Senin, 29 September 2014

Profesi Hukum Indonesia

Profesi Hukum Indonesia

Melli Darsa  ;   Pendiri Law Firm MDC; Anggota Peradi;
Dewan Kehormatan HKHPM; Ketua Umum Iluni FHUI; dan Pengajar di FHUI
KOMPAS,  27 September 2014

                                                                                                                       


DANIEL S Lev adalah profesor dari University of Washington, Amerika Serikat. Meninggal tahun 2006, sampai kini ia masih dianggap sebagai pakar ”Indonesianis” paling otoritatif tentang politik dan profesi hukum (lawyer) di Indonesia. Karyanya selama 30 tahun banyak memengaruhi pemahaman terkait politik hukum Indonesia, termasuk peran civil society. Ia juga banyak mengkaji tentang peran lawyer mendorong perubahan sosial politik dan kebijakan hukum.
Rutin datang ke Indonesia dan fasih berbahasa Indonesia, banyak tokoh hukum dan politik berutang budi padanya. Ia memotivasi dan menginspirasi banyak advokat pejuang hak asasi manusia (HAM), pekerja bantuan hukum, akademisi hukum, bahkan juga saya sebagai seorang lawyer korporat. Semua yang beruntung mengenalnya menganggapnya pembimbing, mentor, dan sahabat.

Dalam tulisannya, ”Between State and Society: Professional Lawyers and Reform in Indonesia”, Lev membahas perjalanan kaum profesi hukum Indonesia sejak tahun 1920 sampai terbitnya Undang-Undang Advokat 2003. Menurut dia, lawyer atau penyedia jasa hukum di Indonesia bukan hanya terdiri dari advokat, melainkan juga mediator informal, pokrol bambu, notaris, dan pekerja bantuan hukum. Profesi lawyer terpecah antara lain karena ketiadaan standardisasi uji profesi sampai masa UU Advokat 2003.

Sejak UU Penanaman Modal Asing tahun 1967, banyak lawyer memilih fokus pada jasa konsultasi dan negosiasi kontrak untuk kepentingan korporasi asing. Kelompok lawyer ini juga dijuluki ”konsultan hukum”, lebih karena tidak ada kata Indonesia yang setara dengan ”counsellor” atau ”solicitor”. Umumnya berkantor di kantor megah dan sukses secara finansial, Lev mencatat bahwa para konsultan hukum umumnya tidak aktif dalam masalah state and society. Lev menduga kemungkinan mereka merasa berutang budi pada rezim Orde Baru sehingga enggan bertentangan dengan pemerintah.

Adalah advokat/pejuang HAM yang akhirnya lebih banyak perjuangkan transparansi, hak politik dan HAM sebagai dasar lahirnya Indonesia sebagai demokrasi sesungguhnya menyusul krisis finansial Asia pada akhir 1990-an. Lev juga mengulas perjuangan lawyer membentuk ”wadah tunggal” (singlebar) untuk memperjuangkan ”independensi” para lawyer melalui organisasi profesi yang mandiri.

Sejak kepergiannya, terasa kekosongan pencerahan melalui figur atau literatur sejenis. Menurut penulis, belum ada akademisi Indonesianis dengan kualitas setara ataupun se-prolifik Lev. Seandainya Lev ada, ia akan telaah statistik meningkatnya jumlah fakultas hukum menjadi total 367 dan meningkatnya lulusan sarjana tingkat S-1 sampai S-3 di dalam negeri. Masalah ”mafia hukum” akan lebih gamblang dijabarkan. Lev juga pasti menelaah pengaruh masuknya lawyer di yudikatif, legislatif, dan eksekutif bagi kelanjutan proses reformasi hukum.

RUU Advokat

Namun, bagaimana pendapat Lev tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat yang hendak digolkan menjadi UU sebelum berakhirnya DPR 2009-2014? Bagi penulis, RUU Advokat tidak reformis dan bernuansa politik. Tujuan utamanya melegitimasi organisasi profesi selain Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan lawyer di dalamnya sebagai advokat berdasarkan undang-undang (Multi Bar). Selain itu, kemandirian lawyer hendak dikompromikan dengan Dewan Advokat Nasional yang proses pemilihannya melibatkan presiden dan DPR.
UU Advokat 2003 memang harus diubah karena paradigmanya terbelakang dan tidak mengantisipasi globalisasi. Peradi memang perlu diperbaiki tata-kelolanya ataupun standar kerjanya. Namun, tidak berarti UU Advokat harus diubah tergesa-gesa, apalagi dengan konsep RUU Advokat yang kini ada.

Paling disayangkan adalah RUU Advokat buta pada realitas bahwa profesi lawyer Indonesia sudah bertransformasi menjadi suatu industri dan bisnis. Secara finansial dan praktis, profesi lawyer menjadi bagian dari industri jasa global, tetapi tanpa suatu rezim pengaturan yang mengawasinya.

RUU Advokat tetap mempertahankan ketentuan larangan praktik bagi advokat asing dan kantornya untuk beroperasi di Indonesia. RUU menutup mata pada fakta telah beroperasinya firma-firma hukum luar negeri secara terselubung. Artinya, RUU Advokat gagal untuk mengatasi ”penyelundupan” firma hukum asing dalam industri jasa hukum Indonesia. Ia juga tidak memberi landasan bagi pemerintah untuk menetapkan kewajiban seperti pajak atau pengembangan tenaga Advokat Indonesia, seperti layaknya yang berlaku bagi setiap usaha asing yang ”masuk” ke wilayah Indonesia. Padahal, di Tiongkok, Vietnam, bahkan Myanmar sekalipun, itu diatur.

RUU Advokat bahkan tidak mengatur bentuk usaha lawyer ataupun syarat minimal modal atau kualifikasi bagi pendiri dan pimpinan kantor advokat. Karena RUU didukung pemerintah, berarti pemerintah memang tidak peduli pentingnya kompetisi yang sehat (level playing field) antara kantor advokat dan konsultan hukum modal nasional dengan kantor yang didukung firma hukum global.

Mungkinkah Lev, jika masih hidup, akan menulis tentang tantangan globalisasi dan korupsi bagi kaum lawyer Indonesia? Mungkin dengan demikian, khalayak ramai dan juga para lawyer yang duduk di eksekutif dan legislatif baru terbuka matanya melihat keterbelakangan regulasi lawyer di Indonesia, khususnya UU Advokat 2003 ataupun konsep RUU Advokat yang tengah diajukan sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar