Minggu, 28 September 2014

Pelantikan Anggota DPR yang Tersangkut Korupsi

Pelantikan Anggota DPR yang Tersangkut Korupsi

Jamal Wiwoho ;   Guru Besar Fakultas Hukum dan Wakil Rektor II
Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo
KORAN SINDO, 25 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pelantikan 560 anggota DPR hasil Pemilihan Umum 9 April 2014 tinggal menunggu waktu. Jika tidak ada aral melintang, pada 1 Oktober semua wakil rakyat penghuni Senayan itu akan dilantik.

Suasana ingar-bingar tentu akan mewarnai perhelatan yang menyempurnakan tahap pelantikan pada calon terpilih. Semua sanak saudara handai tolan keluarga akan tersenyum lebar setelah pelantikan yang menandai pintu gerbang sebagai anggota terpilih dari lembaga negara yang tugas utamanya sebagai legislator (penyusun undang-undang), budgeter (perencana anggaran), dan controller (pengawas). Di samping suasana menyenangkan tersebut, masih ada masalah besar menyelimuti kondisi pelantikan tersebut. Ihwal permasalahan tersebut adalah adanya dugaan beberapa calon anggota DPR yang tersandung perkara korupsi.

Adalah Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang memantik problema ini, yaitu ajuan surat ke KPU dengan tembusan Bawaslu agar calon anggota DPR yang berstatus se-bagai tersangka korupsi ditunda pelantikannya atau tidak dilantik. Dari catatan penulis, calon anggota DPR terpilih periode 2014-2019 yang akan dilantik pada 1 Oktober 2014 terdapat 5 calon yang masih dalam kubangan perkara korupsi. Kelima orang tersebut adalah Jero Wacik dari Partai Demokrat daerah pemilihan Bali, dan 4 orang calon legislatif dari PDI Perjuangan masing-masing Idham Samawi dari daerah pemilihan DIY, Marten Apuy dari dapil Kalimantan Timur, Herdian Koesnadi dari dapil Banten, dan Adriansyah dari dapil Kalimantan Selatan.

Jika dilihat secara keseluruhan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/ kota hasil pemilu legislatif tahun ini terdapat 48 orang legislator yang masih berkutat dengan masalah korupsi, masingmasing Partai Demokrat 13 orang, PDI Perjuangan 12, Partai Golongan Karya 11 orang, PKB 5 orang, Partai Gerindra dan Partai Hanura masingmasing 3 orang, PPP 2 orang, serta Partai Nasdem dan PAN masing-masing 1 orang. Jika dipetakan dalam lingkup kewilayahan, maka dari 48 caleg tersebut sebanyak 26 orang menjabat anggota DPRD kabupaten/ kota, 17 orang anggota DPRD provinsi, dan 5 orang anggota DPRRI.

Pro–Kontra

Mengingat kompleksitas masalah tersebut publik di Nusantara ini mempertanyakan layak dan patutkah calon legislatif yang sudah menyandang status tersangka, terdakwa, dan atau terpidana dalam kasus korupsi untuk dapat dilantik sebagai anggota Dewan? Terdapat pendapat yang terbelah atas pertanyaan tersebut.

Pihak yang tidak setuju menyatakan alasan yang relevan untuk tidak dilantik sebagai wakil rakyat berikut. Pertama, calon legislatif itu akan melawan lafal sumpah/janji yang diucapkan pada saat pelantikan agar tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan kepentingan umum serta mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, partai dan golongan. Kedua, untuk melindungi citra dan kehormatan parlemen.

Hal ini sangat relevan manakala anggota DPR yang baru dihiasi oleh wajah baru atau wajah lama yang tidak terkait sama sekali dengan perkara-perkara korupsi yang menjadikan kemiskinan dan penderitaan bagi jutaan rakyat Indonesia. Ketiga, unsur moral menjadi sangat penting dan mendalam. Hal ini bisa terjadi jika anggota DPR itu sedang tersandung perkara korupsi. Persyaratan itu penting karena pelaku korupsi bertentangan semangat dan moralitas masyarakat itu sendiri yang pada saat ini sedang gencar-gencarnya berkampanye melawan KKN, khususnya korupsi.

Keempat, dengan menunda pelantikan legislator yang sedang kesrimpetperkara-perkara korupsi itu diharapkan dapat legitimasi moral yang bersih dan berintegritas. Pada kondisi tersebut amatlah penting untuk meningkatkan kredibilitas dan legitimasi anggota DPR di mata masyarakat sehingga anggota DPR. Kelima, dengan statusnya sebagai tersangka, terdakwa terpidana tentu akan memengaruhi kinerja dan persepsi publik atas kinerjanya. Dalam logika yang ada legislator yang tersandung korupsi akan lebih fokus pada masalah- masalah hukum yang sedang menjeratnya jika dibanding memikirkan nasib rakyat.

Karena itu, seolah membenarkan suatu ungkapan mengatur diri sendiri yang sedang bermasalah dengan korupsi sangat menguras waktu, biaya dan tenaga sehingga tidak mungkin fokus pada tugas dan kewajibannya sebagai seorang legislator. Pada bagian lain juga sangat kuat ungkapan untuk mendorong pelantikan anggota legislatif yang terkait dengan kasus korupsi tanpa harus menunda pelantikannya. Adalah Ketua DPP PDI Perjuangan sekaligus Ketua Tim Pemenangan Jokowi-JK, Puan Maharani, yang meminta untuk tetap dilakukan pelantikan sebagai anggota legislatif walau anggota legislatif tersebut terkait masalah Korupsi.

Selanjutnya Putri Megawati Soekarnoputri itu juga menyatakan bahwa sesuai dengan asas legalitas dan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang bersangkutan tetap bisa dilantik. Pendapat cucu presiden pertama tersebut seolah juga diamini oleh wakil Ketua DPR-RI Pramono Anung yang mengatakan partai sebagai pengusung calon legislatif dapat mencegah pelantikan anggota DPR yang akan dilantik jika ada masalahmasalah (kasus korupsi) yang sedang melilitnya.

Pendapat berbeda disampaikan oleh ketua PKS Hidayat Nur Wahid bahwa calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat bisa dipertimbangkan untuk tidak dilantik karena cacat moral serta tidak berintegritas, sebab sebagai wakil rakyat nantinya akan sulit membedakan masalah hukum yang menjeratnya dengan pejabat publik.

Landasan Normatif

Mengenai bisa tidaknya calon anggota DPR yang bermasalah dengan korupsi agar dapat dilantik atau tidak jika kita kembalikan secara normatif maka akan merujuk pada Peraturan KPU Nomor 29/2013 tentang penetapan hasil pemilu, perolehan kursi, calon terpilih, dan penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Pada Pasal 50 ayat (1) dinyatakan bahwa calon legislatif terpilih dapat dibatalkan atau diganti apabila: meninggal dunia, mengundurkan diri, tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPR provinsi, DPRD kabupaten/kota dan terbukti melakukan tindak pidana pemilu berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan yang pasti (inkracht van gewijde). Pencalonan caleg terpilih bisa batal karena melakukan tindak pidana jika dijatuhi hukuman penjara berdasar putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Melihat konstruksi pada Pasal 50 ayat (1) para pemangku kepentingan dapat mengimplementasikan maupun mengesampingkan ketentuan tersebut dengan dasar dan alasan yang sangat rasional. Walau sudah jelas landasan hukumnya, para calon anggota DPR yang bermasalah dengan korupsi maupun partai politiknya yang mengusungnya ada baiknya mengedepankan etika. Etika ini diperlukan untuk menjaga integritas partai pengusung, kredibilitas anggota DPR, kehormatan lembaga DPR.

Karena itu, perlu terobosan etika dalam berpolitik, khususnya sebagai pejabat publik agar lebih mengedepankan profesionalisme, konsentrasi dalam bekerja, integritas moral yang tinggi, dan dengan kredibilitas moral yang tidak diragukan. Selamat bekerja anggota DPR periode tahun 2014-2019 dengan berjuang untuk dan atas nama kepentingan rakyat serta mewujudkan kemampuan sebagai legislator, budgeter, dan controller yang profesional. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar