Menganalisis
Kontroversi SBY
Refly Harun ; Pakar dan Praktisi Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
29 September 2014
“walahhh....bung
refly opini anda malah jd aneh.....awalnya sy sk anda loh dgn coment2 di tv
ttg sosok anda sbg ahli tata negara pakarnya loh.... mana ada presiden bs
batalkan uu pilkada yg sdh di stujui oleh dewan scr voting itu syah loh bung
refly.... mslh tidak or ttd tangan gak mslh tetap syah ! nah miss informasi kok
bisa di jadikan alat utk gugat dn batalkan uu pilkada..... makin ngawur km
bung refly...”
Itulah salah satu komentar dari pembaca bernama Ferry Hartanto menanggapi berita yang dimuat detik.com,
Minggu (28/9/14), berjudul, “Refly:
Jika Terbukti ada Misinformasi, Presiden Bisa Batalkan UU Pilkada”. Saya
tersenyum kecut membaca komentar seperti itu. Bagaimana tidak, dibilang makin
ngawur. Lebih kecut lagi ketika membaca penggalan komentar akun Kedaulatanbangsa,
“kayaknya anda yg udah trima duit
banyak biar bs bikin fatwa seenaknya....”
Itulah risiko sebuah pemberitaan yang harusnya dijelaskan secara
konseptual, tetapi karena dibuat secara straight
news sehingga banyak informasi yang tidak termuat dan saya sendiri juga
mungkin tidak menyampaikan secara lengkap. Ada baiknya juga menjelaskan
kepada pembaca agar kita sama-sama belajar untuk bersama-sama memperbaiki
praktik ketatanegaraan kita.
Persetujuan
RUU
Tentu tidak susah memahami makna Pasal 20 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD
1945 yang menyatakan bahwa setiap RUU dibahas bersama DPR dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama. Jika tidak mendapatkan persetujuan bersama,
RUU tersebut tidak bisa diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Undang-undang tidak menjelaskan kapan persetujuan Presiden itu diangap
diberikan. Namun, dalam rapat paripurna DPR, wakil pemerintah diberikan
kesempatan untuk menyampaikan pandangannya terhadap RUU yang akan disetujui
sebelum pimpinan sidang mengetukkan palu. Kesempatan pemerintah menyampaikan
pandangan umum biasanya sekadar formalitas karena persetujuan secara
substantif sudah terjadi dalam pembicaraan tingkat pertama yang juga sudah
melibatkan pemerintah.
Soalnya, dalam pembahasan RUU Pilkada, fraksi-fraksi belum sampai pada
kata bulat mengenai pilkada langsung atau pilkada melalui DPRD dalam
pembicaraan tingkat pertama sehingga masalah tersebut harus diputuskan di
rapat paripurna. Tentu saja persetujuan Presiden secara substantif belum bisa
diketahui. Presiden SBY sendiri melalui media sosial menyatakan setuju pada
pemilihan langsung. Fraksi Demokrat juga mendukung proposal mempertahankan
pemilihan langsung.
Ketika voting DPR memenangkan kubu yang pro
pemilihan DPRD – dengan drama walk out-nya Fraksi Demokrat—kunci sesungguhnya di tangan Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi untuk menyatakan tidak setuju terhadap RUU Pilkada yang baru divoting
tersebut. Dengan demikian, bila pernyataan tidak setuju tersebut disampaikan
wakil pemerintah, RUU tersebut tidak dapat disetujui dan tidak dapat menjadi
undang-undang. Masalahnya, Mendagri Gamawan Fauzi tidak menyatakan tidak
setuju. Artinya, bisa dikatakan RUU Pilkada telah mencapai persetujuan
bersama antara DPR dan Presiden.
Hingga titik ini tidak ada persoalan. Andaipun nantinya Presiden enggan
untuk mengesahkan RUU Pilkada dengan cara tidak membubuhkan tanda tangan,
berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945, dalam waktu 30 hari setelah
persetujuan, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Hal ini sangat jelas.
Reaksi
SBY
Masalah muncul ketika dalam jumpa pers di Hotel Willard
Intercontinental, Washington, DC, Sabtu (27/9/2014) pukul 09.00 waktu
setempat, SBY menegaskan dirinya sangat berat
untuk menandatangani UU Pilkada. "Saya
serius berat untuk menandatangani UU ini, karena dari awal opsi saya pilkada
langsung dengan perbaikan," kata SBY sebagaimana dikutip detik.com. SBY juga marah dengan sikap walk out Fraksi Demokrat
dan memerintahkan mengusut dalangnya. Terlebih walk out itu dilakukan setelah
PDIP menerima opsi Demokrat.
Berdasarkan pernyataan kecewa dan marahnya SBY, muncul pertanyaan
spekulatif, apakah Presiden tidak di-update perkembangan terakhir? Apakah ada
penelikungan terhadap SBY, baik oleh Fraksi Demokrat maupun Mendagri?
Analisis ini sah-sah saja diungkapkan, selain pendapat yang saat ini sangat
deras berkembang bahwa dalang dari semua ini adalah Presiden SBY sendiri.
Tidak heran kalimat di media-media sosial seperti shame on you dan shamed by
you (SBY) menjadi trending topic.
Sangat jelas, seandainya SBY memang tetap ingin pilkada langsung, ia
tinggal perintahkan Mendagri Gamawan Fauzi bertahan dengan opsi itu dan tidak
menyetujui bila opsi dipilih oleh DPRD yang menang. Kepada Fraksi Demokrat,
ia juga bisa memerintahkan untuk bahu-membahu dengan fraksi lain yang juga
memilih opsi pilkada langsung. Perintah kepada Mendagri menjadi kartu truf
SBY bila opsi dipilih langsung kalah dalam voting.
Kapuspen Kemendagri Dody Riatmadji menyatakan
tidak ada arahan tertentu kepada Mendagri. Kehadiran Mendagri yang mewakili
Presiden SBY saat itu bersikap menyesuaikan dengan fraksi-fraksi di DPR.
Artinya, apa pun yang diputuskan DPR, Presiden akan ikut saja. Hingga titik ini jelas ada paradoks besar karena pasca-paripurna DPR,
SBY menyatakan berat menandatangani RUU Pilkada karena dia tetap ingin
pilkada langsung.
Hingga titik ini saya ingin menyudahi analisis dengan menyalahkan SBY
sepenuhnya akan hilangnya hak rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri. SBY
tidak hanya tidak tegas, tapi juga tidak jelas, sehingga Mendagri dan Fraksi
Demokrat terkesan dibiarkan mengambil keputusan sendiri. SBY tidak mau
bertarung untuk mempertahankan warisan demokrasi pilkada langsung dalam
sembilan tahun terakhir.
Penelikungan
Namun, analisis ‘penelikungan’ tetap menarik untuk dikemukakan sebagai
alternatif. Dari sisi Mendagri, ‘godaan’ untuk berpilkada melalui DPRD justru
datang dari pemerintah sendiri. Awalnya, pemerintah mendorong gubernur
dipilih oleh DPRD dan bupati/walikota dipilih langsung, tetapi kemudian
menjadi sebaliknya, yaitu hanya gubernur yang dipilih langsung, sedangkan
bupati/walikota dipilih oleh DPRD. Jajaran
Kemendagri termasuk yang paling getol mendorong pilkada oleh DPRD. Bahkan,
disebutkan Gamawan Fauzi membuat disertasi yang mengaitkan banyaknya kepala
derah yang tersangkut korupsi dengan pilkada langsung.
Dari sisi Fraksi Demokrat, sudah jamak diketahui,
sebagian mereka pendukung Prabowo-Hatta dalam pilpres, yang artinya bisa
sangat pro terhadap kubu Koalisi Merah Putih, seperti Ketua Fraksi Nurhayati
Ali Assegaf. Beberapa anggota Fraksi Demokrat seperti Khatibul Umam Wiranu
juga getol menyuarakan pilkada oleh DPRD dan beberapa kali berdebat dengan
saya di televisi untuk membela posisinya itu. Lalu, hanya 37 dari 148 anggota
Fraksi Demokrat yang terpilih kembali sebagai anggota DPR Periode 2014-2019.
Artinya, Fraksi Demokrat rentan untuk diinfiltrasi.
Selama proses memantau persetujuan RUU Pilkada, ada isu berembus
mengenai dugaan politik uang kepada kubu yang setuju pro pemilihan langsung.
Yang paling rentan untuk disuap bila isu itu benar dalam hal ini adalah
anggota fraksi yang tidak solid mendukung pilkada langsung.
Bila memang ada agenda tertentu dari Kemendagri
untuk mendorong pilkada oleh DPRD yang tidak sejalan dengan keinginan
Presiden, lalu ada beberapa anggota Fraksi Demokrat yang dipengaruhi politik
uang, bisa jadi SBY sengaja tidak diberikan informasi akurat di tengah
kesibukan kunjungan ke luar negeri. Bila memang demikian dan SBY tetap menyatakan
tidak setuju terhadap RUU Pilkada, saya beranggapan bahwa sesungguhnya tidak
pernah ada persetujuan Presiden SBY terhadap RUU Pilkada.
Persetujuan oleh Mendagri Gamawan Fauzi dengan sendirinya tidak
mewakili suara Presiden SBY. Bila SBY menyatakan hal ini dengan tegas ke
publik maka persetujuan RUU Pilkada tidak sah, tidak memenuhi ketentuan Pasal
20 Ayat (2) UUD 1945. Jadi, bahasa yang benar bukan RUU Pilkada dibatalkan,
tetapi memang tidak pernah disetujui Presiden.
Langkah
SBY
Ketimbang kita semua berdebat dan Bung Ferry
Hartanto bilang saya makin ngawur (dengan senyum kecut), ada baiknya kita
tunggu tindakan Presiden SBY selanjutnya, apa yang ingin ia lakukan dengan
semua ‘kekecewaan’ dan ‘kemarahan’ atas hasil parpurna DPR. Apakah
SBY akan dengan terbuka menyatakan dia tidak pernah setuju dengan opsi
pilkada oleh DPRD. Persetujuan dari Mendagri Gamawan Fauzi hanyalah aspirasi
pribadi, tidak mewakili sikap Presiden SBY, dan hal tersebut pelanggaran
serius terhadap etika berpemerintahan karena menteri harusnya menyampaikan
apa yang menjadi keinginan Presiden. Walk out-nya Fraksi Demokrat juga bukan
atas perintah darinya sebagai Ketua Umum, tetapi bentuk penelikungan dan
disinformasi yang sengaja diciptakan elemen-elemen pro pilkada oleh DPRD dalam
tubuh fraksi terbesar tersebut.
Bila SBY menyatakan itu semua secara terbuka ke publik, ‘dosa’ SBY akan
sedikit termaafkan. Posisinya bukan sebagai ‘dalang’, tetapi orang yang
dikhianati. Panasea dari semua itu, SBY tinggal menyatakan bahwa RUU Pilkada
tidak pernah disetujui bersama. Persetujuan yang ada cacat formil. Presiden
tidak terikat dengan persetujuan tersebut sehingga tidak merasa perlu
mengundangkan RUU Pilkada. Untuk mengatasi kekosongan hukum, SBY bisa saja
mengeluarkan perppu yang menghidupkan kembali pemilihan langsung. Bahan
perppu bisa diperoleh dari draf opsi pemilihan langsung plus 10 perbaikan
yang selalu didengungkan dan seolah sudah menjadi harga mati.
Dengan sikap SBY tersebut, tentu akan ada suara pro dan kontra. Tentu
ada yang mendukung, dan ada yang marah. Kontroversi sangat mungkin bakal
mencuat. Debat tatanegara akan terjadi di mana-mana. Namun, sebagai bangsa
yang berkonstitusi, soal ini tinggal dibawa ke forum Mahkamah Konstitusi
(MK), yaitu sengketa kewenangan antara Presiden dan DPR atas persetujuan RUU
Pilkada. Biarlah MK yang memutuskan apakah persetujuan RUU Pilkada sah atau
tidak.
Tapi, bila semua yang terjadi atas sepengetahuan
dan kesadaran Presiden SBY. Bahkan SBY sendiri sesungguhnya sutradara di
balik drama paripurna DPR dengan lakon utama Fraksi Demokrat tersebut, maka
jangan salahkan bila hari-hari terakhir ini rakyat marah dan merasa tertipu,
lalu berkata, “shamed by you”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar