai Golkar 2009. Kegagalan pencapaian itulah yang memunculkan berbagai wacana dan opini terkait dengan pelaksanaan Musyawarah Nasional Partai Golkar pada bulan Oktober 2014.

Tahun Kegagalan

Kegagalan Partai Golkar dalam mencapai seluruh target di tahun politik 2014, bukanlah semata kegagalan yang datang secara tiba-tiba. Kegagalan tersebut lahir dari serangkaian program agenda Catur Sukses, mekanisme dan manajemen internal kepartaian yang tidak berjalan dengan baik. Meski demikian, kegagalan tersebut tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan pembelajaran tentang bagaimana merespons persoalan kepartaian dalam menghadapi situasi politik yang dinamis.

Sebaliknya, berbagai evaluasi kritis direspons dengan reaksi emosional, sepihak dan pragmatis. Hal itu terlihat dari berbagai kebijakan Partai Golkar yang tidak mencerminkan dirinya sebagai partai politik modern, terbuka dan demokratis. Kebijakan-kebijakan strategis partai di-drive dan dihasilkan berdasarkan pertimbangan elitis, tanpa mempertimbangkan aspirasi komponen Partai Golkar pada tataran bawah (grass-root).

Pada kenyataannya, sejumlah kebijakan menuai kegagalan. Tidak hanya agenda besar Partai Golkar untuk meloloskan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden, namun juga sekedar menjadikannya sebagai calon wakil presiden pun, Partai Golkar tidak kunjung menuai dukungan signifikan. Pada akhirnya, dukungan kepada calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, pun tidak cukup mampu direalisasikan dengan maksimal.

Ironisnya, aspirasi kritis yang memunculkan perbedaan pandangan ditanggapi dengan sikap reaktif, hingga memposisikan beberapa pengurus Partai Golkar yang dipilih secara demokratis, sebagai bentuk penentangan. Klimaksnya, 2 (dua) kader Partai Golkar yang terpilih secara demokratis dalam Pemilihan Legislatif 2014, Agus Gumiwang dan Nusron Wahid, memperoleh sanksi pemecatan disebabkan dukungan mereka kepada Jokowi Widodo dan Jusuf Kalla dalam Pemilihan Presiden 2014.

Perbedaan pilihan politik yang bersumber dari ide dan gagasan rasional seharusnya direspons dengan memberikan kesempatan kepada kader untuk menjelaskan pilihan sebagai bentuk pembelaan diri. Sebab pilihan politik tersebut merupakan kritik bagi Partai Golkar yang justru menetapkan pilihan pada calon presiden dan Calon wakil presiden yang justru belum memiliki kejelasan manfaat dan mudarat bagi Partai Golkar di masa yang akan datang.

Pemecatan dengan alasan perbedaan pilihan politik telah menafikan eksistensi Partai Golkar dengan "Paradigma Baru" yang disandangnya. Perbedaan politik tidak lagi dipandang sebagai dinamika politik yang demokratis, melainkan ancaman yang seakan-akan dapat meruntuhkan eksistensi Partai Golkar di mata publik.

Penyelamatan Partai

Sejumlah kebijakan Partai Golkar yang dihasilkan dalam masa kepemimpinan Aburizal Bakrie tidak berbanding lurus dengan hasil yang dicapai pada tahun politik 2014. Elitisme dan pragmatisme kepartaian yang cukup mentradisi, menampakkan wajah Partai Golkar yang tidak lagi aspiratif terhadap berbagai masukan yang justru lahir dari rahim konstituennya.

Setelah kisruh pemecatan menuai polemik dan kontroversi, Partai Golkar kembali berjibaku dengan keputusan sepihak mendorong pengesahan RUU Pilkada yang mengembalikan kewenangan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota di tangan DPRD. Sebuah keputusan yang berpotensi mencederai, memasung dan mengembalikan tradisi rezim otoritarian masa lalu.

Pemecatan terhadap Agus Gumiwang dan Nusron Wahid dan keputusan untuk mendukung Pilkada lewat DPRD, tentu saja mengeliminasi potensi suara Golkar di masa yang akan datang. Tidak hanya itu, keputusan sepihak elit Partai Golkar yang me-reshuffle para ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) II yang tidak sejalan dengan kebijakan pragmatis Partai Golkar pun secara langsung akan mempengaruhi keterwakilan suara Golkar pada tingkat akar rumput di daerah.

Perilaku politik elit Partai Golkar sudah mencerminkan perilaku otoriter dan despotik. Kesewenang-wenangan tidak sekedar menggerus wajah Partai Golkar, tapi juga menyisakan kekecewaan bagi sebagian besar komponen Partai Golkar yang terepresentasi di tingkat bawah melalui peran vital Ketua DPD II.

Kondisi inilah yang semakin menggerus kepentingan Partai Golkar di masa yang akan datang. Upaya membangkitkan gairah dan energi dari keterpurukan akan menuai jalan yang terjal, mengingat potensi dan mesin kepartaian semakin lama semakin didegradasi oleh kebijakan yang salah arah. Kondisi ini juga telah mendegradasi daya saing, nilai tawar dan citra positif Partai Golkar, baik di kalangan internal, eksternal, maupun di mata publik.

Dinamika internal Partai Golkar yang semakin berkembang menunjukkan bahwa kondisi ini tidak lagi cukup dipandang sebelah mata, atau bahkan sebagai rongrongan dan ancaman, melebihi maksud dan itikad baik yang tulus demi kebaikan, kebesaran dan kejayaan Partai Golkar di masa yang akan datang.

Pada gilirannya, kondisi ini memerlukan penyelamatan yang signifikan. Mekanisme dan menajemen kepartaian memerlukan 'suasana baru' di tengah situasi 'darurat'. Penyelamatan itu hanya bisa dilakukan dengan membersihkan seluruh anasir-anasir yang merupakan bagian dari kekeliruan selama ini.

Agenda penyelamatan Partai Golkar inilah yang perlu segera dilakukan melalui agenda Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar ke-9 pada tahun 2014. Munas ke-9 menjadi tonggak awal konstitusional untuk membangun kembali serpihan-serpihan kepertepurukan Partai Golkar demi kejayaan di masa yang akan datang. Momentum itu pula yang akan menjadi titik balik bagi perbaikan manajemen internal kepartaian yang sepenuhnya berperan dan berperilaku untuk kepentingan partai, bukan kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar