RUU
Pilkada dan Bahaya Timokrasi
Luky Djani ; Peneliti
Institute for Strategic Initiatives
|
INDOPROGRESS, 23 September 2014
NAVIGASI dari
arah perjalanan (trajectory)
demokratisasi di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1999, menunjukkan
pasang surut secara bergantian. Ranah politik menjadi terbuka dan pemilu
berlangsung dengan lebih bebas, kompetitif dan relatif aman. Hanya saja
praktek kecurangan, manipulasi, dan intimidasi kerap terjadi di beberapa
tempat dan bermetamorfosis menyesuaikan dengan situasi dan sistem pemilu (Djani dan Vermonte, 2013).
Selama 16
tahun pasca Soeharto, pemilu telah menjelma menjadi ajang kontestasi yang
ketat, sengit, dan memakan tenaga serta biaya yang tidak sedikit. Kekurangan
dan penyimpangan pada pelaksanaan pemilu langsung, baik legislatif maupun
eksekutif nasional dan daerah, berlangsung semakin rumit dan masif. Sistem
pemilu menjadi fokus perhatian yang kerap dibongkar pasang; salah satunya, adalah
pemilihan kepala daerah yang dipandang masih belum ideal. Pemikiran untuk
mengevaluasi sistem pemilu langsung untuk Kepala Daerah, telah menjadi
diskursus beberapa tahun terakhir. Hanya saja, eskalasinya memuncak pada
kuartal ketiga tahun 2014, pasca dilangsungkannya pemilihan Presiden.
Perdebatan memuncak menjelang penetapan RUU Pilkada dipenghujung masa bakti
DPR periode 2009-2014. Blok mayoritas di DPR (dan juga pemerintah), mengusung
gagasan pemilihan Walikota dan Bupati dikembalikan ke tangan DPRD. Sontak
penolakan datang dari partai-partai yang berkoalisi mengusung Jokowi-JK pada
pilpres lalu dan juga organisasi non pemerintah.
Beragam alasan
dikemukakan oleh kedua kubu. Inti perdebatan pada efek demokratisasi dari
pemiihan langsung jika dibandingkan mekanisme tidak lagsung, terpasungnya hak
politik warga, efisiensi biaya pemilukada, potensi konflik pasca pemungutan
dan perhitungan suara, dan banyaknya kepala daerah yang terpilih secara
langsung ternyata terlibat dalam skandal korupsi. Di tengah meruncingnya
perdebatan ‘untung-rugi’nya pemilihan langsung dan tidak langsung, ada usulan
‘jalan tengah’ seperti yang diutarakan oleh Miko Kamal dengan ‘model
Jakarta’nya.
Dalam
pandangan penulis, sistem pemilu apapun mempunyai aspek positif dan negatif. Sistem
perwakilan (tidak langsung) di Eropa Barat, terbukti berfungsi baik dan
mendatangkan kesejahteraan sosial. Sistem langsung dalam pemilihan kepala
daerah di beberapa daerah di Brazil, Uruguay, Venezuela pun berfungsi tak
kalah menyakinkan jika disandingkan dengan praktek di Eropa Barat. Di
Indonesia sendiri, pemilihan tidak langsung dan langsung memiliki segudang
kelemahan, namun juga menghasilkan ‘champion’ walau harus diakui mereka ini
minoritas dan anomali.
Pendalaman Demokrasi Oligarki
Krisis moneter
tahun 1998 membawa dampak signifikan terhadap para konglomerat dan penguasa
(birokrasi kapitalis/kabir), dimana penguasaan atau dominasi ekonomi mereka
(selanjutnya penulis menyebutnya sebagai oligarki) terganggu akibat perubahan
struktural sosio-ekonomi dan politik. Akibatnya, para oligarki harus
mengonsolidasikan aset ekonomi dan menyesuaikan diri dengan sistem politik
yang baru. Agar survive dari badai krismon, para oligarki harus mencari
aliansi dengan penguasa politik baru (pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid
dan Megawati) demi melindungi asset ekonomi dan kepentingan bisnis mereka (Chua, 2009; Robison dan Hadiz, 2004).
Sebagian konglomerat mendapatkan ‘subsidi’ Negara dalam bentuk Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), sehingga asset dan bisnis mereka dapat
diselamatkan.
Ilustrasi di
atas menggambarkan kemampuan para oligarki dalam mengamankan kepentingan
bisnis dan asset ekonomi mereka dengan cara menyesuaikan diri dalam sistem
politik pasca Soeharto. Walau awalnya para konglomerat ini merasa terancam
dan gamang dengan rule of the game
demokrasi, tetapi begitu mereka memahami logika dari ‘permainan’ politik,
maka jalan yang ditempuh adalah beradaptasi dengan situasi tersebut (Chua, 2009). Bahkan, beberapa taipan
kemudian terlibat aktif dalam politik bahkan menjadi pengurus partai politik
atau dinominasikan sebagai kandidat.
Kecenderungan
demokrasi diambil alih oleh para oligarki telah dikemukakan oleh beberapa
ilmuwan politik (Hadiz, 2010; Winters,
2011). Hal ini, salah satunya, diakibatkan, menurut Olle Tornquist
(2006), bahwa aktor pro-demokrasi Indonesia adalah demokrat mengambang karena
tidak memiliki pijakan fondasi yang kuat meliputi agenda dan isu, basis
gerakan dan sekutu politik. Kristian Stokke and Olle Tornquist mengatakan “those with power tend to dominant and
manipulate democratic institutions while those who are marginalized have
insufficient power to use” (Stokke
and Tornquist, 2013). Secara menyakinkan Jeffrey Winters mengatakan “extreme wealth has a profound influence
on the capacity of oligarchs to defend and advance their core interests….
significantly more versatile and potent than formal or procedural power
resources such as equal voting rights” (Winters 2011: xiii&18). Singkatnya, dengan kekuatan
finansialnya oligarki mampu menguasai ranah dan posisi politik formal.
Tak dapat
dipungkiri demokrasi Indonesia telah bertransformasi menjadi oligarchy
democracy. Para oligarki menggunakan politik elektoral untuk mendapatkan
akses atas sumberdaya ekonomi dan proteksi politik. Keterlibatan para
oligarki dalam pemilu merupakan manifestasi dari ‘direct rule’ dengan menguasai jabatan publik atau ‘indirect rule’ dimana oligarki
menjalin hubungan simbiosis dengan aparatus negara atau mempengaruhi mereka (Winters, 2011: 22-3). Akan tetapi, di
tengah pesimisme akan masa depan demokratisasi, pemilu 2014 dan juga beberapa
pemilihan kepala daerah memberi sinyal akan keterbatasan dominasi oligarki di
ranah politik.
Perubahan
politik – pemilu multipartai dan desentralisasi – membuka peluang kontestasi
elektoral secara luas. Berbeda dengan zaman Orde Baru (Orba) dimana para
oligarki cukup menjaga loyalitas kepada rezim berkuasa, pada kondisi pemilu
yang kompetitif mengubah karakter dan strategi oligarki dalam menjalin relasi
dengan kekuasaan. Agar tetap ‘berkuasa’, baik secara direct maupun indirect,
aturan main pemilu berlaku umum: kontestan wajib mengumpulkan suara pemilih
sebanyak mungkin. Hal ini membuat oligarki tidak bisa hanya mengandalkan
pendekatan klientelistik, intimidasi atau bahkan jual-beli suara semata,
tetapi harus menjalin ‘kerjasama’ dengan kelompok warga atau masyarakat kelas
bawah dan gerakan sosial (Manor, 2013;
Tornquist, 2013).
Tak ayal lagi
beberapa oligarki mengusung agenda atau isu populis demi meraih dukungan konstituen.
Pengalaman di Thailand menunjukkan, kondisi dimana kekuatan politik oligarki
relatif sama kuat sehingga memaksa kelompok Thaksin mengusung program populis
dan berkolaborasi dengan kelas sosial tertentu (Hewison and Kitilangrap, 2009). Begitu pun di India, dimana elit
dominan harus mengadopsi isu kampanye populis demi mendapatkan dukungan
pemilih kelas bawah (Manor, 2013).
Ini menandakan, para oligarki, walaupun memiliki sumberdaya finansial,
diharuskan merancang program kampanye inovatif, termasuk mengusung kebijakan
populis agar memperbesar dukungan politik dan perolehan suara (Holmes 1993: 8&46). Agenda
populisme ini membuka ruang negosiasi antara oligarki dengan masyarakat kelas
bawah dan civil society serta
mengusung agenda dan kebijakan perubahan radikal.
Kondisi serupa
juga terjadi di Indonesia. Kontestasi pemilu dan pemilukada membuat elit
politik mulai melirik agenda populis. Pemaparan dari Pratikno dan Lay (2013),
dengan mengambil studi kasus kota Solo, jelas memperlihatkan kemungkinan terjadinya
penguatan dan pendalaman demokrasi ke arah subtansial dan partisipatif. Pada
pemilu Presiden 2014, kondisi ini berlanjut dimana kedua kubu menjalin
‘kerjasama’ dengan kelompok masyarakat dan gerakan sosial demi mendapatkan
dukungan suara. Prabowo membuka dialog dengan kelompok tani, bahkan ia
mengambil alih kepemimpinan HKTI. Prabowo juga mendekati serikat buruh yang
berbasis di Bekasi (FSPMI). Serikat buruh metal ini secara terbuka
mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo-Hatta saat peringatan Hari Buruh (May day) di Gelora Bung Karno, yang
dihadiri puluhan ribu anggota serikat buruh (Tjandra, 2014). Pasangan Jokowi-JK pun menjalin hubungan dengan
kelompok civil society dan ormas progresif yang membentuk
organisasi-organisasi relawan, seperti di antaranya, Bara-JP, Projo dan
Seknas Jokowi. Alhasil, kedua kubu mengusung serangkaian agenda populis
seperti reforma agrarian (land reform),
subsidi untuk petani dan nelayan, menaikkan kesejahteraan dan kepastian
ketenagakerjaan, pembukaan sawah dan pembangunan infrastuktur irigasi,
program pemberdayaan desa, hingga pemenuhan kebutuhan pendidikan dan
kesehatan.
Realita ini
menyadarkan beberapa oligarki bahwa politik elektoral secara langsung membuat
kekuatan finansial mereka tidak menjamin kemenangan pemilu. Para oligarki
harus membuka ruang negosiasi dan mengadopsi agenda-agenda populis yang
mungkin dapat bertolak belakang atau minimal meredam kepentingan ekonomi
mereka. Tambahan lagi, seorang kandidat yang diusung oleh para oligarki dapat
berbalik badan dan menantang kelompok elit ini karena memperoleh legitimasi
dukungan dari pemilih. Kasus Jokowi, Basuki TP, Risma dan kepala daerah lain
yang dianggap progresif adalah contoh konkrit hadirnya pemimpin yang
memperoleh legitimasi politik dari public dibandingkan merasa berhutang kepada para oligarki.
Tidak
mengherankan jika kemudian para oligarki ingin mengubah kembali pemilihan
kepala daerah di tangan DPRD. Dengan mekanisme tidak langsung, para oligarki
dapat ‘menyaring’ calon yang loyal ataupun menunjuk salah seorang dari klan
oligarki. Lebih jauh, pemilihan melalui DPRD membuat kepala daerah terpilih
tidak memiliki legitimasi dukungan suara pemilih melainkan hutang budi kepada
partai politik.
Karenanya,
benturan kepentingan antara pendukung pemilu ‘langsung dan tidak langsung’
sebaiknya dipahami, tidak dari aspek mekanistik sistem pemilu, implikasinya
terhadap demokratisasi atau ekses negatif yang ditimbulkan, tetapi dalam
konteks pergulatan (struggle) untuk
mendominasi ranah publik dan sumberdaya ekonomi. Meminjam kalimat Gramsci
bahwa pergulatan ini adalah manifestasi “a
dialectical understanding of the temporal pattern of contested hegemony”
(Gramsci 1971: 178). Perdebatan
tentang pemilihan kepala daerah langsung atau melalui DPRD, tidak bisa hanya
dipandang akibat dari gonjang ganjing pemilu Presiden 2014, tetapi merupakan
kelanjutan proses yang membentuk dan terbentuk (shape and reshape) akibat perubahan struktural sebelumnya.
Episode 2014, sejatinya merupakan kelanjutan dari reposisi pasca krisis moneter
(krismon) 1998. Upaya untuk kembali mendominasi ranah politik dan ekonomi
oleh oligarki, dikemas dalam gagasan mengembalikan pemilihan kepala daerah
melalui DPRD. Tujuannya agar proses politik dapat dikontrol oleh oligarki
(seperti pada masa Orde Baru). Model pemerintahan di tangan segelintir orang
kaya atau oligarki disebut sebagai Timokrasi.
Bahaya Timocracy
Jika rencana
pemilihan kepala daerah (walikota dan bupati) kembali di tangan DPRD, maka
kita menghadapi masa surut demokratisasi. Pencapaian mendorong agenda-agenda
publik diawal reformasi, menurut Arief Budiman (2001), lebih dikarenakan
melemahnya negara, juga para oligarki, dikarenakan mereka disibukkan dengan
mengamankan asset dan jaringan bisnis. Kesibukan para oligarki menata ulang
jaringan politik dan bisnis membuka ruang bagi masyarakat sipil dalam menekan
dan mendorong perubahan. Akan tetapi, sewaktu rekonsolidasi kekuasaan dan
dominasi atas (lembaga) negara kembali dalam kontrol oligarki, tekanan dari
publik, terutama dari CSOs, menjadi kurang dampaknya. Rampungnya konsolidasi
kelompok politik dan bisnis berimplikasi pada terbatasnya ruang politik (political space) bagi masyarakat
sipil.
Jika pemilihan
kepala daerah melalui lembaga perwakilan daerah disahkan, maka konsolidasi
kekuasaan para oligarki akan semakin menguat dan mengakar. Mereka akan
leluasa membangun dan memperluas ‘kerajaannya’ melalui penguasaan ranah
politik (jabatan publik), sehingga menjamin akses dan alokasi sumberdaya
ekonomi atau sekedar mencari rente dari sumberdaya publik. Bergemingnya
pengaruh dan dominasi oligarki pada ranah politik dan sosio-ekonomi,
mengindikasikan surut ataupun kemunduran dalam penataan struktur politik dan
ekonomi secara lebih adil dan merata.
Hal ini juga
menunjukkan bahwa agenda perubaha yang diusung civil society, tidak membidik dan menyentuh fondasi oligarki (Robison dan Hadiz, 2004; Winters, 2011).
Perubahan yang terjadi tidak melumpuhkan kekuasaan politik dan kekuatan
ekonomi mereka sehingga kedua hal tersebut tetap dalam genggaman mereka.
Kekuasaan menjadi predatoris karena tetap saja menjarah sumberdaya (ekonomi),
memanipulasi dana publik untuk kepentingan sempit. Sudah saatnya fokus dari
agenda perubahan yang diusung kelompok civil
society ditujukan untuk merombak pilar para oligarki: partai politik dan
monopoli sumberdaya ekonomi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar