Sabtu, 27 September 2014

“Sandyakalaning” Partai Politik

“Sandyakalaning” Partai Politik

Suwidi Tono ;   Koordinator Forum Menjadi Indonesia;
Pemimpin Redaksi Media Otonomi 2004-2010
KOMPAS, 27 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

YOSEPH Lagadoni Herin, tahun 2004, pamit dari media yang saya pimpin untuk mengikuti pemilihan kepala daerah di kampung halamannya, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Maju sebagai calon wakil bupati dari koalisi tiga partai ”gurem” (hanya 5 kursi di DPRD) dan berpasangan dengan Simon Hayon (Golkar), mereka memenangi Pilkada 2005. Ia bahkan terpilih menjadi bupati daerah yang sama periode 2011-2016, antara lain dengan mengalahkan mantan koleganya itu.

Yoseph tak punya amunisi, kecuali ”paspor” wartawan Media Otonomi. Ia rajin berkeliling dan menginap di desa-desa untuk mendengar bukan berpidato, mencatat aspirasi rakyat tanpa mengumbar janji, merekam keluh kesah para tetua adat, dan tidak memberi iming-iming bantuan. Ia hadirkan portofolionya langsung ke konstituen secara intens dalam jangka waktu cukup lama.

Kisahnya dan beberapa kepala daerah yang ”merangkak” dari bawah memberi beberapa pelajaran penting. Pertama, modal bukan segala-galanya bagi calon kepala daerah. Kedekatan tak bersekat dengan rakyat lebih menentukan. Kedua, tidak semua pemilih bisa ”dibeli” suaranya atau diarahkan. Ketiga, figur nonpartai menjadi alternatif manakala koalisi partai gagal mencapai konsensus untuk mengusung kadernya. Keempat, nama baik dan kehormatan leluhur menjadi legasi sekaligus memberi leverage tinggi.

Titik berat otonomi

Kendati hanya minoritas, satu-dua tokoh independen masih mewarnai pilkada langsung. Pola perekrutan, seleksi, hingga penentuan kandidat tetap didominasi partai politik. Kenyataan politik ini, selain menjelaskan bahwa sistem lebih memihak kepada parpol, sekaligus menunjukkan asimetris logika dan nalar dalam perdebatan RUU Pilkada.

Otonomi daerah berikut derivasinya merupakan ”anak kandung” reformasi, suatu koreksi atas rezim otoritarian yang tidak menenggang otoaktivitas daerah dan berseminya sumber-sumber kepemimpinan di luar patronase Orde Baru.

Lebih dari sekadar antitesis, tuntutan itu merefleksikan kebutuhan penguatan kapasitas, inisiatif, dan keterlibatan daerah dalam menentukan masa depannya. Sebuah keniscayaan yang memiliki akar sejarah panjang jauh sebelum republik berdiri.

Era multipartai yang juga lahir dari rahim reformasi menubuatkan lapangan politik bebas kekangan dengan menaruh hormat tinggi pada ekspresi daulat rakyat. Kekurangan, kelemahan, bahkan keruwetan yang timbul selama ini seharusnya tidak membunuh esensi demokrasi sebagai pemenuhan hak partisipasi dan inisiatif rakyat.

Sepanjang 1999–Juni 2005, ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD, juga periode 2005-2007, pilkada lebih merupakan ”hajat partai”. Kendati Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 memberi peluang calon independen maju dalam pilkada, dalam praktiknya, peran partai tetap lebih dominan. Calon perseorangan jauh lebih sukar memenuhi batas persyaratan minimal dukungan konstituen dibandingkan dengan calon partai yang cukup didukung jumlah perolehan suara atau jumlah kursi partai pendukung di DPRD.

Seleksi kandidat oleh partai dengan karakteristik elitis, oligarkis, dan transaksional terbukti mendorong perilaku korup kepala daerah terpilih. Sebanyak 318 dari 524 kepala daerah tersangkut korupsi. Sejajar dengan fakta ini, lebih dari 3.169 anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota juga terjerat kasus korupsi. Alih-alih melakukan otokritik, manuver mereka yang ingin mengubah pilkada langsung mencerminkan contradictio in terminis alias sesat pikir yang mengacaukan.

Kini, setelah begitu banyak tindak kejahatan itu dan ketidakadilan peluang di antara kandidat yang diusung masyarakat dan partai, demokrasi hendak sepenuhnya dimonopoli lagi semata-mata urusan parpol. Akrobat politik seperti ini ibarat sedang menggali kubur sendiri.

Indikasinya: partisipasi politik rakyat semu karena calon kepala daerah kurang memenuhi ekspektasi, krisis legitimasi karena maraknya transaksi politik, inovasi kepemimpinan rendah, relasi daerah-pusat mengalami kemunduran serius, eksploitasi sumber daya alam tak terkendali, dan kegaduhan politik (termasuk konflik horizontal) lebih mengemuka daripada kompetisi memajukan daerah.

Tanda-tanda menurunnya partisipasi rakyat ini dapat dilacak antara lain dari data pemilihan 11 gubernur sepanjang 2012-2013. Dari 11 pilkada gubernur di Papua Barat, Aceh, Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Papua, Jawa Barat, dan Sumatera Utara, rekor tertinggi pemilih yang tidak menggunakan haknya dipegang Sumatera Utara, yakni mencapai 51,42 persen atau setara dengan 5,29 juta pemilih terdaftar.

Kemudian disusul Papua Barat (46 persen), Bangka Belitung (38,15 persen), Banten (37,62 persen), Jawa Barat (36,34 persen), dan Sulawesi Selatan (36,27 persen). Ekses dari seleksi kandidat kurang berkualitas ini juga ”memanen” dukungan rendah dalam banyak pilkada kabupaten/kota dengan tingkat partisipasi pemilih kurang dari 50 persen.

Mereka yang merujuk Amerika Serikat untuk mengafirmasi tidak adanya relevansi partisipasi pemilih (voter turnout) dan sistem pemilihan lewat perwakilan dalam proses demokratisasi sebaiknya mencermati trilogi karya peraih penghargaan Pulitzer, Daniel J Boorstin: The Americans: The Colonial-National-Democratic Experience.

Sebuah telaah detail 2,5 abad pergumulan Amerika Serikat membangun jati diri bangsanya. Demikian pula, mereka yang mempertentangkan one man one vote dengan sila keempat Pancasila selayaknya merenungkan lagi roh ”permusyawaratan-perwakilan” bukan sebagai tafsir tunggal, melainkan sebuah dialektika dinamis.

Senja kala parpol

Polarisasi RUU Pilkada (juga Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD) sebagai ekses pilpres mengantarkan kepada babak baru dinamika multipartai.

Kendati tidak mirip, kita dapat menarik pelajaran dari era 1950-1959 yang berpuncak pada kegagalan Badan Konstituante menyusun konstitusi baru. Sekalipun begitu, curahan pendapat 534 anggota badan itu selama 2,5 tahun bersidang sejak 1956 amat mengagumkan dan dapat disebut sebagai persabungan gagasan paling menggairahkan dalam sejarah republik.

Debat ideologis pada zaman sulit yang diakhiri Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu menutup ”kemewahan” era demokrasi parlementer sejak Maklumat X, 3 November 1945.

Melalui analogi historis ini, kita dapat membayangkan dua skenario demokrasi ke depan. Pertama, meskipun dilatari situasi kedaruratan berbeda, ideologis, dan korupsi, ketiadaan konsensus pada akhirnya memantik krisis legitimasi terhadap parpol. Senja kala, sandyakalaning, parpol justru berawal dari ketidaksanggupan mengelola batas-batas kepatutan dan kepercayaan rakyat.

Kedua, dengan menafikan hasil sidang paripurna DPR, 26 September dini hari, ujian pemerintahan baru tetap tidak berubah, yakni bagaimana menjinakkan syahwat pragmatisme, kompromi politik, yang berurat-berakar dalam tata kelola bernegara. Kecenderungan ini berulang kali menyisihkan keadaban publik dan tujuan-tujuan strategis jangka panjang.

Krisis kader dan ideologi yang menjangkiti parpol hampir tidak menyisakan harapan untuk menyemai pertautan eklektik untuk membangun konstruksi bangsa menyambut tantangan zaman. Maka, bukan hanya revolusi mental bangsa yang diperlukan, melainkan juga revolusi sistem dan struktur kepartaian yang sudah tidak memadai lagi untuk menjawab tuntutan perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar