Anies Baswedan
Calon Mendikdasmen Kita?
Sudaryanto ; Dosen PBSI UAD,
Pengajar Tamu di Guangxi University for Nationalities, Tiongkok
|
HALUAN,
27 September 2014
Sebelum dan sesudah presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) dan
wakilnya Jusuf Kalla (JK) mengumumkan arsitektur kabinetnya, Senin (15/9)
lalu, nama Anies Baswedan kerap disebut-sebut sebagai salah satu calon
menteri. Nama Anies bersaing kuat dengan Yudi Latif untuk menempati posisi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dalam kabinet Jokowi-JK.
Tepatkah seorang Anies Baswedan diposisikan sebagai Mendikbud?
Bersamaan isu nama, muncullah
isu pemisahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menjadi dua
bagian, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (kita singkat Kemdikdasmen)
dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (kita singkat Kemdiktiristek).
Publik pun kemudian meresponsnya bermacam-macam. Ada yang setuju, ada pula
yang tidak setuju.
Di kalangan perguruan tinggi umumnya menyetujui isu
pemisahan tersebut.
Rektor Universitas Sebelas
Maret (UNS), Surakarta, Prof Ravik Karsidi setuju adanya pembentukan
kementerian baru bernama Kemdiktiristek. Alasannya, agar para dosen di perguruan
tinggi dan peneliti di kementerian dapat saling bersinergi untuk menghasilkan
penelitian yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Seia-sekata, dosen FISIP
Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi Kusman (Jawa Pos, 23/9/2014) juga
berpandangan demikian.
Siapa Mendikdasmen?
Dalam konteks tulisan ini, kita
mengandaikan bahwa Kemdikbud tetap dipisah menjadi dua bagian, salah satunya
ialah Kemdikdasmen. Kementerian ini akan berfokus mengurusi bidang pendidikan
dasar dan menengah. Di dalamnya mencakup persoalan guru, kurikulum, hingga
sarana dan prasarana sekolah. Tak terkecuali mengawal pelaksanaan Kurikulum
2013 (biasa disebut K-13) di sekolah tingkat dasar (SD) dan menengah
(SMP-SMA).
Sebagai pihak yang diminta
mengomentari kurikulum oleh Kemdikbud, Anies mengingatkan faktor guru
sebagai kunci perbaikan praktis pendidikan. Menurutnya, profesi ini kurang
dipikirkan serius, yang tercermin pada cara mengapresi. Meski sama-sama
mengajar, namun jumlah gaji antara guru PNS dan guru honorer (GTT) tidaklah
sama, njomplang, bagai bumi dan langit.
Inilah salah satu potret ketidakadilan yang masih terjadi di kalangan guru
kita saat ini.
Masih terkait guru, persoalan
kinerja dan pengembangan profesi guru juga dipandang masih kedodoran. Banyak
guru yang luput memikirkan pengembangan keprofesionalan diri seperti
melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Jika ada survei tentang aktivitas
penelitian guru tiap semester, saya yakin hasilnya tidak banyak guru yang
melakukannya. Itu karena mereka hanya sibuk mengajar di kelas dan membuat
tugas-tugas administratif (silabus, RPP, dsb).
Juga, jika ada survei tentang
kepangkatan guru di sekolah atau madrasah, hasilnya bahwa guru-guru kita
berada di pangkat IV/a selama bertahun-tahun. Mengapa itu terjadi? Sebab,
salah satu syarat untuk naik pangkat dari IV/a ke IV/b ialah karya tulis
ilmiah. Dilemanya, mereka tak bisa menulis karya ilmiah karena terlalu sibuk
mengajar, malas belajar, atau sebab lainnya. Padahal, melakukan PTK tidaklah
sesulit yang dibayangkan, dan bisa seiring-sejalan dengan mengajar.
Jujur saja, persoalan guru di
ranah pendidikan dasar dan menengah terlihat begitu dominan di negeri ini.
Untuk itu, wajarlah jika Anies Baswedan sampai berujar, “Menyelesaikan permasalahan guru berarti menyelesaikan sebagian besar
masalah pendidikan.” Ujaran Anies itu, saya pikir ada benarnya,
mengingat guru menjadi faktor kunci dalam menentukan berhasil-tidaknya proses
pembelajaran di kelas atau sekolah. Bagi Anies, guru mungkin diibaratkan
sebuah kompas.
Jikalau alat penunjuk arah itu
rusak, alamat penggunanya akan tersesat. Begitu pula guru, yang karena
gajinya minim, kinerjanya rendah, sampai kreativitas mengajarnya kurang,
akhirnya praktis pendidikan berjalan tanpa arah. Belum lagi persoalan
sulitnya akses pendidikan anak-anak miskin terhadap pendidikan, terutama di
daerah tertinggal dan terbelakang. Siapa lulusan LPTK yang berkenan mengajar
dan mengabdi di daerah yang serba minus itu.
Sejumlah Catatan
Atas fakta itu, Anies pun
kemudian merintis program Indonesia Mengajar. Para lulusan sarjana kampus
kondang, seperti UI, UGM, dan ITB berkenan mengajar di daerah-daerah serba
minus di Tanah Air. Jangan bayangkan para peserta Indonesia Mengajar
mendapat tambahan gaji dari Kemdikbud atau pemerintah daerah. Pun,
jangan bayangkan mereka tinggal di asrama yang fasilitasnya memadai. Itu
semua mereka lakukan secara sukarela dan mandiri.Mirip dengan Indonesia
Mengajar, Kemdikbud kemudian meluncurkan program Sarjana Mendidik di Daerah
Terbelakang, Tertinggal, dan Terdepan (SM-D3T). Bedanya, program ini diperuntukkan
hanya untuk lulusan LPTK, dan para pesertanya setelah bertugas setahun
disuruh mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Hanya saja, ada sejumlah
catatan penting yang perlu dipertimbangkan, baik terkait kedua program itu
maupun hal lainnya.
Pertama, baik Indonesia
Mengajar maupun SM-D3T sama-sama bersifat periodik, dalam arti setahun
mengajar di daerah serba minus. Padahal, masalah guru bermutu di daerah serba
minus itu bersifat permanen. Inilah tantangan awal bagi Anies, jika yang
bersangkutan ditunjuk oleh Jokowi sebagai Mendikdasmen nanti. Ada dua solusi
yang bisa diajukan, yaitu menyekolahkan putra daerah yang berminat, dan
memberikan tawaran kepada para lulusan LPTK.
Kedua, Anies sendiri merupakan
lulusan doktor dari AS dan mantan Direktur Riset Lembaga Survei Indonesia
(LSI). Pengalamannya di bidang riset dan publikasi jurnal internasional
tentu banyak. Nah, tantangan kedua bagi Anies ialah sanggupkah ia menciptakan
atmosfer penelitian di kalangan guru-guru kita. Selama ini, seperti diamati
banyak guru malas melakukan penelitian, kendatipun mereka paham betapa
penelitian itu sebetulnya mudah, tidak sulit.
Terakhir, Anies sendiri
merupakan putra dari Prof Dr Aliyah Rasyid Baswedan, seorang guru besar UNY.
Wajar jika ia dianggap memiliki “DNA” pendidik pula. Barangkali, Anies kecil
terbiasa melihat ibundanya bekerja bolak-balik kampus dan rumah, mengajar dan
meneliti. Kini, jika ia diamanahkan oleh Jokowi sebagai Mendikdasmen, apakah
ia sanggup menularkan “DNA” pendidik kepada para guru di Tanah Air? Jawabannya
kita tunggu nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar