Tujuan
Universitas
Daoed Joesoef ; Alumnus Université Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS,
30 September 2014
Pikiran memindahkan pendidikan tinggi dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan ke Kementerian Riset dan Teknologi adalah demi terwujudnya
integrasi yang lebih baik antara fungsi keilmuan pembelajaran universiter
dengan riset dan teknologi industrial.
Di Indonesia sebenarnya sudah ada beberapa lembaga ilmiah yang
menangani riset yang diharapkan itu atau membuhul kontrak kerja dengan
komunitas bisnis, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), atau lembaga penelitian lain.
Bukankah di lembaga-lembaga tersebut ada ”guru besar riset” yang membuat
riset tidak dalam rangka perkuliahan (pendidikan), tetapi demi pembangunan
dunia bisnis dan industri.
Kalau bersamaan dengan hal itu, sesuai dengan Tri Dharma Perguruan
Tinggi dosen dituntut menjadi ujung tombak di bidang riset, tentu bisa saja
tanpa harus memindahkannya ke jajaran Kemristek. Hal ini wajar mengingat
universitas/ institut merupakan kumpulan dari the relatively best brains of the country.
Riset
sudah membudaya
Adapun riset, sejatinya, sudah ada sejak awal pembentukan perguruan
tinggi, sudah membudaya dan bukan hal yang baru lagi. Bagi dosen,
melaksanakan riset merupakan satu panggilan karena pekerjaannya lebih
merupakan vokasi ketimbang profesi. Nyaris semua ilmuwan yang mendapat
anugerah Nobel adalah guru besar yang memanfaatkan fasilitas di lembaganya
atau menggunakan dana pribadi.
Madame Curie yang mempelajari radioaktivitas alami, misalnya, menyewa
bekas gudang batubara sebagai laboratorium riset. Dia memakai sisa-sisa
batubara sebagai bahan bakar dan ketika bahan ini habis, dia pakai perabotan
rumahnya sendiri karena ketiadaan uang. Dia menerima penghargaan Nobel dua
kali, dalam fisika (1903) dan kimia (1911), dan menjadi perempuan pertama
yang dikukuhkan menjadi guru besar di Sorbonne. Mengenai dia, Einstein
berkata, ”she is the only person where glory had not corrupted”.
Sumbangan universitas/institut dapat berupa periset yang ia cetak
melalui proses pendidikannya. Periset lalu berkarya di lembaga-lembaga penelitian,
di pusat-pusat penelitian di perguruan tinggi, maupun badan-badan R&D
perusahaan. Mereka inilah yang melaksanakan riset fundamental maupun riset
terapan yang bertujuan untuk mengembangkan ilmu, meningkatkan daya produktif
dan daya saing industrial, dan kemudian dipatenkan.
Di samping ini para dosen—secara individual atau berkelompok—tetap
harus turut berpartisipasi dalam riset seperti itu di lingkungan
universitas/institut. Dapat dibayangkan empat jenis kegiatan riset yang
relevan, yaitu (i) riset fundamental bebas, (ii) riset fundamental terarah
(yang berusaha mendalami satu sektor khusus di bidang pengetahuan), (iii)
riset terapan yang bertujuan mendapat solusi dari masalah praktis, dan (iv)
studi terapan yang dipusatkan pada eksploitasi efektif ilmu pengetahuan demi
perbaikan produksi barang dan jasa.
Kegiatan riset ini dipaparkan dalam makalah dan/atau jurnal yang
beredar di komunitas ilmiah regional dan internasional. Dari isi paparan
itulah komunitas ini lalu menetapkan ranking keilmuan dari
universitas/institut berdasarkan kriteria yang disepakati. Ranking ini pada
gilirannya menentukan gengsi akademis dari universitas/institut yang
bersangkutan.
Riset seperti itu pasti memerlukan dana dan ia bukan tidak ada di
Kemdikbud. Namun, penyalurannya semakin tidak memuaskan pihak-pihak yang
berkepentingan dan kekisruhan inilah yang menyebabkan beberapa rektor
mengusulkan agar PT dipindah saja ke Kemristek. Mengenai siapa yang menjadi
pengelola dana riset ini pasti perlu pembahasan tersendiri.
Namun, dalam kesempatan ini ada baiknya dikemukakan kehadiran sebuah
lembaga sejak 30 Januari 2012, berbentuk Badan Pelayanan Umum, bernama
Lembaga Penyalur Dana Pendidikan (LPDP), berada di jajaran Kementerian
Keuangan. Dana yang dikelola lembaga ini meliputi antara lain beasiswa dan
pendanaan riset. Sampai sekarang tidak ada keluhan mengenai kinerjanya, dana
yang dikelola diaudit dengan baik, tidak melakukan riset atas nama sendiri,
semata-mata melayani kebutuhan dana dari Kemdikbud, Kementerian Agama, dan individu
untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang telah disepakati bersama sebelumnya.
Apabila masalah pendanaan riset sudah terjawab, ada masalah lain yang
membayangi kegiatan riset oleh universitas/institut, yaitu akibat sampingan
yang bisa merusak holisme pemikiran universiter. Akibat sampingan ini justru
timbul apabila riset dilakukan sebagaimana seharusnya— correct, terarah, dan dengan penuh tanggung jawab. Maka
kemungkinan ini perlu direnungi bersamaan dengan pengambilan keputusan riset
agar jauh-jauh hari sudah disiapkan cara menanggulangi konsekuensi yang tidak
dikehendaki itu.
Pembagian
radikal
Bayangkan! Tiga dari keempat jenis riset tersebut mengakibatkan
lahirnya suatu pembagian radikal dalam pengetahuan, suatu kompartementalisasi
ketat, suatu superspesialisasi bidang riset/pengetahuan. Berarti,
spesialisasi menjadi semakin sempit dan tajam, para peneliti semakin
dikondisikan oleh logika intern dari sektor-sektor yang digarap. Setiap orang
sibuk menggali salurannya sendiri, setiap orang mengunci diri dalam biro dan
laboratoriumnya, hingga pertemuan antarpribadi akademisi menjadi semakin
jarang. Maka kontak antara anggota-anggota dari universitas dan institut yang
sama menjadi semakin lemah dan terjadilah isolasi human dari individu.
Universitas/institut cenderung menjadi pemusatan guru besar dan
dosen-dosen muda yang superspesialis, yang tidak lagi menguasai jenis-jenis
pengetahuan yang memungkinkan transmisi high knowledge, mengabaikan
kompleksitas dari realitas dan kesukaran manusia untuk memahaminya. Mereka
puas dengan menghasilkan teknokrat yang juga puas dan bangga dengan
pengetahuan spesialistisnya, tidak mau tahu dengan pengetahuan teknokratis
lain. Mereka anggap wajar kalau masing-masing bertanggung jawab atas solusi
dari masalah khas masing-masing. Padahal, masalah gawat biasanya timbul pada
konjungsi antara solusi-solusi sepihak yang diambil secara terpisah. Lalu
masalah ini tanggung jawab siapa?
Universitas/institut ditantang untuk melawan kecenderungan yang merusak
holisme pemikiran universiter. Sementara fakultas dari universitas dan
departemen dari institut membanjiri masyarakat dengan spesialis bidang
tertentu yang memang dibutuhkan, universitas/institut perlu mengimbanginya
dengan menghasilkan lulusan terlatih menurut pendekatan keterkaitan
monodisiplin pokok.
Untuk keperluan ini universitas/institut membuka suatu program
pembelajaran S-2 dan S-3. Dengan menangani sendiri pelaksanaan program ini,
universitas/institut berarti tidak hanya berfungsi administratif, koordinator
dari fakultas/departemen yang dicakupnya, tetapi melaksanakan pula fungsi
edukatif, sesuai dengan khitah awal jadinya.
Kuliah program ini membahas subjeknya melalui visi poliokuler. Kuliah
pembangunan atau kesehatan nasional, misalnya, terang akan lebih mencerahkan
apabila semua aspek dibahas sama penting. Yang menjadi concern perkuliahan
universitas/institut bukanlah suatu sintetis, tetapi suatu pikiran yang tidak
pecah di perbatasan antardisiplin. Yang menjadi perhatian adalah gejala
multidimensional dan bukan disiplin yang mengiris-iris dimensi di gejala.
Sebab, apa-apa yang human adalah sekaligus psikis, sosiologis, ekonomis,
historis, demografis, antropologis. Maka penting bahwa aspek-aspek tersebut
tidak dipisah-pisah, diabstraksi dengan asumsi ”ceteris paribus”, tetapi
dikerahkan menjadi satu visi poliokuler.
Ini bukan perkuliahan yang mengada-ada. Kompleksitas adalah suatu
gejala yang didesakkan oleh realitas kepada kita dan yang tidak dapat ditolak
begitu saja. Yang perlu ditentang adalah simplifikasi arogan yang memuja
formalisasi yang mereduksi kesatuan global jadi unsur-unsur konstitutifnya.
Perkuliahan ini bukan hendak mengetengahkan ”sistem kompleksitas”, tetapi menyadarkan adanya ”uncontourable problem of complexity”.
Mungkin mahasiswa yang tertarik pada program ini tidaklah banyak. Tidak
apa, sebab not the many is good, but
the goodness is many.
Ketahuilah bahwa kemajuan kita selaku bangsa tidak akan bisa lebih
cepat daripada kemajuan pendidikan nasional. Ia memang butuh pembenahan agar
bisa maju, tetapi bukan dengan jalan mengubah strukturnya. Para pengasuhnya
perlu diganti besar-besaran. Kalau di suatu rumah diketahui ada maling,
sebagai perbaikan bukan rumah itu yang harus dibakar, tetapi malingnya yang
harus ditangkap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar