Benar
& Layak
Samuel Mulia ; Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
|
KOMPAS,
28 September 2014
Di hari Senin pagi, satu minggu yang lalu, saya kepikiran gara-gara
pesan yang dikirim oleh seorang teman lama. Begini bunyi pesan itu. Dalam memberikan persembahan kepada Tuhan,
kita harus terlebih dahulu dalam kondisi benar dan memiliki kehidupan yang layak
di hadapan Tuhan....
Fisik
Duh..., saya tertusuk rasanya. Sakitnya tu di sini (sambil menunjuk
dada). Sejujurnya saya agak tersinggung, dan disusul dengan suara nurani yang
memang senangnya ”bernyanyi”. ”Nyanyiannya” seperti ini.
Kalau setelah saya mengevaluasi hidup, dan ternyata hasilnya tidak
benar dan tidak layak, jadi selama ini doa yang saya panjatkan, persembahan
yang saya berikan, pertolongan saya lakukan itu sia-sia belaka? Begitu?
Bagaimana cara saya mengetahui saya ini benar dan saya ini layak? La
wong saya sering kali dikuliahi dengan perkataan macam begini. Belum tentu
yang benar di mata kamu adalah benar di mata Tuhan. Artinya, bisa jadi, belum
tentu pesan yang dikirim teman saya itu benar di mata Tuhan, bukan?
Tetapi sungguh menarik untuk mengetahui bagaimana saya itu benar dan
layak agar persembahan saya itu diperkenankan-Nya. Kalau saya membaca isi
Injil, sejujurnya saya tak pernah bisa benar dan tak pernah bisa layak. Saya
tak sanggup melakukan seperti yang tertulis di dalamnya. La wong
infrastruktur yang diberikan kepada saya mengandung sisi baik dan sisi tidak
baik.
Apakah pesan yang diberikan teman saya adalah sesungguhnya hanyalah
buatan manusia, bukan pesan yang diartikan sesuai dengan apa yang benar di
mata Tuhan? Karena sudah acap kali manusia itu senang sekali membuat aturan
main agar hidup itu jangan sampai tidak sempurna, padahal ia tahu betapa
tidak sempurnanya hidup ini.
Katanya tangan kiri itu tangan yang kotor, maka saya diajari makan itu
pakai tangan yang bersih, yaitu tangan kanan. Nah, kemudian saya bertanya,
apakah itu kebenaran ilahi atau kebenaran manusiawi? Kalau saya mengikuti
kebenaran manusiawi, apakah itu berarti saya sudah hidup benar dan layak di
hadapan Tuhan?
Kalau saya tidak menyetujui pendapat orang tua dan bukan tidak
menghormatinya, apakah saya dianggap kurang ajar dan anak yang tidak tahu
diri? Karena di suatu hari ada seorang ibu menegur bahwa saya tidak benar
melawan orang tua. Apakah teguran itu membuat si ibu sungguh layak dan benar,
bahkan ketika ia tidak mampu melihat perbedaan antara berbeda pendapat dan
melawan?
Hati
Saya ditegur di meja makan karena makan dengan piring yang saya tumpuk
dengan piring kotor di bawahnya. Katanya itu menunjukkan bahwa saya hobi
menumpukkan pekerjaan. Teman saya menasihati jangan merayakan hari ulang
tahun sebelum waktunya. Pamali katanya.
Apakah yang pamali itu benar? Layak? Kebenaran dan kelayakan yang
berasal dari manakah pamali itu? Apakah kebenaran dari tiga contoh di atas
itu sesuai dengan kebenaran dari kacamata Tuhan? Apakah yang kelihatan baik
di mata manusia itu sudah pasti baik di mata Tuhan?
Sehingga kalau saya menjalankan ketiga contoh di atas, saya mendapat
pujian dari manusia, saya lulus dari ujian kebenaran dan kelayakan hidup,
tetapi apakah itu juga akan meluluskan saya dalam ujian yang diberikan Tuhan?
Kalau saya tidak lulus, apakah manusia yang telah mengajarkan aturan main
pamali atau tidak, akan membela saya?
Di pagi yang sama teman saya mengirimkan sebuah video bagaimana hidup
bahagia. Ada tiga hal. Enak makan, enak tidur, dan enak buang air besar.
Selama ini saya bersyukur saya dapat melakukan itu semua. Apakah saya
bahagia? Tidak.
Karena ukuran saya bahagia bukan itu. Apakah tayangan dalam video itu
benar? Bisa jadi benar dan baik buat orang itu, tetapi tidak untuk saya.
Terus kalau begitu, saya menjadi manusia yang tidak benar, tidak baik?
Nah, sekarang saya ingin bertanya, kalau saya menulis, saya tidak
bahagia, apakah Anda akan menilai saya tidak benar, karena saya tidak
bersyukur? Jadi kalau di mata Anda, saya tidak benar, apakah itu berarti saya
tidak layak dan tidak benar di hadapan Tuhan?
Hidup ini memberi banyak kemungkinan, termasuk kemungkinan kalau
manusia salah menerjemahkan apa kebenaran dan kelayakan yang sesuai di mata
Tuhan. Siapa tahu, Tuhan itu tidak membutuhkan saya yang benar dan saya yang
layak, tetapi hanya membutuhkan manusia yang berniat memiliki hubungan yang
dekat dengan-Nya.
Siapa tahu hubungan dekat yang dimaksud itu adalah sebuah hubungan
dengan hati bukan dengan aktivitas fisik, artinya yang penuh dengan naik dan
turun, hubungan yang alamiah, yang tidak dibuat-buat.
Sehingga doa yang saya panjatkan, pertolongan yang saya berikan,
persembahan berupa uang yang saya lakukan, akan senantiasa benar dan layak
dan senantiasa berkenan tanpa harus mengevaluasi apakah saya ini benar dan
layak.
Sama seperti orang tua yang selalu mencintai dan mengerti anaknya,
meski mereka tahu pasti anaknya telah dan akan banyak melakukan
ketidakbenaran dan ketidaklayakan.
Saya pernah dinasihati begini. Manusia itu hanya melihat apa yang di
depan matanya, tetapi Tuhan itu melihat hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar