Bandit
Goenawan Mohamad ; Esais, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
28 September 2014
Bajingan
dan pahlawan kadang-kadang manunggal dalam evolusi.
Di
Indonesia kita tahu kisah Ken Arok, di Australia orang kenal cerita Ned
Kelly. Dalam Pararaton yang ditulis pada 1481 ditunjukkan Ken Arok sebagai
seseorang yang bermula dari kehidupan yang terkutuk: "perilakunya tak
baik, memutuskan kendali kesusilaan, jadi pengganggu Hyang yang gaib", lumaku tan rahayu amegati apusira
pinakapama cananing hyan Suksma. Ia juga dengan ambisi berkuasa yang
ganas membunuh siapa saja yang ia perlukan untuk naik takhta.
Dan ia memang
naik takhta dan jadi pendiri Kerajaan Singasari di abad ke-14.
Ia
sendiri mati terbunuh, tapi berangsur-angsur evolusi terjadi: ia jadi pahlawan
yang tak pernah hilang. Di abad ke-20 baik Muhammad Yamin maupun Pramoedya
Ananta Toer membangun, dalam karya fiksi mereka, sosok Arok yang heroik.
Di
Australia, di abad ke-19, Ned Kelly memasuki sejarah sebagai perampok,
pembunuh, musuh kekal polisi. Tapi, sementara ia bermula dari manusia yang
dikecam, ia berakhir jadi tokoh yang memikat imajinasi orang Australia.
Pelukis termasyhur Sidney Nolan menampilkannya dalam kanvas-kanvas yang
memukau: Ned Kelly dalam topeng pelindungnya yang persegi dan penuh
teka-teki. Sejak awal 1900-an beberapa film dibuat, termasuk yang dibintangi
Mick Jagger dan Heath Ledger.
Daftar
bandit ini bisa panjang. Di Meksiko di awal abad ke-20: Pancho Villa. Di
India di abad kita: Phoolan Devi. Di antara penduduk Turki Siprus: Hassanpoulia,
jagoan yang mati pada 1896.
Di
Amerika Serikat lebih terkenal: Billy the Kid. Setelah terbunuh pada 1881, ia
juga lahir kembali sebagai kisah penjahat yang memikat, meskipun
kebajingannya sebenarnya tak pernah spektakuler. Michael Ondaatje menulis
novel puitik yang ia sebut The Collected Works of Billy the Kid: Left-Handed
Poems pada 1970. Jauh sebelum itu, sederet film dibuat, antara lain oleh Sam
Peckinpah, dan Bob Dylan menggubah musiknya. Bahkan sebelum itu pada 1938, si
bandit masuk di pusat sebuah karya ballet Aaron Copland.
Di
Italia ada Salvatore Giuliano. Penjahat dari dusun miskin di Sisilia ini
mulai beroperasi sebagai penyelundup kecil bahan makanan di pasar gelap
ketika Italia Selatan terancam kelaparan setelah Perang Dunia II. Tapi segera
ia sudah jadi legenda bahkan sebelum mati dibunuh pada 1950.
Syahdan,
di suatu hari di tahun 1944, penjahat berwajah tampan ini merampok rumah
seorang bangsawan putri dari Pratameno. Bersama anak buahnya, Giuliano
diam-diam masuk ke kediaman sang duchessa. Dengan hormat dan sopan, si kepala
bandit mencium tangan nyonya rumah—tapi ia meminta agar emas berlian
diserahkan. Ketika permintaannya ditolak, Giuliano mengancam akan menculik
anak-anak keluarga itu. Sang duchessa menyerah. Giuliano pun pergi dengan
harta rampasan yang cukup setelah mencopot cincin berlian dari jari nyonya
rumah dan meminjam satu buku karya John Steinbeck dari perpustakaan buku
yang seminggu kemudian ia kembalikan.
Dengan
cerita semacam itu sutradara Francesco Rosi membuat sebuah film dokumenter
gaya neo-realis tentang Giuliano pada 1962. Dan tak mengherankan bila
sejarawan Marxis terkenal, Eric Hobsbawm, dalam Bandits, menyebut Giuliano
salah satu contoh bajingan dalam "tradisi" Robin Hood. Giuliano
pernah menembak mati kepala kantor pos yang mencuri parsel yang dikirim untuk
orang dusun dari kerabatnya di Amerika, dan ia bunuh pemilik toko yang jadi
lintah darat.
Sudah
tentu, evolusi dari bandit ke pahlawan bukan sebuah peristiwa sejarah.
Umumnya ia lebih sebuah proses imajinasi sosial yang terbentur. Ia lahir
ketika orang banyak merasakan ada Keadilan (dengan "K") tapi tak
bisa diutarakan dalam suasana Ketidakadilan, ada Juru Selamat tapi tak
terlihat.
Dalam
pelbagai dongeng rakyat yang dibangun dari tokoh nyata seperti Ken Arok dan
Pancho Villa, sang pelanggar hukum adalah ungkapan bahwa hukum telah
kehilangan auranya. Atau lebih tepat: kehilangan daya tipunya. Sang bandit
jadi "pahlawan" dengan menegaskan kata "lawan": ia
bongkar ilusi dan tunjukkan bahwa hukum yang dirumuskan para legislator dan
aparat negara sesungguhnya sebuah pencurian “hak”, yakni hak menentukan apa
yang adil.
Di
Indonesia, hukum disebut "undang-undang". Seperti juga
"undangan", ia memanggil dan memberi tahu orang ramai. Tampak, ada
jalinan erat antara "undang-undang" dan bahasa: dalam hukum ”yang
dirumuskan dengan kata-kata” ada kemestian berkomunikasi. Dan seperti bahasa,
"undang-undang" adalah sebuah konvensi, sebuah pegangan yang
disepakati secara umum, tapi sekaligus tak bisa lepas dari dialek dan aksen
yang berbeda-beda di suatu saat, di suatu tempat.
Dengan
kata lain, interpretasi, itulah proses yang menentukan. Penafsiran adalah
cara mengakomodasi kecenderungan yang partikular dalam konstruksi hukum yang
berniat universal itu. Maka tak ada undang-undang yang tak ditafsirkan, juga
ketika tafsir dinyatakan terlarang.
Penafsiran
itulah cara membuat Keadilan (dengan "K") mewujud dalam hidup
sehari-hari. Tapi tak pernah selesai. Ia selalu sia-sia. Dalam sejarah,
Keadilan acap menggerakkan lahirnya hukum, tapi hukum tak pernah sama dengan
Keadilan.
Maka
hukum hanya akan jadi berhala, ketika para penguasa tak mau mengakui bahwa
seadil-adilnya undang-undang, hukum hanya gema dari Keadilan yang entah di
mana. Derrida pernah mengatakan, "Keadilan" selalu hanya akan
datang, "a-venir", tapi saya kira tidak. Keadilan telah hadir hari
ini, namun selalu sejenak, selalu akhirnya mengelak.
Dalam
sejenak itulah terjadi revolusi, meledak protes, ada kemarahan. Dan
kadang-kadang ada bandit, ada pahlawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar