Selasa, 30 September 2014

Menganalisis Kontroversi SBY

Menganalisis Kontroversi SBY

Refly Harun  ;   Pakar dan Praktisi Hukum Tatanegara
DETIKNEWS,  29 September 2014

                                                                                                                       


“walahhh....bung refly opini anda malah jd aneh.....awalnya sy sk anda loh dgn coment2 di tv ttg sosok anda sbg ahli tata negara pakarnya loh.... mana ada presiden bs batalkan uu pilkada yg sdh di stujui oleh dewan scr voting itu syah loh bung refly.... mslh tidak or ttd tangan gak mslh tetap syah ! nah miss informasi kok bisa di jadikan alat utk gugat dn batalkan uu pilkada..... makin ngawur km bung refly...”

Itulah salah satu komentar dari pembaca bernama Ferry Hartanto menanggapi berita yang dimuat detik.com, Minggu (28/9/14), berjudul, “Refly: Jika Terbukti ada Misinformasi, Presiden Bisa Batalkan UU Pilkada”. Saya tersenyum kecut membaca komentar seperti itu. Bagaimana tidak, dibilang makin ngawur. Lebih kecut lagi ketika membaca penggalan komentar akun Kedaulatanbangsa, “kayaknya anda yg udah trima duit banyak biar bs bikin fatwa seenaknya....”

Itulah risiko sebuah pemberitaan yang harusnya dijelaskan secara konseptual, tetapi karena dibuat secara straight news sehingga banyak informasi yang tidak termuat dan saya sendiri juga mungkin tidak menyampaikan secara lengkap. Ada baiknya juga menjelaskan kepada pembaca agar kita sama-sama belajar untuk bersama-sama memperbaiki praktik ketatanegaraan kita.

Persetujuan RUU

Tentu tidak susah memahami makna Pasal 20 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap RUU dibahas bersama DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Jika tidak mendapatkan persetujuan bersama, RUU tersebut tidak bisa diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Undang-undang tidak menjelaskan kapan persetujuan Presiden itu diangap diberikan. Namun, dalam rapat paripurna DPR, wakil pemerintah diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya terhadap RUU yang akan disetujui sebelum pimpinan sidang mengetukkan palu. Kesempatan pemerintah menyampaikan pandangan umum biasanya sekadar formalitas karena persetujuan secara substantif sudah terjadi dalam pembicaraan tingkat pertama yang juga sudah melibatkan pemerintah.

Soalnya, dalam pembahasan RUU Pilkada, fraksi-fraksi belum sampai pada kata bulat mengenai pilkada langsung atau pilkada melalui DPRD dalam pembicaraan tingkat pertama sehingga masalah tersebut harus diputuskan di rapat paripurna. Tentu saja persetujuan Presiden secara substantif belum bisa diketahui. Presiden SBY sendiri melalui media sosial menyatakan setuju pada pemilihan langsung. Fraksi Demokrat juga mendukung proposal mempertahankan pemilihan langsung.

Ketika voting DPR memenangkan kubu yang pro pemilihan DPRD – dengan drama walk out-nya Fraksi Demokrat—kunci sesungguhnya di tangan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi untuk menyatakan tidak setuju terhadap RUU Pilkada yang baru divoting tersebut. Dengan demikian, bila pernyataan tidak setuju tersebut disampaikan wakil pemerintah, RUU tersebut tidak dapat disetujui dan tidak dapat menjadi undang-undang. Masalahnya, Mendagri Gamawan Fauzi tidak menyatakan tidak setuju. Artinya, bisa dikatakan RUU Pilkada telah mencapai persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
Hingga titik ini tidak ada persoalan. Andaipun nantinya Presiden enggan untuk mengesahkan RUU Pilkada dengan cara tidak membubuhkan tanda tangan, berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945, dalam waktu 30 hari setelah persetujuan, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Hal ini sangat jelas.

Reaksi SBY

Masalah muncul ketika dalam jumpa pers di Hotel Willard Intercontinental, Washington, DC, Sabtu (27/9/2014) pukul 09.00 waktu setempat, SBY menegaskan dirinya sangat berat untuk menandatangani UU Pilkada. "Saya serius berat untuk menandatangani UU ini, karena dari awal opsi saya pilkada langsung dengan perbaikan," kata SBY sebagaimana dikutip detik.com. SBY juga marah dengan sikap walk out Fraksi Demokrat dan memerintahkan mengusut dalangnya. Terlebih walk out itu dilakukan setelah PDIP menerima opsi Demokrat.

Berdasarkan pernyataan kecewa dan marahnya SBY, muncul pertanyaan spekulatif, apakah Presiden tidak di-update perkembangan terakhir? Apakah ada penelikungan terhadap SBY, baik oleh Fraksi Demokrat maupun Mendagri? Analisis ini sah-sah saja diungkapkan, selain pendapat yang saat ini sangat deras berkembang bahwa dalang dari semua ini adalah Presiden SBY sendiri. Tidak heran kalimat di media-media sosial seperti shame on you dan shamed by you (SBY) menjadi trending topic.

Sangat jelas, seandainya SBY memang tetap ingin pilkada langsung, ia tinggal perintahkan Mendagri Gamawan Fauzi bertahan dengan opsi itu dan tidak menyetujui bila opsi dipilih oleh DPRD yang menang. Kepada Fraksi Demokrat, ia juga bisa memerintahkan untuk bahu-membahu dengan fraksi lain yang juga memilih opsi pilkada langsung. Perintah kepada Mendagri menjadi kartu truf SBY bila opsi dipilih langsung kalah dalam voting.

Kapuspen Kemendagri Dody Riatmadji menyatakan tidak ada arahan tertentu kepada Mendagri. Kehadiran Mendagri yang mewakili Presiden SBY saat itu bersikap menyesuaikan dengan fraksi-fraksi di DPR. Artinya, apa pun yang diputuskan DPR, Presiden akan ikut saja. Hingga titik ini jelas ada paradoks besar karena pasca-paripurna DPR, SBY menyatakan berat menandatangani RUU Pilkada karena dia tetap ingin pilkada langsung.

Hingga titik ini saya ingin menyudahi analisis dengan menyalahkan SBY sepenuhnya akan hilangnya hak rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri. SBY tidak hanya tidak tegas, tapi juga tidak jelas, sehingga Mendagri dan Fraksi Demokrat terkesan dibiarkan mengambil keputusan sendiri. SBY tidak mau bertarung untuk mempertahankan warisan demokrasi pilkada langsung dalam sembilan tahun terakhir.

Penelikungan

Namun, analisis ‘penelikungan’ tetap menarik untuk dikemukakan sebagai alternatif. Dari sisi Mendagri, ‘godaan’ untuk berpilkada melalui DPRD justru datang dari pemerintah sendiri. Awalnya, pemerintah mendorong gubernur dipilih oleh DPRD dan bupati/walikota dipilih langsung, tetapi kemudian menjadi sebaliknya, yaitu hanya gubernur yang dipilih langsung, sedangkan bupati/walikota dipilih oleh DPRD. Jajaran Kemendagri termasuk yang paling getol mendorong pilkada oleh DPRD. Bahkan, disebutkan Gamawan Fauzi membuat disertasi yang mengaitkan banyaknya kepala derah yang tersangkut korupsi dengan pilkada langsung.

Dari sisi Fraksi Demokrat, sudah jamak diketahui, sebagian mereka pendukung Prabowo-Hatta dalam pilpres, yang artinya bisa sangat pro terhadap kubu Koalisi Merah Putih, seperti Ketua Fraksi Nurhayati Ali Assegaf. Beberapa anggota Fraksi Demokrat seperti Khatibul Umam Wiranu juga getol menyuarakan pilkada oleh DPRD dan beberapa kali berdebat dengan saya di televisi untuk membela posisinya itu. Lalu, hanya 37 dari 148 anggota Fraksi Demokrat yang terpilih kembali sebagai anggota DPR Periode 2014-2019. Artinya, Fraksi Demokrat rentan untuk diinfiltrasi.

Selama proses memantau persetujuan RUU Pilkada, ada isu berembus mengenai dugaan politik uang kepada kubu yang setuju pro pemilihan langsung. Yang paling rentan untuk disuap bila isu itu benar dalam hal ini adalah anggota fraksi yang tidak solid mendukung pilkada langsung.

Bila memang ada agenda tertentu dari Kemendagri untuk mendorong pilkada oleh DPRD yang tidak sejalan dengan keinginan Presiden, lalu ada beberapa anggota Fraksi Demokrat yang dipengaruhi politik uang, bisa jadi SBY sengaja tidak diberikan informasi akurat di tengah kesibukan kunjungan ke luar negeri. Bila memang demikian dan SBY tetap menyatakan tidak setuju terhadap RUU Pilkada, saya beranggapan bahwa sesungguhnya tidak pernah ada persetujuan Presiden SBY terhadap RUU Pilkada.

Persetujuan oleh Mendagri Gamawan Fauzi dengan sendirinya tidak mewakili suara Presiden SBY. Bila SBY menyatakan hal ini dengan tegas ke publik maka persetujuan RUU Pilkada tidak sah, tidak memenuhi ketentuan Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945. Jadi, bahasa yang benar bukan RUU Pilkada dibatalkan, tetapi memang tidak pernah disetujui Presiden.

Langkah SBY

Ketimbang kita semua berdebat dan Bung Ferry Hartanto bilang saya makin ngawur (dengan senyum kecut), ada baiknya kita tunggu tindakan Presiden SBY selanjutnya, apa yang ingin ia lakukan dengan semua ‘kekecewaan’ dan ‘kemarahan’ atas hasil parpurna DPR. Apakah SBY akan dengan terbuka menyatakan dia tidak pernah setuju dengan opsi pilkada oleh DPRD. Persetujuan dari Mendagri Gamawan Fauzi hanyalah aspirasi pribadi, tidak mewakili sikap Presiden SBY, dan hal tersebut pelanggaran serius terhadap etika berpemerintahan karena menteri harusnya menyampaikan apa yang menjadi keinginan Presiden. Walk out-nya Fraksi Demokrat juga bukan atas perintah darinya sebagai Ketua Umum, tetapi bentuk penelikungan dan disinformasi yang sengaja diciptakan elemen-elemen pro pilkada oleh DPRD dalam tubuh fraksi terbesar tersebut.

Bila SBY menyatakan itu semua secara terbuka ke publik, ‘dosa’ SBY akan sedikit termaafkan. Posisinya bukan sebagai ‘dalang’, tetapi orang yang dikhianati. Panasea dari semua itu, SBY tinggal menyatakan bahwa RUU Pilkada tidak pernah disetujui bersama. Persetujuan yang ada cacat formil. Presiden tidak terikat dengan persetujuan tersebut sehingga tidak merasa perlu mengundangkan RUU Pilkada. Untuk mengatasi kekosongan hukum, SBY bisa saja mengeluarkan perppu yang menghidupkan kembali pemilihan langsung. Bahan perppu bisa diperoleh dari draf opsi pemilihan langsung plus 10 perbaikan yang selalu didengungkan dan seolah sudah menjadi harga mati.

Dengan sikap SBY tersebut, tentu akan ada suara pro dan kontra. Tentu ada yang mendukung, dan ada yang marah. Kontroversi sangat mungkin bakal mencuat. Debat tatanegara akan terjadi di mana-mana. Namun, sebagai bangsa yang berkonstitusi, soal ini tinggal dibawa ke forum Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu sengketa kewenangan antara Presiden dan DPR atas persetujuan RUU Pilkada. Biarlah MK yang memutuskan apakah persetujuan RUU Pilkada sah atau tidak.

Tapi, bila semua yang terjadi atas sepengetahuan dan kesadaran Presiden SBY. Bahkan SBY sendiri sesungguhnya sutradara di balik drama paripurna DPR dengan lakon utama Fraksi Demokrat tersebut, maka jangan salahkan bila hari-hari terakhir ini rakyat marah dan merasa tertipu, lalu berkata, “shamed by you”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar