Selasa, 30 September 2014

Deyudhoyonoisasi

Deyudhoyonoisasi

Mohammad Afifuddin  ;   Peneliti Institute of Governance and Public Affairs
 (IGPA) MAP Fisipol UGM
JAWA POS,  29 September 2014

                                                                                                                       


JIKA kita tanya kepada Presiden Yudhoyono (SBY), hal apa yang paling dikhawatirkan pascalengser, mungkin jawabannya adalah deyudhoyonoisasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), setiap kata berawalan ’’de’’ selalu bermakna negatif. Ambil contoh, istilah delegitimasi merujuk kepada pengertian ketidakabsahan atau ketidaksahan. Contoh yang lain adalah istilah deideologisasi yang berarti berhentinya proses penyebaran ideologi sekaligus menjadi lawan kata dari ideologisasi. Dengan demikian, istilah deyudhoyonoisasi dapat dimaknai sebagai proses penegasian/penolakan (anti) terhadap Yudhoyono (baca: SBY).

Kenapa SBY harus khawatir? Sebab, sejarah kepresidenan di Indonesia memberikan preseden historis tentang hal tersebut. Presiden Soekarno pernah merasakan pahitnya desoekarnoisasi ketika semua hal yang berhubungan dengan Soekarno berusaha diberangus Presiden Soeharto. Namun, pada akhirnya, Presiden Soeharto juga harus merasakan ’’karma’’ dari kebijakannya itu. Ketika gerakan reformasi berhasil menumbangkan Orde Baru, segala sesuatu yang berhubungan dengan Soeharto dibenci publik. Soeharto pun mengalami desoehartoisasi. Dalam konteks ini, riwayat Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati menjadi pengecualian. Penyebabnya, durasi kepemimpinan mereka bertiga sangat singkat, bahkan tidak genap satu periode. Karena itu, mereka tidak banyak meninggalkan memori bagi rakyat. Habibie menjabat hanya setahun (1998–1999), Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hanya 21 bulan (1999–2001), dan Megawati sekadar melanjutkan kepemimpinan Gus Dur (2001–2004).

Di antara lima presiden Indonesia, tidak ada yang sempurna menyelesaikan masa kepemimpinannya. Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid harus rela turun sebelum waktunya. Sementara itu, Habibie dan Megawati menjadi presiden hanya karena menggantikan atasannya yang dipaksa turun sebelum waktunya. Bandingkan dengan profil kepemimpinan SBY yang hingga kini paling sempurna dalam konteks penuntasan masa jabatan. Dua kali terpilih melalui pemilu langsung dan menjadi presiden penuh selama sepuluh tahun. Ibarat pesawat terbang, SBY bisa takeoff dan landing secara mulus dalam dua periode berturut-turut.

Artinya, hingga kini, SBY adalah satu-satunya presiden Indonesia yang tidak mengalami deyudhoyonoisasi dengan setting yang sama dengan terjadinya desoekarnoisasi maupun desoehartoisasi. Sebab, transisi dari rezim SBY menuju pemerintahan Jokowi berlangsung mulus. Tidak ada ’’kudeta merangkak’’ maupun huru-hara berdarah yang mengharuskan terjadinya penolakan paksa terhadap segala warisan sosial-politik SBY. Dengan kata lain, SBY sesungguhnya telah mengantongi modal kuat sebagai prototipe presiden sempurna di Indonesia.

Namun, blunder SBY dalam menempatkan posisi Partai Demokrat di sidang paripurna pengesahan RUU pilkada justru membuat jalan deyudhoyonoisasi terbuka lewat kanal lain. Kanal penegasian (penolakan) yang tidak bersumber dari proses kudeta atau pendongkelan paksa suatu rezim, sebagaimana terjadi kepada Soekarno dan Soeharto, tetapi penegasian (deyudhoyonoisasi) yang berpangkal dari kuasa masyarakat jaringan di ruang publik: sebuah ruang politis yang disemai oleh kekuatan rakyat (civil society) dalam mengkritik kinerja elite-elite politik.

Kuasa Masyarakat Jaringan

Dalam perspektif Manuel Castells (2004), konstruksi sosiologis masyarakat Indonesia saat ini sudah tergolong sebagai masyarakat jaringan. Yakni, masyarakat yang sedang menjalankan transformasi sosial dengan kecepatan tinggi yang berpusat kepada revolusi teknologi informasi. Selain membawa dampak terbentuknya basis material masyarakat baru di berbagai tempat, revolusi teknologi informasi juga membawa perubahan tradisi berpolitik, ekonomi, dan hubungan sosial yang lain. Sebagai contoh, meluasnya penggunaan jaringan internet sebagai salah satu produk revolusi teknologi informasi menjadikan wajah perpolitikan, perekonomian, dan sosial-kultural masyarakat Indonesia berubah drastis. Perubahan itu diperkuat dengan kian masifnya penyebaran smartphone yang kian canggih sehingga mempercepat akselerasi pembentukan basis masyarakat jaringan.

Dalam konteks desoekarnoisasi dan desoehartoisasi, konstruksi masyarakat Indonesia waktu itu belum mencapai level masyarakat jaringan sebagaimana ditengarai oleh Castells. Dengan begitu, kuasa tafsir politik waktu itu masih berkutat kepada poros politik konvensional, misalnya parpol, militer, maupun ormas-ormas sosial politik. Namun, perubahan konfigurasi politik kontemporer di Indonesia justru menempatkan kuasa masyarakat jaringan sejajar dengan poros-poros politik konvensional. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perubahan sosial-politik yang diawali dari inisiasi masyarakat jaringan bahwa gerakan civil society bersemai, menyebar, dan punya daya tekan (pressure) melalui medium digital.

Terkait dengan blunder politik SBY untuk kasus pengesahan RUU pilkada, indikasi hadirnya kekuatan masyarakat jaringan terasa begitu kuat. Tidak susah mencari contoh. Tidak lama setelah sandiwara politik Partai Demokrat dalam sidang paripurna DPR dengan agenda pengesahan RUU pilkada berakhir antiklimaks yang disusul konferensi pers SBY yang juga kontraproduktif, seketika itu muncul tagar #ShameOnYouSBY di Twitter sampai menjadi trending topic dunia. Gerakan tersebut juga terdiversifikasi dalam berbagai bentuk dengan cepat dan masif melalui berbagai instrumen digital.

Fenomena itu menjadi bukti bahwaSBY gagal membaca dengan cermat perubahan setting politik Indonesia kontemporer. Bahwa potensi deyudhoyonoiasai tidak hanya berasal dari manuver rival politiknya melalui mekanisme politik konvensional, tetapi juga berasal dari poros politik yang dibangun masyarakat jaringan.

Artinya, boleh saja SBY bernapas lega karena lolos dari deyudhoyonoisasi sebagaimana desoekarnoisasi dan desoehartoisasi. Namun, deyudhoyonoisasi yang berasal dari masyarakat jaringan sudah bergulir cepat bak bola salju. Jika tidak ada perubahan sikap politik drastis dari SBY terkait dengan UU Pilkada, niscaya deyudhoyonoisasi menjadi kado perpisahan terpahit bagi Presiden SBY.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar