Minggu, 28 September 2014

Anies Baswedan Calon Mendikdasmen Kita?

             Anies Baswedan Calon Mendikdasmen Kita?

Sudaryanto ;   Dosen PBSI UAD,
Pengajar Tamu di Guangxi University for Nationalities, Tiongkok
HALUAN,  27 September 2014

                                                                                                                       


Sebelum dan se­sudah presiden ter­pilih Joko Widodo (Jokowi) dan wakilnya Jusuf Kalla (JK) mengu­mumkan arsitektur kabinetnya, Senin (15/9) lalu, nama Anies Baswedan kerap disebut-sebut sebagai salah satu calon menteri. Nama Anies bersaing kuat dengan Yudi Latif untuk menempati posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dalam kabinet Jokowi-JK. Tepatkah seorang Anies Baswedan diposisikan sebagai Mendikbud?

Bersamaan isu nama, mun­cullah isu pemisahan Kemen­terian Pendidikan dan Kebu­dayaan (Kemdikbud) menjadi dua bagian, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Mene­ngah (kita singkat Kemdik­dasmen) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (kita singkat Kemdik­tiristek). Publik pun kemudian meresponsnya bermacam-macam. Ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju. 

Di kalangan perguruan tinggi umumnya menyetujui isu pemisahan tersebut.
Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Prof Ravik Karsidi setuju adanya pembentukan kementerian baru bernama Kemdiktiristek. Alasannya, agar para dosen di perguruan tinggi dan peneliti di kementerian dapat saling bersinergi untuk menghasilkan penelitian yang lebih ber­manfaat bagi masyarakat. Seia-sekata, dosen FISIP Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi Kusman (Jawa Pos, 23/9/2014) juga berpandangan demikian.

Siapa Mendikdasmen?


Dalam konteks tulisan ini, kita mengandaikan bahwa Kemdikbud tetap dipisah menjadi dua bagian, salah satunya ialah Kemdikdasmen. Kementerian ini akan berfokus mengurusi bidang pendidikan dasar dan menengah. Di dalamnya mencakup persoalan guru, kurikulum, hingga sarana dan prasarana sekolah. Tak terkecuali mengawal pelaksanaan Kurikulum 2013 (biasa disebut K-13) di sekolah tingkat dasar (SD) dan me­nengah (SMP-SMA).

Sebagai pihak yang diminta mengomentari kurikulum oleh Kemdikbud, Anies mengi­ngatkan faktor guru sebagai kunci perbaikan praktis pendi­dikan. Menurutnya, profesi ini kurang dipikirkan serius, yang tercermin pada cara menga­presi. Meski sama-sama menga­jar, namun jumlah gaji antara guru PNS dan guru honorer (GTT) tidaklah sama, njom­plang, bagai bumi dan langit. Inilah salah satu potret ketidak­adilan yang masih terjadi di kalangan guru kita saat ini.

Masih terkait guru, persoa­lan kinerja dan pengembangan profesi guru juga dipandang masih kedodoran. Banyak guru yang luput memikirkan pengembangan keprofesionalan diri seperti melakukan pe­­nelitian tindakan kelas (PTK). Jika ada survei tentang akti­vitas penelitian guru tiap semester, saya yakin hasilnya tidak banyak guru yang melakukannya. Itu karena mereka hanya sibuk mengajar di kelas dan membuat tugas-tugas administratif (silabus, RPP, dsb).

Juga, jika ada survei tentang kepangkatan guru di sekolah atau madrasah, hasilnya bahwa guru-guru kita berada di pangkat IV/a selama berta­hun-tahun. Mengapa itu terjadi? Sebab, salah satu syarat untuk naik pangkat dari IV/a ke IV/b ialah karya tulis ilmiah. Dilemanya, mereka tak bisa menulis karya ilmiah karena terlalu sibuk mengajar, malas belajar, atau sebab lainnya. Padahal, melakukan PTK tidaklah sesulit yang dibayang­kan, dan bisa seiring-sejalan dengan mengajar.

Jujur saja, persoalan guru di ranah pendidikan dasar dan menengah terlihat begitu dominan di negeri ini. Untuk itu, wajarlah jika Anies Baswedan sampai berujar, “Menyelesaikan permasalahan guru berarti menyelesaikan sebagian besar masalah pendi­dikan.”  Ujaran Anies itu, saya pikir ada benarnya, mengingat guru menjadi faktor kunci dalam menentukan berhasil-tidaknya proses pembelajaran di kelas atau sekolah. Bagi Anies, guru mungkin diibaratkan sebuah kompas.

Jikalau alat penunjuk arah itu rusak, alamat penggunanya akan tersesat. Begitu pula guru, yang karena gajinya minim, kinerjanya rendah, sampai kreativitas mengajarnya kur­ang, akhirnya praktis pen­didikan berjalan tanpa arah. Belum lagi persoalan sulitnya akses pendidikan anak-anak miskin terhadap pendidikan, terutama di daerah tertinggal dan terbelakang. Siapa lulusan LPTK yang berkenan mengajar dan mengabdi di daerah yang serba minus itu.

Sejumlah Catatan

Atas fakta itu, Anies pun kemudian merintis program Indonesia Mengajar. Para lulusan sarjana kampus kond­ang, seperti UI, U­GM, dan ITB berkenan mengajar di da­e­rah-daerah ser­ba minus di Ta­nah Air. Ja­ngan ba­yang­kan para peserta Indonesia Me­ngajar men­dapat tam­bahan gaji dari Kem­dikbud atau pe­merintah dae­rah. Pun, jangan ba­yangkan me­reka tinggal di asrama yang fasi­litasnya memadai. Itu se­mua mereka laku­kan secara su­karela dan mandiri.Mirip dengan Indonesia Mengajar, Kemdikbud kemu­dian meluncurkan pro­gram Sarjana Mendidik di Daerah Terbelakang, Tertinggal, dan Terdepan (SM-D3T). Bedanya, program ini dipe­runtukkan hanya untuk lu­lusan LPTK, dan para pesertanya setelah bertugas setahun disuruh mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Hanya saja, ada sejumlah catatan penting yang perlu dipertimbangkan, baik terkait kedua program itu maupun hal lainnya.

Pertama, baik Indonesia Mengajar maupun SM-D3T sama-sama bersifat periodik, dalam arti setahun mengajar di daerah serba minus. Padahal, masalah guru bermutu di daerah serba minus itu bersifat permanen. Inilah tantangan awal bagi Anies, jika yang bersangkutan ditunjuk oleh Jokowi sebagai Mendikdasmen nanti. Ada dua solusi yang bisa diajukan, yaitu menyekolahkan putra daerah yang berminat, dan memberikan tawaran kepada para lulusan LPTK.

Kedua, Anies sendiri meru­pakan lulusan doktor dari AS dan mantan Direktur Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI). Pengalamannya di bidang riset dan publikasi jurnal inter­nasional tentu banyak. Nah, tantangan kedua bagi Anies ialah sanggupkah ia mencip­takan atmosfer penelitian di kalangan guru-guru kita. Selama ini, seperti diamati banyak guru malas melakukan penelitian, kendatipun mereka paham betapa penelitian itu sebetulnya mudah, tidak sulit.

Terakhir, Anies sendiri merupakan putra dari Prof Dr Aliyah Rasyid Baswedan, seorang guru besar UNY. Wajar jika ia dianggap memi­liki “DNA” pendidik pula. Barangkali, Anies kecil terbiasa melihat ibundanya bekerja bolak-balik kampus dan rumah, mengajar dan meneliti. Kini, jika ia diamanahkan oleh Jokowi sebagai Mendikdasmen, apakah ia sanggup menularkan “DNA” pendidik kepada para guru di Tanah Air? Jawa­bannya kita tunggu nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar