Minggu, 28 September 2014

Mengenang Rusjdi Hamka

                                        Mengenang Rusjdi Hamka

M Fuad Nasar  ;   Wakil Sekretaris Baznas, Alumni YISC Al-Azhar
REPUBLIKA,  27 September 2014

                                                                                                                       


"Tidak hanya keluarga Al-Azhar dan ke luarga Muhammadiyah yang merasa kehilangan dengan kepergian beliau, tapi kita semua umat Islam dan seluruh bangsa Indonesia kehilangan dengan wafatnya Bapak Rusjdi Hamka." Demikian diungkapkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat memberi sambutan pelepasan jenazah almarhum H Rusjdi Hamka seusai shalat Jumat dan shalat jenazah di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (19/9).

Putra kedua almarhum Buya Prof Dr Hamka (ketua umum pertama Majelis Ula ma Indonesia dan Pahlawan Nasional) dan paling banyak mengikuti perjalanan hidup Buya Hamka itu mengembuskan napas terakhir pada Kamis 18 September 2014/23 Dzulqaidah 1435 H, pukul 13.20 WIB di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 79 tahun. Meninggalkan seorang istri (Hj Khasyi'ah Rasul) dan empat anak (Yusran, Amalia, Amaluddin, Muhammad Ridha). Jenazah almarhum dimakamkan Jumat siang di TPU Tanah Kusir, Jakarta, bersebelahan dengan makam almarhum Buya Hamka.

Lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, 7 September 1935. Dalam usia satu tahun Rusjdi dibawa ayahnya merantau ke Deli (Medan). Ketika agresi Belanda kedua pada 1948, Rusjdi ikut menemani ayahnya bergerilya di pedalaman Sumatra Tengah dalam rangka memberi penerangan kepada rakyat.

Tahun 1950 hijrah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan di sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta. Menjalani profesi sebagai wartawan sejak 1959 sebagai sekretaris redaksi majalah Panji Masyarakat yang didirikan oleh Buya Hamka sampai media yang merupakan corong suara umat Islam itu pada 1960 dibreidel oleh rezim Orde Lama yang sangat dipengaruhi Partai Komunis Indonesia (PKI). Panji Masyarakat, majalah Islam yang berpengaruh di masa itu, dilarang terbit oleh penguasa karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul "Demokrasi Kita". Bung Hatta lewat tulisannya mengkritisi garis politik demokrasi terpimpinnya Presiden Sukarno.

Selama Panji Masyarakat berhenti terbit, beberapa tokoh umat Islam dengan dukungan dari Jenderal AH Nasution, Letjen H Sudirman, dan Mayjen Muchlas Rowi menerbitkan majalah Gema Islam. Rusjdi Hamka ditunjuk sebagai sekretaris redaksi Gema Islam.

Baik Panji Masyarakat maupun Gema Islam, haluan dan jiwanya tetap sama.Kedua majalah itu bermarkas di Masjid Agung Al-Azhar Jakarta, benteng perjuangan umat Islam menentang kebatilan di masa itu.

Setelah Panji Masyarakatterbit kembali pascajatuhnya Orde Lama dan kebangkitan Orde Baru 1966, Rusjdi Hamka diserahi tugas sebagai pemimpin redaksi Panji Masyarakat. Setelah wafatnya Buya Hamka pada 1981, Rusjdi Hamka sebagai pemimpin umum/pemimpin redaksi dan penanggung jawab Panji Masya rakatberusaha menjaga warisan umat sampai media kebanggaan umat Islam itu berhenti terbit sekitar pertengahan dekade 1990-an.

Andai kata ditanya pengalaman yang paling berkesan sebagai insan pers? Saya yakin jawab Rusjdi Hamka adalah pengalaman bersama Buya Hamka dan keluarga besar Bulan Bintang menerbitkan Panji Masyarakatdan Gema Islam. Di saat umat Islam terjepit dan terdesak serta dikucilkan dari gelanggang politik di bawah rezim yang telah sangat dipengaruhi komunis. Dalam situasi demikian Panji Masyarakatdan dilanjutkan Gema Islam memanggil umat untuk merapatkan barisan, memelihara, dan mempertahankan identitas umat Islam.

Kiprah Rusjdi Hamka sebagai tokoh pers Islam cukup dikenal luas mengingat majalah Panji Masyarakat mendapat tempat khusus di hati umat Islam In donesia dan bahkan sampai ke negeri jiran.

Sebagai pemimpin redaksi dan ke mudian pemimpin umum Panji Masyarakat, Rusjdi Hamka sering menulis rubrik tetap "Dari Hati Ke hati". Setelah wafatnya Buya Hamka, rubrik tersebut diisi secara bergantian oleh Rusjdi Hamka dan HM Yunan Nasution.

Rusjdi Hamka dan adik-adiknya sangat besar jasanya dalam melestarikan warisan pemikiran Buya Hamka, terutama di masa dia produktif menulis dan berkiprah di dunia penerbitan. Karangan Buya Hamka yang tersebar dihimpun oleh Rusjdi Hamka selaku ahli waris dan editor dengan dibantu adik-adiknya yang selanjutnya diterbitkan oleh Pustaka Panjimas. Tidak lama setelah Buya Hamka wafat, buku-buku karya Buya di cetak ulang di masa jaya Pustaka Panjimas.

Rusjdi Hamka adalah kader dan aktivis Muhammadiyah sejak usia remaja. Meski Buya Hamka adalah tokoh besar Muhammadiyah, tapi Rusjdi Hamka aktif di organisasi Muhammadiyah melalui jenjang organisasi dari bawah, yakni mulai dari tingkat cabang. Terakhir dalam Muktamar ke-41 Mu hammadiyah di Solo pada 1985, Rusjdi Hamka dipilih sebagai wakil sekretaris PP Muhammadiyah.

Di lingkungan Al-Azhar, almarhum me ngemban amanah sebagai ketua umum Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar Pusat selama satu periode.

Sampai wafatnya Drs H Rusjdi Hamka tercantum sebagai anggota pembina YPI Al-Azhar dan anggota Dewan Pembina Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Semasa sehatnya, almarhum juga mengisi jadwal khutbah dan ce ra mah Ramadhan di masjid yang tidak dapat dipisahkan dari nama besar Buya Hamka itu.

Beberapa kali menghadiri konferensi Islam Internasional di luar negeri, antara lain, Konferensi Masjid Sedunia di Makkah (1975), Muktamar Alam Islami di Siprus (1980). Pernah diundang Ke menterian Luar Negeri Jepang dalam rangka meninjau objek pendidikan pe mu da dan perkembangan Islam di Jepang.

Salah satu nasihat almarhum dituturkan oleh putranya, Yusran. "Belajarlah dari pengalaman hidup. Jangan hanya bangga membawa nama besar orang tua. Tapi, berbuatlah semampumu dan memberi manfaat bagi orang lain."

Rusjdi Hamka meninggalkan karya monumental, yaitu buku Pribadi dan Martabat Buya Hamka(1981). Perjuangan Buya Hamka, kehidupan pribadi dan keluarga Buya yang penuh teladan hingga detik-detik menjelang wafatnya Buya, serta dokumentasi jejak hayat Buya Hamka yang belum tersiar di ung kapkan oleh Rusjdi Hamka dalam buku setebal 300 halaman itu dengan gaya bahasa yang mengalir dan menyentuh di hati.

Masyarakat bertanya-tanya kenapa Buya Hamka tiba-tiba meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI sebelum habis masa jabatannya, Buya Hamka menjadi tahanan politik rezim Orde Lama hingga menulis Tafsir Al-Azhar. Semuanya ditulis Rusjdi Hamka yang merupakan saksi hidup perjuangan sang ayah.

Salah satu keteladanan Rusjdi Hamka, dia selalu menjaga bicaranya pada hal-hal yang perlu saja. Umat Islam Indonesia kehilangan seorang tokoh, saksi sejarah, dan penjaga warisan umat yang patut dikenang dan dilanjutkan jejak langkahnya. Semoga almarhum mendapat tempat kembali yang mulia di sisi Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar