Profesi
Hukum Indonesia
Melli Darsa ; Pendiri Law Firm MDC; Anggota Peradi;
Dewan
Kehormatan HKHPM; Ketua Umum Iluni FHUI; dan Pengajar di FHUI
|
KOMPAS,
27 September 2014
DANIEL S
Lev adalah profesor dari University of Washington, Amerika Serikat. Meninggal
tahun 2006, sampai kini ia masih dianggap sebagai pakar ”Indonesianis” paling
otoritatif tentang politik dan profesi hukum (lawyer) di Indonesia. Karyanya selama 30 tahun banyak memengaruhi
pemahaman terkait politik hukum Indonesia, termasuk peran civil society. Ia
juga banyak mengkaji tentang peran lawyer mendorong perubahan sosial politik
dan kebijakan hukum.
Rutin
datang ke Indonesia dan fasih berbahasa Indonesia, banyak tokoh hukum dan
politik berutang budi padanya. Ia memotivasi dan menginspirasi banyak advokat
pejuang hak asasi manusia (HAM), pekerja bantuan hukum, akademisi hukum,
bahkan juga saya sebagai seorang lawyer
korporat. Semua yang beruntung mengenalnya menganggapnya pembimbing, mentor,
dan sahabat.
Dalam
tulisannya, ”Between State and Society:
Professional Lawyers and Reform in Indonesia”, Lev membahas perjalanan
kaum profesi hukum Indonesia sejak tahun 1920 sampai terbitnya Undang-Undang
Advokat 2003. Menurut dia, lawyer atau penyedia jasa hukum di Indonesia bukan
hanya terdiri dari advokat, melainkan juga mediator informal, pokrol bambu,
notaris, dan pekerja bantuan hukum. Profesi lawyer terpecah antara lain
karena ketiadaan standardisasi uji profesi sampai masa UU Advokat 2003.
Sejak UU
Penanaman Modal Asing tahun 1967, banyak lawyer memilih fokus pada jasa
konsultasi dan negosiasi kontrak untuk kepentingan korporasi asing. Kelompok
lawyer ini juga dijuluki ”konsultan hukum”, lebih karena tidak ada kata Indonesia
yang setara dengan ”counsellor” atau ”solicitor”. Umumnya berkantor di kantor
megah dan sukses secara finansial, Lev mencatat bahwa para konsultan hukum
umumnya tidak aktif dalam masalah state and society. Lev menduga kemungkinan
mereka merasa berutang budi pada rezim Orde Baru sehingga enggan bertentangan
dengan pemerintah.
Adalah
advokat/pejuang HAM yang akhirnya lebih banyak perjuangkan transparansi, hak
politik dan HAM sebagai dasar lahirnya Indonesia sebagai demokrasi
sesungguhnya menyusul krisis finansial Asia pada akhir 1990-an. Lev juga
mengulas perjuangan lawyer membentuk ”wadah tunggal” (singlebar) untuk memperjuangkan ”independensi” para lawyer
melalui organisasi profesi yang mandiri.
Sejak
kepergiannya, terasa kekosongan pencerahan melalui figur atau literatur
sejenis. Menurut penulis, belum ada akademisi Indonesianis dengan kualitas
setara ataupun se-prolifik Lev. Seandainya Lev ada, ia akan telaah statistik
meningkatnya jumlah fakultas hukum menjadi total 367 dan meningkatnya lulusan
sarjana tingkat S-1 sampai S-3 di dalam negeri. Masalah ”mafia hukum” akan
lebih gamblang dijabarkan. Lev juga pasti menelaah pengaruh masuknya lawyer
di yudikatif, legislatif, dan eksekutif bagi kelanjutan proses reformasi
hukum.
RUU Advokat
Namun,
bagaimana pendapat Lev tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat yang
hendak digolkan menjadi UU sebelum berakhirnya DPR 2009-2014? Bagi penulis,
RUU Advokat tidak reformis dan bernuansa politik. Tujuan utamanya
melegitimasi organisasi profesi selain Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)
dan lawyer di dalamnya sebagai advokat berdasarkan undang-undang (Multi Bar).
Selain itu, kemandirian lawyer hendak dikompromikan dengan Dewan Advokat
Nasional yang proses pemilihannya melibatkan presiden dan DPR.
UU
Advokat 2003 memang harus diubah karena paradigmanya terbelakang dan tidak
mengantisipasi globalisasi. Peradi memang perlu diperbaiki tata-kelolanya
ataupun standar kerjanya. Namun, tidak berarti UU Advokat harus diubah
tergesa-gesa, apalagi dengan konsep RUU Advokat yang kini ada.
Paling
disayangkan adalah RUU Advokat buta pada realitas bahwa profesi lawyer
Indonesia sudah bertransformasi menjadi suatu industri dan bisnis. Secara
finansial dan praktis, profesi lawyer menjadi bagian dari industri jasa
global, tetapi tanpa suatu rezim pengaturan yang mengawasinya.
RUU
Advokat tetap mempertahankan ketentuan larangan praktik bagi advokat asing
dan kantornya untuk beroperasi di Indonesia. RUU menutup mata pada fakta
telah beroperasinya firma-firma hukum luar negeri secara terselubung.
Artinya, RUU Advokat gagal untuk mengatasi ”penyelundupan” firma hukum asing
dalam industri jasa hukum Indonesia. Ia juga tidak memberi landasan bagi
pemerintah untuk menetapkan kewajiban seperti pajak atau pengembangan tenaga
Advokat Indonesia, seperti layaknya yang berlaku bagi setiap usaha asing yang
”masuk” ke wilayah Indonesia. Padahal, di Tiongkok, Vietnam, bahkan Myanmar
sekalipun, itu diatur.
RUU
Advokat bahkan tidak mengatur bentuk usaha lawyer ataupun syarat minimal
modal atau kualifikasi bagi pendiri dan pimpinan kantor advokat. Karena RUU
didukung pemerintah, berarti pemerintah memang tidak peduli pentingnya
kompetisi yang sehat (level playing
field) antara kantor advokat dan konsultan hukum modal nasional dengan
kantor yang didukung firma hukum global.
Mungkinkah
Lev, jika masih hidup, akan menulis tentang tantangan globalisasi dan korupsi
bagi kaum lawyer Indonesia? Mungkin dengan demikian, khalayak ramai dan juga
para lawyer yang duduk di eksekutif dan legislatif baru terbuka matanya
melihat keterbelakangan regulasi lawyer di Indonesia, khususnya UU Advokat
2003 ataupun konsep RUU Advokat yang tengah diajukan sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar