SDM
Kita
Bre Redana ; Kolumnis “Catatan Minggu” Kompas
|
KOMPAS,
28 September 2014
SUMBER daya manusia disingkat
SDM kita, bukanlah sesuatu yang bisa diadakan dan ditingkatkan dengan segera.
Seketika tersadar kenyataan ini tatkala mengantar teman yang mengalami
kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit baru, mewah, di pinggiran Jakarta
yang digembar-gemborkan sebagai kawasan masa depan.
Keprigelan paramedis membuat kami ragu. Setelah pasien terkatung-katung
lama, dokter muncul. Keputusan dokter mengagetkan: gegar otak, harus
dioperasi otaknya.
Keluarga dan kami semua tidak menyangka seburuk itu situasinya. Belum
lagi biayanya. Di tengah kepanikan, sosok yang kami tuakan dan hormati di
Bogor memberi nasihat: bawa pulang saja. Entah karena penanganan sosok tadi,
atau keajaiban Yang Kuasa, rekan tadi membaik keadaannya dalam dua hari. Hari
ketiga dia jalan-jalan di gang lingkungan kami.
Andai operasi dilakukan dan batok kepalanya dibuka, sampai catatan ini
dibikin jangan-jangan dia masih terbaring di rumah sakit. Sungguh kami harus
belajar bersyukur, bukan memendam geram: dokter tadi yang harus dioperasi
otaknya.
Ah, kalau diamati, berapa banyak rumah sakit baru, umumnya mewah, bermunculan
terutama di kawasan-kawasan baru? Kesehatan, sebagaimana pendidikan, sekarang
menjadi komoditi mahal. Pertanyaannya—selain di mana negara—dari mana mereka
mendapatkan tenaga medis termasuk dokter? Saya pernah ke rumah sakit mata,
yang gedungnya baru, magrong-magrong. Disuruh mendaftar terlebih dahulu.
Dokter akan ada tiga hari kemudian....
Dokter jelas tidak bisa dicetak dengan seketika. Toh, pada bidang
pekerjaan yang kecakapannya diandaikan bisa didapat lewat training singkat,
keadaannya sami mawon. Itu bisa
kita lihat di restoran maupun kafe-kafe yang menjamur seiring bermunculannya
mal dan hotel baru.
Saya mengalami berhadapan dengan waiter yang menjawab pertanyaan
mengenai spesifikasi menu yang disodorkannya dengan serampangan. Ngawur. Ketika
saya memesan kentang goreng yang saya ucapkan sebagai french fries, dia
tanya, medium atau well done. Saya
angkat kaki. Tak terbayang makan kentang setengah matang.
Bidang yang berhubungan dengan konstruksi atau bangunan tak kalah
parah. Siapa pun yang pernah berhadapan dengan tukang, pasti pusing. Kalau
tak tahan bisa muntah darah. Dunia pertukangan bangunan di Indonesia adalah
dunia yang paling tidak profesional. Ia berevolusi dari sistem kerja para
tukang, yang di Jawa didasarkan pada ke-kober-an
mereka.
”Kober”
artinya ketersediaan waktu, availability,
bukan capability alias kecakapan.
Seorang tukang tidak akan menjawab secara spesifik keahliannya. Sebaliknya,
apa-apa bisa. Kayu? Bisa. Listrik? Bisa. Air atau plumbing? Bisa. Lantai?
Bisa. Semua bisa. Bisa di sini artinya punya ketersediaan waktu, kober.
Basisnya amatirisme, bukan profesionalisme.
Begitu mereka mengerjakan, amburadul. Keadaan seperti itu bukan hanya
terjadi di bidang-bidang pekerjaan yang bersifat teknis, tetapi sampai ke
lembaga-lembaga yang bersifat intelektual.
Kini marak perdagangan paket-paket pembenahan organisasi perusahaan
berikut peningkatan SDM. Teman saya, yang seluruh usahanya gagal, kini
mendirikan lembaga pelatihan manajemen dan motivasi. Kliennya banyak.
Ini memang musimnya motivasi-motivasian. Mungkin karena aspirasi mulya
meningkatkan kemampuan SDM itu. Salah kaprahnya, lembaga intelektual kadang
menyelenggarakan pelatihan bersifat teknis, seperti layaknya sedang membenahi
pabrik sepatu.
Sejumlah perusahaan kemudian juga mendandani karyawannya dengan
seragam. Semboyan-semboyan yang berhubungan dengan etos kerja disebarkan.
Apakah dengan itu manusia berubah?
Belum tentu. Para anggota DPR juga memiliki dress code busana formal, bagus, jam tangan, cincin, semua serba
mahal. Hanya saja, kita semua tahu, penampilan yang perlente dan gemebyar
tersebut kemungkinan dianggap perlu, untuk membungkus isi yang busuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar