Minggu, 28 September 2014

Polemik Guru Matematika

                                        Polemik Guru Matematika

R Poppy Yaniawati  ;   Guru Besar Pendidikan Matematika,
Sekretaris Magister Pendidikan Matematika Universitas Pasundan
REPUBLIKA,  26 September 2014

                                                                                                                       


Polemik kasus pekerjaan rumah (PR) Matematika siswa kelas 2 SD di Semarang yang sedang ramai diperbincangkan menuai banyak pro dan kontra. Kasus guru menyalahkan hasil pekerjaan si anak oleh sejumlah pihak dianggap tidak tepat.

Kasus ini menjadi perhatian pemerhati media sosial, tak ayal mengundang pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk turut angkat bicara. Guru memberikan soal 4+4+4+4+4+4=...x...=... Humas Kemendikbud Ibnu Hamad di salah satu situs media sosial menyatakan, siswa berhak menjawab sesuai penalarannya yang dia rasa mendekati jawaban yang dimaksud.

"Nah dalam kasus itu, bisa saja si siswa memberikan jawaban 4x6 atau 6x4. Itu nggak salah karena dalam penalaran nggak harus memberikan satu jawaban," kata Ibnu. Dia menambahkan, seharusnya guru tidak memaksakan hasil kerja anak seperti yang dia inginkan. "Seharusnya tidak terjadi itu, tidak musim lagi guru yang tidak sesuai dengan pikirannya lalu dianggap salah. Itu kan nalar dia, harusnya penalarannya dihargai gurunya, selama masih masuk nalar boleh dong, kecuali hasilnya menjadi kurang," kata Ibnu Hamad.

Menurut penulis, guru tersebut tidak mutlak bersalah karena dalam matematika --sebagai ilmu dasar-- ada hal yang tidak bisa dikompromikan. Memang dalam soal matematika dikenal open ended, yakni soal yang memiliki lebih dari satu cara penyelesaian ataupun jawaban.

Namun, tidak tepat digunakan dalam memahami konsep pada kasus soal yang menjadi polemik tersebut. Analog sederhana dalam konteks soal itu, dokter memberikan resep obat 3x1, itu berbeda makna dengan 1x3 walau sama-sama 3 jawabannya.

Contoh lain lagi, dalam bentuk aljabar 3Y=3xY = Y+Y+Y, apakah bisa diubah dengan Yx3=Y3=3+3+... sebanyak Y, Y di sini sangat tidak jelas.

Perlu dimaklumi pada kasus itu si guru sedang menjelaskan suatu konsep yang tidak bisa dikompromikan, karena bila itu ditolerir maka akan berimbas sangat luas, dan bahkan bisa membahayakan kehidupan si anak di kemudian hari.Misalnya dengan memakan obat 3 kali sekaligus sebagaimana analog di atas.

Kalaupun ada yang mengatakan suatu konsep itu bergantung pada kesepakatan dengan argumen yang tepat, memang bisa saja dilakukan. Tetapi, yang dipakai si guru itu kesepakatan dan konvensi yang sudah berlaku, yakni a+a+a... sebanyak n adalah sama dengan nxa, dan bila jawabannya axn, itu salah.

Kalaupun selanjutnya ternyata nxa=axn, ini akibat dari sifat aljabar bilangan real, yaitu berlaku sifat komutatif. Kesepakatan ini sudah digunakan juga oleh banyak bidang ilmu lainnya, jika kita mau mengubah kesepakatan itu sah-sah saja, tetapi harus ada argumentasi yang kuat dan diketahui oleh khalayak banyak sehingga menjadi kesepakatan yang baru agar dapat diketahui guru. Jadi, tidak sekadar membenarkan pendapat umum yang bersifat sporadis karena akan berimplikasi pada konvensi lain yang berhubungan dan bersifat turunannya.

Berkaitan dengan itu, seyogianya semua pihak yang berkompeten harus mulai menghormati kedudukan guru sebagai profesi. Hal yang wajar bila masyarakat mengemukakan sesuatu yang menurut mereka "aneh" dan tidak masuk akal, tetapi pihak otoritas yang seyogianya memahami terlebih dahulu duduk soal lebih baik, bisa menjelaskan dengan proporsional, bukan malahan menyalahkan bahkan menghukum guru dengan pernyataan yang hanya sekadar memuaskan publik semata.

Memang tidak menutup mata, masih ada guru miskonsepsi dalam pembelajaran matematika. Untuk soal open ended, misalnya, di kelas 1 SD, guru meminta peserta didik untuk menggambar bangun segitiga dan segiempat. Peserta didik menjawab dengan menggambar bangun rumah yang atapnya berbentuk segitiga dan jam dinding yang berbentuk segiempat.

Lantas guru menyalahkan jawaban itu karena yang diminta hanya membuat bangun segitiga dan segiempat saja, tanpa harus ada gambar rumah dan jam dinding. Contoh itu menandakan guru belum paham konsep karena open ended memberi ruang bagi peserta didik berekspresi selama substansinya tidak menyimpang.

Selain itu, kompetensi pedagogik guru yang dipadankan dengan kompetensi kepribadian harus benar-benar dijalankan. Penulis tidak tahu persis kejadian itu, tapi alangkah bijaksananya bila guru dalam kasus itu juga dapat menjelaskan kepada siswanya yang baru kelas 2 SD itu tentang berpikir konsep yang benar. Artinya, tidak semata langsung memberi tinta merah dan menyalahkan karena tinta merah tanpa jawaban yang sepadan akan membentuk kecemasan permanen kepada diri siswa dan sekaligus memvonis matematika sebagai pelajaran yang sulit dan menakutkan.

Ada baiknya guru memberi nilai baik (70-100) atau di atas KKM untuk siswa yang menjawab benar, tetapi tidak memberi nilai jelek apalagi dengan tinta merah jika jawaban siswa belum benar. Cukup memberikan komentar agar tahu letak kesalahannya.

Pembelajaran matematika harus diubah dari pendekatan punishment menjadi reward dan enjoy, sebagaimana dijalankan di Amerika Serikat, Finlandia, Jepang, Australia, dan lainnya. Sekecil apa pun hasil kerja baik siswa harus selalu mendapat reward.

Selain itu, matematika untuk tingkat SD berbeda dengan tingkat lanjut. Pemberian soal sebaiknya banyak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari karena siswa SD masih pada tahap berpikir konkret. Dengan demikian, pembelajaran matematika, sebagai ilmu dasar, yang benar secara masif, bukan hanya sekadar seremoni dan mengejar target bisa menjawab soal ujian serta mendapat penghargaan olimpiade semata yang kerap menjadi beban tersendiri bagi para guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar