Pelantikan
Anggota DPR yang Tersangkut Korupsi
Jamal Wiwoho ; Guru
Besar Fakultas Hukum dan Wakil Rektor II
Universitas Sebelas Maret (UNS)
Solo
|
KORAN
SINDO, 25 September 2014
Pelantikan 560
anggota DPR hasil Pemilihan Umum 9 April 2014 tinggal menunggu waktu. Jika
tidak ada aral melintang, pada 1 Oktober semua wakil rakyat penghuni Senayan
itu akan dilantik.
Suasana
ingar-bingar tentu akan mewarnai perhelatan yang menyempurnakan tahap
pelantikan pada calon terpilih. Semua sanak saudara handai tolan keluarga
akan tersenyum lebar setelah pelantikan yang menandai pintu gerbang sebagai
anggota terpilih dari lembaga negara yang tugas utamanya sebagai legislator
(penyusun undang-undang), budgeter (perencana anggaran), dan controller
(pengawas). Di samping suasana menyenangkan tersebut, masih ada masalah besar
menyelimuti kondisi pelantikan tersebut. Ihwal permasalahan tersebut adalah
adanya dugaan beberapa calon anggota DPR yang tersandung perkara korupsi.
Adalah Wakil
Ketua KPK Bambang Widjojanto yang memantik problema ini, yaitu ajuan surat ke
KPU dengan tembusan Bawaslu agar calon anggota DPR yang berstatus se-bagai
tersangka korupsi ditunda pelantikannya atau tidak dilantik. Dari catatan
penulis, calon anggota DPR terpilih periode 2014-2019 yang akan dilantik pada
1 Oktober 2014 terdapat 5 calon yang masih dalam kubangan perkara korupsi.
Kelima orang tersebut adalah Jero Wacik dari Partai Demokrat daerah pemilihan
Bali, dan 4 orang calon legislatif dari PDI Perjuangan masing-masing Idham
Samawi dari daerah pemilihan DIY, Marten Apuy dari dapil Kalimantan Timur,
Herdian Koesnadi dari dapil Banten, dan Adriansyah dari dapil Kalimantan
Selatan.
Jika dilihat
secara keseluruhan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/ kota
hasil pemilu legislatif tahun ini terdapat 48 orang legislator yang masih
berkutat dengan masalah korupsi, masingmasing Partai Demokrat 13 orang, PDI
Perjuangan 12, Partai Golongan Karya 11 orang, PKB 5 orang, Partai Gerindra
dan Partai Hanura masingmasing 3 orang, PPP 2 orang, serta Partai Nasdem dan
PAN masing-masing 1 orang. Jika dipetakan dalam lingkup kewilayahan, maka
dari 48 caleg tersebut sebanyak 26 orang menjabat anggota DPRD kabupaten/
kota, 17 orang anggota DPRD provinsi, dan 5 orang anggota DPRRI.
Pro–Kontra
Mengingat
kompleksitas masalah tersebut publik di Nusantara ini mempertanyakan layak
dan patutkah calon legislatif yang sudah menyandang status tersangka,
terdakwa, dan atau terpidana dalam kasus korupsi untuk dapat dilantik sebagai
anggota Dewan? Terdapat pendapat yang terbelah atas pertanyaan tersebut.
Pihak yang
tidak setuju menyatakan alasan yang relevan untuk tidak dilantik sebagai
wakil rakyat berikut. Pertama, calon legislatif itu akan melawan lafal
sumpah/janji yang diucapkan pada saat pelantikan agar tidak melakukan
tindakan yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan kepentingan
umum serta mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, partai
dan golongan. Kedua, untuk melindungi citra dan kehormatan parlemen.
Hal ini sangat
relevan manakala anggota DPR yang baru dihiasi oleh wajah baru atau wajah
lama yang tidak terkait sama sekali dengan perkara-perkara korupsi yang
menjadikan kemiskinan dan penderitaan bagi jutaan rakyat Indonesia. Ketiga,
unsur moral menjadi sangat penting dan mendalam. Hal ini bisa terjadi jika
anggota DPR itu sedang tersandung perkara korupsi. Persyaratan itu penting
karena pelaku korupsi bertentangan semangat dan moralitas masyarakat itu
sendiri yang pada saat ini sedang gencar-gencarnya berkampanye melawan KKN,
khususnya korupsi.
Keempat,
dengan menunda pelantikan legislator yang sedang kesrimpetperkara-perkara
korupsi itu diharapkan dapat legitimasi moral yang bersih dan berintegritas.
Pada kondisi tersebut amatlah penting untuk meningkatkan kredibilitas dan
legitimasi anggota DPR di mata masyarakat sehingga anggota DPR. Kelima,
dengan statusnya sebagai tersangka, terdakwa terpidana tentu akan memengaruhi
kinerja dan persepsi publik atas kinerjanya. Dalam logika yang ada legislator
yang tersandung korupsi akan lebih fokus pada masalah- masalah hukum yang
sedang menjeratnya jika dibanding memikirkan nasib rakyat.
Karena itu,
seolah membenarkan suatu ungkapan mengatur diri sendiri yang sedang
bermasalah dengan korupsi sangat menguras waktu, biaya dan tenaga sehingga
tidak mungkin fokus pada tugas dan kewajibannya sebagai seorang legislator.
Pada bagian lain juga sangat kuat ungkapan untuk mendorong pelantikan anggota
legislatif yang terkait dengan kasus korupsi tanpa harus menunda
pelantikannya. Adalah Ketua DPP PDI Perjuangan sekaligus Ketua Tim Pemenangan
Jokowi-JK, Puan Maharani, yang meminta untuk tetap dilakukan pelantikan
sebagai anggota legislatif walau anggota legislatif tersebut terkait masalah
Korupsi.
Selanjutnya
Putri Megawati Soekarnoputri itu juga menyatakan bahwa sesuai dengan asas
legalitas dan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang bersangkutan tetap bisa dilantik.
Pendapat cucu presiden pertama tersebut seolah juga diamini oleh wakil Ketua
DPR-RI Pramono Anung yang mengatakan partai sebagai pengusung calon
legislatif dapat mencegah pelantikan anggota DPR yang akan dilantik jika ada
masalahmasalah (kasus korupsi) yang sedang melilitnya.
Pendapat
berbeda disampaikan oleh ketua PKS Hidayat Nur Wahid bahwa calon anggota
Dewan Perwakilan Rakyat bisa dipertimbangkan untuk tidak dilantik karena
cacat moral serta tidak berintegritas, sebab sebagai wakil rakyat nantinya
akan sulit membedakan masalah hukum yang menjeratnya dengan pejabat publik.
Landasan Normatif
Mengenai bisa
tidaknya calon anggota DPR yang bermasalah dengan korupsi agar dapat dilantik
atau tidak jika kita kembalikan secara normatif maka akan merujuk pada
Peraturan KPU Nomor 29/2013 tentang penetapan hasil pemilu, perolehan kursi,
calon terpilih, dan penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD
provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Pada Pasal 50
ayat (1) dinyatakan bahwa calon legislatif terpilih dapat dibatalkan atau
diganti apabila: meninggal dunia, mengundurkan diri, tidak lagi memenuhi
syarat untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPR provinsi, DPRD kabupaten/kota dan
terbukti melakukan tindak pidana pemilu berdasarkan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan yang pasti (inkracht
van gewijde). Pencalonan caleg terpilih bisa batal karena melakukan
tindak pidana jika dijatuhi hukuman penjara berdasar putusan pengadilan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan hukuman pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Melihat
konstruksi pada Pasal 50 ayat (1) para pemangku kepentingan dapat
mengimplementasikan maupun mengesampingkan ketentuan tersebut dengan dasar
dan alasan yang sangat rasional. Walau sudah jelas landasan hukumnya, para
calon anggota DPR yang bermasalah dengan korupsi maupun partai politiknya
yang mengusungnya ada baiknya mengedepankan etika. Etika ini diperlukan untuk
menjaga integritas partai pengusung, kredibilitas anggota DPR, kehormatan
lembaga DPR.
Karena itu,
perlu terobosan etika dalam berpolitik, khususnya sebagai pejabat publik agar
lebih mengedepankan profesionalisme, konsentrasi dalam bekerja, integritas
moral yang tinggi, dan dengan kredibilitas moral yang tidak diragukan.
Selamat bekerja anggota DPR periode tahun 2014-2019 dengan berjuang untuk dan
atas nama kepentingan rakyat serta mewujudkan kemampuan sebagai legislator,
budgeter, dan controller yang profesional. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar