Kamis, 18 September 2014

Menolak RUU Pilkada Tak Langsung

Menolak RUU Pilkada Tak Langsung

Asrudin  ;   Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Grup
SINAR HARAPAN, 18 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tak langsung (dipilih DPRD) saat ini tengah dibahas Panitia Kerja DPR. Belum juga disahkan, RUU Pilkada ini pun langsung mendapat banyak sorotan.

Tidak hanya dari elite politik, kepala daerah, dan pengamat, tetapi juga dari publik. Pasalnya, sebelum Pilpres 2014, tak ada parpol yang ingin kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Namun, parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (pendukung pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 9 Juli 2014), yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional, ditambah Partai Demokrat, justru mendorong agar kepala daerah dipilih DPRD.

Sontak saja, para bupati dan wali kota yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menolak dengan tegas pilkada oleh DPRD.

Namun, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, menilai pelaksanaan pilkada yang telah berlangsung selama 10 tahun itu belakangan lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat. Menurutnya, demokrasi secara langsung membutuhkan biaya mahal.

Hanya melibatkan orang-orang berkocek tebal yang didukung para cukong. Dengan pelaksanaan pilkada tak langsung, Fadli meyakini hal ini akan menghemat anggaran negara. Selain itu, parpol Koalisi Merah Putih (KMP) juga meyakini pilkada tak langsung berpotensi menimbulkan konflik sosial di antara masyarakat.

Dalam kolom ini, penulis bermaksud memberikan catatan kritis atas argumentasi irasional Fadli Zon dan parpol yang tergabung dalam KMP. Catatan kritis pertama penulis adalah soal anggaran dan konflik sosial. Kedua, mengenai gagasan pilkada tak langsung yang menurut penulis bisa menghambat jalannya demokrasi di Indonesia.

Irasionalitas

Anggapan tentang pilkada langsung bisa memboroskan anggaran negara adalah penilaian yang irasional. Mengapa? Dalam studi ringkasnya, Dodi Ambardi (2014) memberikan jawaban yang sangat baik melalui tulisannya berjudul, “Benarkah Pilkada Mahal?”.

Dalam tulisannya itu, Dodi mencatat bahwa biaya penyelenggaraan sebuah pilkada sebesar Rp 25-50 miliar. Jika APBD DKI Jakarta sebesar Rp 72 triliun, proporsi biaya pilkada hanyalah 0,0007 persen. Untuk Gorontalo yang memiliki APBD terkecil pada level provinsi sebesar Rp 568 miliar (2010) akan membelanjakan APBD sebesar 0,04 persen untuk penyelenggaraan pilkada.

Persentase ini, Dodi mengatakan, tentunya jauh sangat kecil kalau kita menjumlahkan APBD selama lima tahun, sedangkan pilkadanya hanya sekali dalam lima tahun.

Jika persentasenya sekecil itu, dari mana datangnya anggapan bahwa biaya pilkada mahal? Tampaknya, para politikus itu mencampurkan antara biaya penyelenggaraan pilkada dengan pengeluaran kampanye masing-masing kandidat.

Biaya kampanye mahal itu berpokok pada kecenderungan kandidat untuk membeli suara pemilih, menukarnya dengan kaus, kalender, sajadah, mukena, perkakas dapur, dan tentu saja amplop.

Jadi, menurut Dodi, pilkada mahal itu sebenarnya masalah elite. Publik hanya memiliki kesempatan lima tahun sekali untuk mengontrol para kepala daerah. Kesempatan langka itu hendak dimatikan para politikus Senayan.

Padahal dengan pilkada langsung, publik telah menunjukkan kecerdasan politik dalam memilih pemimpinnya. Publik telah berhasil memilih atau melahirkan pemimpin berkualitas, seperti Gubernur DKI Jakarta Jokowi, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Wali Kota Surbaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, dan Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah.

Karena itu, dapat dikatakan, dengan menyebut pilkada langsung bisa memboroskan anggaran negara merupakan akal-akalan parpol. Parpol KMP mengusulkan pilkada tak langsung adalah karena ingin mencari sumber keuangan dari kandidat kepala daerah. Setelah kepala daerah terpilih, ia akan diperas dan APBD akan dibagi-bagi ke parpol yang mendukung kandidat tersebut.

Karena itu, tak heran jika Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kemudian mengatakan apabila pilkada ditentukan DPRD, kepala daerah akan sangat bergantung kepada anggota legislatif. Bahkan, Ahok dengan tegas mengatakan, kepala daerah akan menjadi lahan untuk diperas anggota DPRD.

Terkait ketakutan parpol KMP dengan adanya konflik sosial jika pilkada diadakan secara langsung juga merupakan argumen yang irasional.

Itu karena menurut data Kementerian Dalam Negeri, pada 2011 hanya terjadi delapan konflik sosial dari 155 penyelenggaraan pilkada. Sementara itu, pada 2012 hanya terdapat enam konflik dari 77 pilkada yang telah dilangsungkan.

Menghambat Demokrasi

Selain tentang irasionalnya alasan penghematan biaya dan konflik sosial, RUU Pilkada tak langsung mengandung cacat demokrasi. RUU tersebut sangat elitis dan mengabaikan keinginan mayoritas publik Indonesia.

Padahal, dalam temuan survei Lingkaran Survei Indonesia (5-7 September 2014), terdapat 81,25 persen yang menyatakan setuju bahwa kepala daerah harus tetap dipilih secara langsung. Hanya 10,71 persen yang menyetujui kepala daerah dipilih DPRD. Sementara itu, 4,91 persen menginginkan kepala daerah ditunjuk presiden.

Itu berarti, mayoritas publik menolak dengan tegas RUU Pilkada tak langsung. Jika mayoritas keinginan publik ini tetap dimentahkan RUU Pilkada, proses konsolidasi, yakni praktik-praktik demokrasi akan terhambat.

Georg Sorensen dalam bukunya yang berjudul Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World (1993) pernah mengingatkan, fase konsolidasi bisa dicapai jika ada kompetisi terbuka, partisipasi, serta kebebasan politik publik.

Tiadanya fase ini akan menghambat jalannya demokrasi, jalannya ideal politik publik. Untuk itu, Sorensen menyatakan, proses konsolidasi mengharuskan adanya partisipasi publik, terutama pada tingkat lokal (akar rumput). Ini akan membuat publik bisa menaksir dan mengontrol kinerja pemimpin yang menjadi pilihannya.

Mengingat pengesahan RUU Pilkada baru akan dilakukan pada 25 September 2014, penulis mengimbau publik dengan Apkasi, Apeksi,  dan parpol penentang pilkada dipilih DPRD (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura) bersatu dan konsisten untuk menolak RUU Pilkada tak langsung. Jika pun RUU Pilkada ini tetap disahkan, langkah judicial review di MK wajib dilakukan.

Dengan begitu demokrasi Indonesia tidak akan berjalan mundur. Publik pun tidak menjadi penonton pasif karena kepala daerah tetap dipilih secara langsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar