Demokrasi
Tanpa Hikmat-Kebijaksanaan
Yudi Latif ; Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
|
KOMPAS,
30 September 2014
KEBAIKAN itu tidak datang dari niat buruk. Politik memang bekerja atas
dasar kepentingan. Namun, dalam politik beradab, kepentingan itu harus
diletakkan sesuai dengan makna politik itu sendiri; penyelesaian masalah
melalui praktik-praktik etis deliberasi dan argumentasi demi kebajikan hidup
bersama.
Demokrasi Pancasila bekerja dalam kerangka etis cita kerakyatan, cita
permusyawaratan, dan cita hikmat-kebijaksanaan. Cita kerakyatan hendak
menghormati suara rakyat; dengan memberikan jalan bagi peranan dan pengaruh
besar rakyat dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Cita
permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang
dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, dengan mengakui ”kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”.
Cita hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis bahwa ”kerakyatan”
yang dianut bangsa Indonesia bukan kerakyatan yang mencari suara terbanyak
semata, melainkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
Orientasi etis (hikmat-kebijaksanaan) ini dihidupkan melalui daya
rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang menghadirkan
sintesis terbaik.
Rambu-rambu etis demokrasi Pancasila itu tidak diindahkan dalam
keputusan dramatis menyangkut Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Jebolnya
semangat kekeluargaan membuat pembelahan politik yang saling menafikan:
apakah bersama kami atau bersama mereka; tanpa menyisakan ruang bagi
kemungkinan sintesis terbaik.
Dalam semangat saling menafikan, yang pertama kali dimatikan adalah
penalaran. Di negara demokratis di dunia, pilkada bisa dilakukan langsung
atau tidak langsung. Keduanya sama-sama demokratisnya meski kecenderungan
global kian mengarah ke pilkada langsung. Yang harus dilakukan adalah
memahami secara baik prinsip-prinsip penerapan kedua model pemilihan itu
serta plus-minus penerapan kedua model pilkada tersebut dalam pengalaman
Indonesia.
Di kebanyakan negara Eropa, pilkada dilakukan tidak langsung. Dengan
ketentuan, partai pemenang diberikan kesempatan untuk membentuk pemerintahan.
Penghormatan kepada partai pemenang ini penting karena mencerminkan arus
kehendak di akar rumput. Apabila partai pemenang tidak berhasil membentuk
pemerintahan, barulah partai pemenang kedua diberi kesempatan, dan seterusnya
berdasarkan urutan.
Di belahan dunia lain, beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada,
Jepang, dan Filipina, melakukan pilkada langsung. Negara dengan tingkat
pluralitas masyarakat yang tinggi, di luar negara komunis (bekas komunis),
cenderung ke pilkada langsung.
Yang harus dilakukan Indonesia adalah memilih sistem yang sesuai dan
efektif dalam konteks sosiokultural bangsa ini. Harus ditekankan bahwa
Pancasila tidak memihak pilkada langsung atau tak langsung. Kepedulian
Pancasila hanya ingin memastikan sistem apa pun harus menghasilkan
pemerintahan yang menghormati daulat rakyat dengan menjadikan warga sebagai
subyek berdaulat, bukan obyek tindasan dan manipulasi tirani oligarki
penguasa atau pemodal.
Indonesia punya pengalaman menerapkan pilkada tidak langsung dan
langsung. Keduanya tidak berujung pada penghormatan daulat rakyat. Dalam sistem
pertama, aspirasi rakyat dibajak oligarki elite partai; kedua, dibajak
oligarki pemodal. Kita harus mengevaluasi sumber-sumber distortif dari kedua
sistem itu dan menemukan sistem mana yang lebih cocok diterapkan dengan
segala perbaikannya.
Menerapkan pilkada tidak langsung mengandaikan bahwa anggota-anggota
Dewan adalah orang-orang dengan moralitas dan akuntabilitas publik yang bisa
diandalkan sehingga bisa memilih pemimpin harapan publik. Apakah prasyarat
itu bisa dipenuhi DPRD kita yang merupakan produk biaya politik yang mahal?
Dalam pilkada tak langsung, konvensinya adalah pemberian kesempatan kepada
partai pemenang untuk membentuk pemerintahan. Masalahnya, dalam sistem
multipartai yang begitu kompleks, pembentukan koalisi selalu rumit dan tidak ada
jaminan partai pemenang bisa mudah meraih dukungan mayoritas. Sistem ini juga
mempersempit akses masuk kandidat-kandidat alternatif. Dengan demikian,
gelombang aspirasi rakyat mudah terdistorsi oleh persekongkolan kepentingan
elitis.
Menerapkan pilkada langsung menggelembungkan biaya politik, baik untuk
penyelenggaraan maupun kampanye. Situasi inilah yang menjadi pintu masuk bagi
korupsi dan penetrasi pemodal dalam penguasaan sumber daya di daerah. Sistem
ini juga rawan bagi manipulasi politik identitas di akar rumput. Namun,
sistem ini lebih membuka ruang partisipasi dan dapat menghindari pembajakan
aspirasi rakyat oleh persekongkolan elite partai. Sistem ini juga menjadi
solusi atas kesulitan partai pemenang membentuk pemerintahan dalam sistem
multipartai yang kompleks.
Oleh karena itu, sistem pilkada langsung bisa menjadi pilihan saat ini,
dengan sejumlah perbaikan yang bisa mengatasi mahalnya biaya politik dan
politisasi identitas. Proposal perbaikan ini sesungguhnya telah diajukan
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sayang proposal
ini setengah hati; terkesan sebagai usaha menohok dengan cara menghindar.
Sebagai presiden, SBY semestinya sudah harus memasukkan proposal perbaikan
ini dalam RUU yang diajukan pemerintah. Partainya juga bisa beraliansi dengan
kekuatan pro pilkada langsung sebagai batu lompatan menuju proposal
perbaikan. Mengetahui masalah tanpa berusaha memperjuangkannya adalah
pertanda kepengecutan.
Pilihan lainnya adalah mengombinasikan pilkada langsung dan tak langsung.
Pilkada langsung bisa diterapkan untuk kabupaten/kota. Pilkada tak langsung
untuk provinsi. Di luar itu, apabila kita datang dengan visi otonomi
asimetris, soal pilkada ini sesungguhnya bisa saja diserahkan kepada daerah
masing-masing untuk menentukan pilihan terbaik sesuai konteks lokal. Alhasil,
banyak pilihan yang bisa didiskusikan sebelum ketuk palu. Namun, dalam
politik tanpa hikmat-kebijaksanaan, penalaran sudah dimatikan oleh
kepentingan dan kesumat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar