Kelirumologi
Keadilan Substantif
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 27 September 2014
Ini masih
lanjutan soal kelirumologi yang saya tulis pekan lalu dari seminar bersama
Jaya Suprana. Saya bisa menyebut satu contoh lagi, betapa keliru memahami
satu istilah seringkali menimbulkan kegaduhan.
Pada 2009, MK
membatalkan satu hasil penetapan KPU tentang keanggotaan DPR/ DPRD karena
peraturan KPU yang mendasarinya batal. Kemudian, seorang komisioner KPU
menyatakan bahwa penetapannya tentang anggota DPR/ DPRD terpilih tetap sah karena
vonis MK berlaku ke depan (prospektif), tidak berlaku surut (retroaktif).
Terjadilah saling klaim antara parpol dan para caleg. Rupanya komisioner KPU
itu tak paham perbedaan arti ”batal” dan ”dibatalkan” sebagai istilah hukum.
Menurut hukum,
keputusan yang batal itu sifatnya extunc,
artinya konsekuensi dari peraturan/keputusan yang dinyatakan batal itu
dianggap tidak pernah ada. Ada pun jika pengadilan mengatakan ”membatalkan”
maka sifatnya ex-nunc. Artinya,
keberlakuan keputusan/peraturan yang dibatalkan itu berhenti sejak pengadilan
membatalkannya, sehingga akibat-akibat dan/atau manfaat peraturan/keputusan
sebelum dibatalkan dinyatakan sah. Ya, banyak kegaduhan karena kelirumologi
atau kekeliruan dalam memahami istilah-istilah hukum, termasuk kelirumologi
wartawan dalam membuat berita.
Di luar
istilah-istilah yang lebih teknis, kekeliruan acap terjadi juga pada masalah
yang cukup serius bahkan filosofis. Dalam sengketa pemilihan umum (pileg,
pilpres, dan pemilukada) di Mahkamah Konstitusi (MK) kerap muncul perebutan
kebenaran tafsir tentang ”keadilan substantif”. Misalnya pihak pemohon
mengatakan telah terjadi kecurangan yang dilakukan oleh termohon Komisi
Pemilihan Umum (KPU), karena membuat daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb)
di luar daftar pemilih tetap (DPT).
DPKTb yang dibuat
di luar perintah UU itu oleh pemohon dianggap sebagai pelanggaran terhadap
konstitusi karena ternyata banyak disalahgunakan, bahkan ditengarai ada
mobilisasi pemilih tambahan dengan memanfaatkan DPKTb. Maka itu, pemohon
meminta agar, demi keadilan dan tegaknya konstitusi, keputusan KPU tentang
hasil pemilu dibatalkan oleh MK. Sebaliknya, pihak termohon KPU menyatakan
bahwa justru pembuatan DPKTb diperlukan demi keadilan.
Alasannya,
banyak warga negara yang tidak bisa memilih karena tidak terdaftar di dalam
DPT, atau, karena sedang berada jauh dari tempat pemungutan suara di mana
dirinya terdaftar sebagai pemilih. Oleh sebab itu, demi keadilan, menjadi
tepat jika KPU membuat pengaturan tentang daftar pemilih tambahan atau DPKTb
itu sehingga hak konstitusional untuk memilih tidak terhalangi oleh persoalan
teknis-administratif. Di mana letak kelirumologi dalam kontroversi ini?
Ternyata kedua kubu yang punya argumen yang saling bertentangan itu justru
sama-sama berdalih ”demi keadilan”.
Yang satu
mengatakan bahwa keadilan itu harus dibangun dengan cara tidak membuat
peraturan DPKTb di luar DPT karena bisa mengacaukan dan bisa disalahgunakan,
seperti mobilisasi pemilih fiktif dan pemilih ganda. Sementara yang satunya
mengatakan bahwa justru ”demi keadilan” itulah KPU harus membuat peraturan
DPKTb yang membuka peluang bagi warga negara yang tidak terdaftar di DPT atau
sedang berada di tempat lain untuk tetap bisa menggunakan haknya untuk
memilih.
Persoalannya
kemudian merambah ke debat soal keadilan substantif. Yang satu mengatakan
bahwa demi keadilan substantif maka ketentuan yang ada di dalam dan menjadi
bunyi UU tak perlu disiasati dengan membuat peraturan ekstra, agar tak
membuka peluang bagi terjadinya kecurangan-kecurangan; sedangkan yang satunya
mengatakan bahwa demi keadilan substantif diperlukan peraturan ekstra guna
menampung mereka yang terhalang hak pilihnya karena tak tercantum di dalam
DPT.
Soalnya,
apakah dalam keadilan substantif itu penegakan hukum harus sama dengan bunyi
UU (apa pun isinya), ataukah boleh keluar dari bunyi UU yang isinya dirasa
tidak mampu memberi rasa keadilan? MK sendiri sudah lama mengampanyekan
dirinya sebagai lembaga yang bekerja untuk menegakkan keadilan substantif
(substantive justice) , bukan sekadar penegak keadilan prosedural (procedural
justice) .
Di dalam
istilah, keadilan substantif ini terkandung makna filosofis bahwa hakim tidak
harus dibelenggu oleh aturan-aturan formal-prosedural atau bunyi UU. Hakim
boleh membuat hukum sendiri di luar UU jika UU yang ada tidak memadai atau
tidak memberi rasa keadilan. Makna filosofis yang seperti ini bisa dipahami,
misalnya, dari pernyataan Bung Karno ketika pada 10 Juli 1945 menyatakan di
depan sidang BPUPKI bahwa prosedur formalitet harus dibuang ke tong sampah
jika tidak memberi manfaat.
Sikap MK
seperti dinyatakan dalam vonis sengketa Pilpres 2009, menegakkan keadilan
substantif ”boleh” keluar dari bunyi UU yang tidak adil, tetapi ”tidak harus”
selalu keluar dari ketentuan atau isi UU. Selama rasa keadilan masih bisa
ditemukan di dalam UU, pengadilan harus memberlakukan isi UU. Hakim, baru
boleh keluar dari isi UU jika setelah digali sedemikian rupa, rasa keadilan
itu tetap tidak dapat ditemukan di dalamnya.
Jadi,
penegakan keadilan substantif itu membuka peluang bagi hakim untuk membuat
vonis hukum sendiri di luar UU sesuai dengan rasa keadilan, sekaligus membuka
peluang untuk memberlakukan isi UU sepanjang bisa ditemukan darinya rasa
keadilan. Idealnya, keadilan substantif mempertemukan public common sense dengan pasal-pasal UU dan/atau dengan
keyakinan hakim dalam memutus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar