Deyudhoyonoisasi
Mohammad Afifuddin ; Peneliti Institute of Governance and Public Affairs
(IGPA) MAP Fisipol UGM
|
JAWA
POS, 29 September 2014
JIKA kita tanya kepada Presiden Yudhoyono (SBY), hal apa yang paling
dikhawatirkan pascalengser, mungkin jawabannya adalah deyudhoyonoisasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
setiap kata berawalan ’’de’’ selalu
bermakna negatif. Ambil contoh, istilah delegitimasi merujuk kepada
pengertian ketidakabsahan atau ketidaksahan. Contoh yang lain adalah istilah
deideologisasi yang berarti berhentinya proses penyebaran ideologi sekaligus
menjadi lawan kata dari ideologisasi. Dengan demikian, istilah deyudhoyonoisasi dapat dimaknai
sebagai proses penegasian/penolakan (anti) terhadap Yudhoyono (baca: SBY).
Kenapa SBY harus khawatir? Sebab, sejarah kepresidenan di Indonesia
memberikan preseden historis tentang hal tersebut. Presiden Soekarno pernah
merasakan pahitnya desoekarnoisasi
ketika semua hal yang berhubungan dengan Soekarno berusaha diberangus
Presiden Soeharto. Namun, pada akhirnya, Presiden Soeharto juga harus
merasakan ’’karma’’ dari kebijakannya itu. Ketika gerakan reformasi berhasil
menumbangkan Orde Baru, segala sesuatu yang berhubungan dengan Soeharto
dibenci publik. Soeharto pun mengalami desoehartoisasi.
Dalam konteks ini, riwayat Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati menjadi
pengecualian. Penyebabnya, durasi kepemimpinan mereka bertiga sangat singkat,
bahkan tidak genap satu periode. Karena itu, mereka tidak banyak meninggalkan
memori bagi rakyat. Habibie menjabat hanya setahun (1998–1999), Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) hanya 21 bulan (1999–2001), dan Megawati sekadar melanjutkan
kepemimpinan Gus Dur (2001–2004).
Di antara lima presiden Indonesia, tidak ada yang sempurna
menyelesaikan masa kepemimpinannya. Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid
harus rela turun sebelum waktunya. Sementara itu, Habibie dan Megawati
menjadi presiden hanya karena menggantikan atasannya yang dipaksa turun
sebelum waktunya. Bandingkan dengan profil kepemimpinan SBY yang hingga kini
paling sempurna dalam konteks penuntasan masa jabatan. Dua kali terpilih
melalui pemilu langsung dan menjadi presiden penuh selama sepuluh tahun.
Ibarat pesawat terbang, SBY bisa takeoff
dan landing secara mulus dalam dua
periode berturut-turut.
Artinya, hingga kini, SBY adalah satu-satunya presiden Indonesia yang
tidak mengalami deyudhoyonoisasi
dengan setting yang sama dengan
terjadinya desoekarnoisasi maupun desoehartoisasi. Sebab, transisi dari rezim
SBY menuju pemerintahan Jokowi berlangsung mulus. Tidak ada ’’kudeta merangkak’’ maupun huru-hara
berdarah yang mengharuskan terjadinya penolakan paksa terhadap segala warisan
sosial-politik SBY. Dengan kata lain, SBY sesungguhnya telah mengantongi
modal kuat sebagai prototipe presiden sempurna di Indonesia.
Namun, blunder SBY dalam menempatkan posisi Partai Demokrat di sidang
paripurna pengesahan RUU pilkada justru membuat jalan deyudhoyonoisasi terbuka lewat kanal lain. Kanal penegasian
(penolakan) yang tidak bersumber dari proses kudeta atau pendongkelan paksa
suatu rezim, sebagaimana terjadi kepada Soekarno dan Soeharto, tetapi
penegasian (deyudhoyonoisasi) yang
berpangkal dari kuasa masyarakat jaringan di ruang publik: sebuah ruang
politis yang disemai oleh kekuatan rakyat (civil society) dalam mengkritik kinerja elite-elite politik.
Kuasa
Masyarakat Jaringan
Dalam perspektif Manuel Castells (2004), konstruksi sosiologis
masyarakat Indonesia saat ini sudah tergolong sebagai masyarakat jaringan.
Yakni, masyarakat yang sedang menjalankan transformasi sosial dengan
kecepatan tinggi yang berpusat kepada revolusi teknologi informasi. Selain membawa
dampak terbentuknya basis material masyarakat baru di berbagai tempat,
revolusi teknologi informasi juga membawa perubahan tradisi berpolitik,
ekonomi, dan hubungan sosial yang lain. Sebagai contoh, meluasnya penggunaan
jaringan internet sebagai salah satu produk revolusi teknologi informasi
menjadikan wajah perpolitikan, perekonomian, dan sosial-kultural masyarakat
Indonesia berubah drastis. Perubahan itu diperkuat dengan kian masifnya
penyebaran smartphone yang kian canggih sehingga mempercepat akselerasi
pembentukan basis masyarakat jaringan.
Dalam konteks desoekarnoisasi dan desoehartoisasi, konstruksi
masyarakat Indonesia waktu itu belum mencapai level masyarakat jaringan
sebagaimana ditengarai oleh Castells. Dengan begitu, kuasa tafsir politik waktu
itu masih berkutat kepada poros politik konvensional, misalnya parpol,
militer, maupun ormas-ormas sosial politik. Namun, perubahan konfigurasi
politik kontemporer di Indonesia justru menempatkan kuasa masyarakat jaringan
sejajar dengan poros-poros politik konvensional. Dalam beberapa tahun
terakhir, banyak perubahan sosial-politik yang diawali dari inisiasi
masyarakat jaringan bahwa gerakan civil society bersemai, menyebar, dan punya
daya tekan (pressure) melalui medium digital.
Terkait dengan blunder politik SBY untuk kasus pengesahan RUU pilkada,
indikasi hadirnya kekuatan masyarakat jaringan terasa begitu kuat. Tidak
susah mencari contoh. Tidak lama setelah sandiwara politik Partai Demokrat
dalam sidang paripurna DPR dengan agenda pengesahan RUU pilkada berakhir
antiklimaks yang disusul konferensi pers SBY yang juga kontraproduktif,
seketika itu muncul tagar #ShameOnYouSBY di Twitter sampai menjadi trending
topic dunia. Gerakan tersebut juga terdiversifikasi dalam berbagai bentuk
dengan cepat dan masif melalui berbagai instrumen digital.
Fenomena itu menjadi bukti bahwaSBY gagal membaca dengan cermat
perubahan setting politik Indonesia kontemporer. Bahwa potensi
deyudhoyonoiasai tidak hanya berasal dari manuver rival politiknya melalui
mekanisme politik konvensional, tetapi juga berasal dari poros politik yang
dibangun masyarakat jaringan.
Artinya, boleh saja SBY bernapas lega karena lolos dari deyudhoyonoisasi sebagaimana desoekarnoisasi dan desoehartoisasi. Namun, deyudhoyonoisasi yang berasal dari masyarakat
jaringan sudah bergulir cepat bak bola salju. Jika tidak ada perubahan sikap
politik drastis dari SBY terkait dengan UU Pilkada, niscaya deyudhoyonoisasi menjadi kado
perpisahan terpahit bagi Presiden SBY. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar