Melawan
Penguasa Hutan di Daerah
Yani Saloh ; Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim,
Sukarelawan The Climate Reality Project Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 27 September 2014
Mahkamah Konstitusi membuat keputusan bersejarah pada 16 Juni 2013.
Lembaga ini menerima permohonan uji materi Undang-Undang No 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan dua
komunitas masyarakat adat. Dalam putusan No. 35/PUU-X/2012, MK menegaskan
bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, bukan lagi hutan
negara.
Masyarakat adat di seluruh Indonesia menyambut gembira putusan MK
tersebut. Pada sisi lain, keputusan MK ini bakal mengurangi luas hutan
negara, yang saat ini 70 persen dikuasai oleh negara. Ini termasuk juga lahan
yang disewakan oleh Kementerian Kehutanan melalui izin konsensi kepada
perusahaan.
Pemerintah menyatakan bahwa hutan adat ditetapkan selama masyarakat
hukum adat yang dimaksud masih ada dan diakui keberadaannya, sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan diatur dalam undang-undang. Untuk itu, masyarakat
hukum adat harus ada dan terlibat dalam proses penetapan wilayah dan tata
batas desa. Ini merupakan langkah awal guna mendapatkan pengakuan.
Namun, yang perlu disigapi adalah langkah untuk menjalankan keputusan
MK, termasuk kejelasannya. Seberapa besar lahan hutan adat dapat diambil
alih? Apa yang menjadi hak masyarakat hukum adat, apakah hak atas
"pengelolaan" hutan adatnya atau "kepemilikan"? Apa
implikasinya bagi perusahaan yang sudah menerima izin dari pemerintah dan
bagaimana mencapai penyelesaian masalah agar terjadi konsensus?
Diperlukan sosialisasi dan pendampingan bagi masyarakat hukum adat
untuk mengajukan permohonan atas kawasan hutan adat. Pengukuhan atau
penghapusan masyarakat hukum adat harus ditetapkan melalui peraturan daerah,
termasuk pengukuhan peta hutan adat, untuk diintegrasikan ke dalam peta
nasional.
Saat ini, melalui Badan Informasi Geospasial (BIG), pemerintah berupaya
membuat one map policy agar tidak terjadi tumpang-tindih dalam pemberian izin
dan pengunaan lahan. Untuk itu, sinkronisasi penerbitan izin antara pusat dan
daerah sangatlah penting. Selain itu, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan
Hutan Adat sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 perlu
dipercepat.
Konflik tanah masyarakat adat kerap terjadi. Pada 31 Agustus 2014,
masyarakat adat Long Isun, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, menolak
beroperasinya perusahaan HPH PT Kemakmuran Berkah Timber (KBT). Buntut aksi
ini adalah penahanan terhadap tokoh pemuda Dayak Bahau yang dianggap
"melawan" keputusan pemerintah daerah. Bermodalkan SK Bupati Kutai
Barat No. 136.146.3/K.917/2011 tentang Penetapan dan Pengesahan Tata Batas di
13 Kampung, PT KBT melakukan penebangan hutan di wilayah adat. Padahal,
persoalan tata batas desa belum disepakati oleh masyarakat Long Isun.
Di mana-mana, bukan rahasia lagi, keinginan agar cepat kembali modal
membuat direksi kurang memperhitungkan dampak kerusakan hutan yang
menyebabkan bencana ekologis, sosial, dan ekonomi. Dampak tersebut juga yang
kurang dipahami sepenuhnya oleh pejabat ketika meloloskan izin bagi
perusahaan. Sangatlah penting mengubah cara berpikir di tataran individu, pejabat,
ataupun pelaku bisnis. Melindungi hutan yang tersisa akan menyelamatkan kita
dan generasi penerus dari dampak perubahan iklim yang lebih merugikan
manusia.
Sejak otonomi daerah digulirkan pada 2002, pemerintah daerah menjadi
pemeran utama. Tugas pemerintah daerah adalah meningkatkan kapasitas dan
sumber daya warganya melalui pemberian akses yang lebih baik terhadap
pendidikan dan kesehatan. Untuk itu, diperlukan sinergi dan koordinasi yang
kuat dan baik antara kebijakan di pusat dan di daerah.
Presiden Yudhoyono telah mengusung strategi pembangunan yang
pro-growth, pro-job, pro-poor, pro-environment, dengan menempatkan
pengelolaan lingkungan ke dalam pola pembangunan nasional. Untuk itu,
kebijakan di daerah perlu digawangi untuk mencegah rusaknya hutan dan
lingkungan.
Berdasarkan kajian London School
of Economics (2011), angka deforestasi di Indonesia meningkat ketika
terjadi pemekaran wilayah dan pemilihan kepala daerah, terutama di
wilayah-wilayah yang memiliki hutan tropis. Ditengarai, sektor perkebunan,
hutan, dan pertambangan menjadi sumber dana para politikus. Coba saja hitung
berapa biaya politik dari pemekaran wilayah dan 537 pemilihan kepala daerah
selama lima tahun ini.
Sebagai pemeran utama, kebijakan di daerah harus berorientasi pada
pembangunan yang pro-lingkungan dan pengentasan kemiskinan agar kerusakan
hutan dan lingkungan tidak bertambah parah. Pemerintah daerah harus lebih
memahami kebutuhan warga dan berorientasi untuk memajukan masyarakat.
Kiranya, dengan diakuinya hak atas hutan adat dan kejelasan akan hak
"apa" yang akan diperoleh, hal ini dapat membantu meningkatkan
kualitas hidup masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan. Langkah ini
juga membantu mengurangi kerusakan hutan dan lingkungan yang berkontribusi
terhadap emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar