“Sandyakalaning”
Partai Politik
Suwidi Tono ; Koordinator
Forum Menjadi Indonesia;
Pemimpin Redaksi Media Otonomi
2004-2010
|
KOMPAS,
27 September 2014
YOSEPH
Lagadoni Herin, tahun 2004, pamit dari media yang saya pimpin untuk mengikuti
pemilihan kepala daerah di kampung halamannya, Flores Timur, Nusa Tenggara
Timur. Maju sebagai calon wakil bupati dari koalisi tiga partai ”gurem”
(hanya 5 kursi di DPRD) dan berpasangan dengan Simon Hayon (Golkar), mereka
memenangi Pilkada 2005. Ia bahkan terpilih menjadi bupati daerah yang sama
periode 2011-2016, antara lain dengan mengalahkan mantan koleganya itu.
Yoseph tak
punya amunisi, kecuali ”paspor” wartawan Media Otonomi. Ia rajin berkeliling
dan menginap di desa-desa untuk mendengar bukan berpidato, mencatat aspirasi
rakyat tanpa mengumbar janji, merekam keluh kesah para tetua adat, dan tidak
memberi iming-iming bantuan. Ia hadirkan portofolionya langsung ke konstituen
secara intens dalam jangka waktu cukup lama.
Kisahnya dan
beberapa kepala daerah yang ”merangkak” dari bawah memberi beberapa pelajaran
penting. Pertama, modal bukan segala-galanya bagi calon kepala daerah.
Kedekatan tak bersekat dengan rakyat lebih menentukan. Kedua, tidak semua
pemilih bisa ”dibeli” suaranya atau diarahkan. Ketiga, figur nonpartai
menjadi alternatif manakala koalisi partai gagal mencapai konsensus untuk
mengusung kadernya. Keempat, nama baik dan kehormatan leluhur menjadi legasi
sekaligus memberi leverage tinggi.
Titik berat otonomi
Kendati hanya
minoritas, satu-dua tokoh independen masih mewarnai pilkada langsung. Pola
perekrutan, seleksi, hingga penentuan kandidat tetap didominasi partai
politik. Kenyataan politik ini, selain menjelaskan bahwa sistem lebih memihak
kepada parpol, sekaligus menunjukkan asimetris logika dan nalar dalam
perdebatan RUU Pilkada.
Otonomi daerah
berikut derivasinya merupakan ”anak kandung” reformasi, suatu koreksi atas
rezim otoritarian yang tidak menenggang otoaktivitas daerah dan berseminya
sumber-sumber kepemimpinan di luar patronase Orde Baru.
Lebih dari
sekadar antitesis, tuntutan itu merefleksikan kebutuhan penguatan kapasitas,
inisiatif, dan keterlibatan daerah dalam menentukan masa depannya. Sebuah
keniscayaan yang memiliki akar sejarah panjang jauh sebelum republik berdiri.
Era
multipartai yang juga lahir dari rahim reformasi menubuatkan lapangan politik
bebas kekangan dengan menaruh hormat tinggi pada ekspresi daulat rakyat.
Kekurangan, kelemahan, bahkan keruwetan yang timbul selama ini seharusnya
tidak membunuh esensi demokrasi sebagai pemenuhan hak partisipasi dan
inisiatif rakyat.
Sepanjang
1999–Juni 2005, ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD, juga periode
2005-2007, pilkada lebih merupakan ”hajat partai”. Kendati Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 memberi peluang calon independen maju dalam pilkada,
dalam praktiknya, peran partai tetap lebih dominan. Calon perseorangan jauh
lebih sukar memenuhi batas persyaratan minimal dukungan konstituen
dibandingkan dengan calon partai yang cukup didukung jumlah perolehan suara
atau jumlah kursi partai pendukung di DPRD.
Seleksi
kandidat oleh partai dengan karakteristik elitis, oligarkis, dan
transaksional terbukti mendorong perilaku korup kepala daerah terpilih. Sebanyak
318 dari 524 kepala daerah tersangkut korupsi. Sejajar dengan fakta ini,
lebih dari 3.169 anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota juga terjerat kasus
korupsi. Alih-alih melakukan otokritik, manuver mereka yang ingin mengubah
pilkada langsung mencerminkan contradictio in terminis alias sesat pikir yang
mengacaukan.
Kini, setelah
begitu banyak tindak kejahatan itu dan ketidakadilan peluang di antara
kandidat yang diusung masyarakat dan partai, demokrasi hendak sepenuhnya
dimonopoli lagi semata-mata urusan parpol. Akrobat politik seperti ini ibarat
sedang menggali kubur sendiri.
Indikasinya:
partisipasi politik rakyat semu karena calon kepala daerah kurang memenuhi
ekspektasi, krisis legitimasi karena maraknya transaksi politik, inovasi
kepemimpinan rendah, relasi daerah-pusat mengalami kemunduran serius,
eksploitasi sumber daya alam tak terkendali, dan kegaduhan politik (termasuk
konflik horizontal) lebih mengemuka daripada kompetisi memajukan daerah.
Tanda-tanda
menurunnya partisipasi rakyat ini dapat dilacak antara lain dari data
pemilihan 11 gubernur sepanjang 2012-2013. Dari 11 pilkada gubernur di Papua
Barat, Aceh, Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Barat, Papua, Jawa Barat, dan Sumatera Utara, rekor
tertinggi pemilih yang tidak menggunakan haknya dipegang Sumatera Utara,
yakni mencapai 51,42 persen atau setara dengan 5,29 juta pemilih terdaftar.
Kemudian
disusul Papua Barat (46 persen), Bangka Belitung (38,15 persen), Banten
(37,62 persen), Jawa Barat (36,34 persen), dan Sulawesi Selatan (36,27
persen). Ekses dari seleksi kandidat kurang berkualitas ini juga ”memanen”
dukungan rendah dalam banyak pilkada kabupaten/kota dengan tingkat
partisipasi pemilih kurang dari 50 persen.
Mereka yang
merujuk Amerika Serikat untuk mengafirmasi tidak adanya relevansi partisipasi
pemilih (voter turnout) dan sistem
pemilihan lewat perwakilan dalam proses demokratisasi sebaiknya mencermati
trilogi karya peraih penghargaan Pulitzer, Daniel J Boorstin: The Americans: The
Colonial-National-Democratic Experience.
Sebuah telaah
detail 2,5 abad pergumulan Amerika Serikat membangun jati diri bangsanya.
Demikian pula, mereka yang mempertentangkan one man one vote dengan sila
keempat Pancasila selayaknya merenungkan lagi roh
”permusyawaratan-perwakilan” bukan sebagai tafsir tunggal, melainkan sebuah
dialektika dinamis.
Senja kala parpol
Polarisasi RUU
Pilkada (juga Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD) sebagai ekses pilpres
mengantarkan kepada babak baru dinamika multipartai.
Kendati tidak
mirip, kita dapat menarik pelajaran dari era 1950-1959 yang berpuncak pada
kegagalan Badan Konstituante menyusun konstitusi baru. Sekalipun begitu,
curahan pendapat 534 anggota badan itu selama 2,5 tahun bersidang sejak 1956
amat mengagumkan dan dapat disebut sebagai persabungan gagasan paling
menggairahkan dalam sejarah republik.
Debat
ideologis pada zaman sulit yang diakhiri Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu
menutup ”kemewahan” era demokrasi parlementer sejak Maklumat X, 3 November
1945.
Melalui
analogi historis ini, kita dapat membayangkan dua skenario demokrasi ke
depan. Pertama, meskipun dilatari situasi kedaruratan berbeda, ideologis, dan
korupsi, ketiadaan konsensus pada akhirnya memantik krisis legitimasi
terhadap parpol. Senja kala, sandyakalaning, parpol justru berawal dari
ketidaksanggupan mengelola batas-batas kepatutan dan kepercayaan rakyat.
Kedua, dengan
menafikan hasil sidang paripurna DPR, 26 September dini hari, ujian
pemerintahan baru tetap tidak berubah, yakni bagaimana menjinakkan syahwat
pragmatisme, kompromi politik, yang berurat-berakar dalam tata kelola
bernegara. Kecenderungan ini berulang kali menyisihkan keadaban publik dan
tujuan-tujuan strategis jangka panjang.
Krisis kader
dan ideologi yang menjangkiti parpol hampir tidak menyisakan harapan untuk
menyemai pertautan eklektik untuk membangun konstruksi bangsa menyambut
tantangan zaman. Maka, bukan hanya revolusi mental bangsa yang diperlukan,
melainkan juga revolusi sistem dan struktur kepartaian yang sudah tidak
memadai lagi untuk menjawab tuntutan perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar