Mengenang
Rusjdi Hamka
M Fuad Nasar ; Wakil Sekretaris Baznas, Alumni YISC Al-Azhar
|
REPUBLIKA,
27 September 2014
"Tidak
hanya keluarga Al-Azhar dan ke luarga Muhammadiyah yang merasa kehilangan
dengan kepergian beliau, tapi kita semua umat Islam dan seluruh bangsa
Indonesia kehilangan dengan wafatnya Bapak Rusjdi Hamka."
Demikian diungkapkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat memberi
sambutan pelepasan jenazah almarhum H Rusjdi Hamka seusai shalat Jumat dan
shalat jenazah di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,
Jumat (19/9).
Putra kedua almarhum Buya Prof Dr Hamka (ketua umum pertama Majelis Ula
ma Indonesia dan Pahlawan Nasional) dan paling banyak mengikuti perjalanan
hidup Buya Hamka itu mengembuskan napas terakhir pada Kamis 18 September
2014/23 Dzulqaidah 1435 H, pukul 13.20 WIB di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam
usia 79 tahun. Meninggalkan seorang istri (Hj Khasyi'ah Rasul) dan empat anak
(Yusran, Amalia, Amaluddin, Muhammad Ridha). Jenazah almarhum dimakamkan
Jumat siang di TPU Tanah Kusir, Jakarta, bersebelahan dengan makam almarhum
Buya Hamka.
Lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, 7 September 1935. Dalam usia
satu tahun Rusjdi dibawa ayahnya merantau ke Deli (Medan). Ketika agresi
Belanda kedua pada 1948, Rusjdi ikut menemani ayahnya bergerilya di pedalaman
Sumatra Tengah dalam rangka memberi penerangan kepada rakyat.
Tahun 1950 hijrah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan di sekolah
Muhammadiyah di Yogyakarta. Menjalani profesi sebagai wartawan sejak 1959
sebagai sekretaris redaksi majalah Panji Masyarakat yang didirikan oleh Buya
Hamka sampai media yang merupakan corong suara umat Islam itu pada 1960
dibreidel oleh rezim Orde Lama yang sangat dipengaruhi Partai Komunis
Indonesia (PKI). Panji Masyarakat, majalah Islam yang berpengaruh di masa
itu, dilarang terbit oleh penguasa karena menerbitkan tulisan Bung Hatta
berjudul "Demokrasi Kita". Bung Hatta lewat tulisannya mengkritisi
garis politik demokrasi terpimpinnya Presiden Sukarno.
Selama Panji Masyarakat berhenti terbit, beberapa tokoh umat Islam
dengan dukungan dari Jenderal AH Nasution, Letjen H Sudirman, dan Mayjen
Muchlas Rowi menerbitkan majalah Gema Islam. Rusjdi Hamka ditunjuk sebagai sekretaris
redaksi Gema Islam.
Baik Panji Masyarakat maupun Gema Islam, haluan dan jiwanya tetap
sama.Kedua majalah itu bermarkas di Masjid Agung Al-Azhar Jakarta, benteng
perjuangan umat Islam menentang kebatilan di masa itu.
Setelah Panji Masyarakatterbit kembali pascajatuhnya Orde Lama dan
kebangkitan Orde Baru 1966, Rusjdi Hamka diserahi tugas sebagai pemimpin
redaksi Panji Masyarakat. Setelah wafatnya Buya Hamka pada 1981, Rusjdi Hamka
sebagai pemimpin umum/pemimpin redaksi dan penanggung jawab Panji Masya
rakatberusaha menjaga warisan umat sampai media kebanggaan umat Islam itu
berhenti terbit sekitar pertengahan dekade 1990-an.
Andai kata ditanya pengalaman yang paling berkesan sebagai insan pers?
Saya yakin jawab Rusjdi Hamka adalah pengalaman bersama Buya Hamka dan
keluarga besar Bulan Bintang menerbitkan Panji Masyarakatdan Gema Islam. Di
saat umat Islam terjepit dan terdesak serta dikucilkan dari gelanggang
politik di bawah rezim yang telah sangat dipengaruhi komunis. Dalam situasi
demikian Panji Masyarakatdan dilanjutkan Gema Islam memanggil umat untuk
merapatkan barisan, memelihara, dan mempertahankan identitas umat Islam.
Kiprah Rusjdi Hamka sebagai tokoh pers Islam cukup dikenal luas
mengingat majalah Panji Masyarakat mendapat tempat khusus di hati umat Islam
In donesia dan bahkan sampai ke negeri jiran.
Sebagai pemimpin redaksi dan ke mudian pemimpin umum Panji Masyarakat,
Rusjdi Hamka sering menulis rubrik tetap "Dari Hati Ke hati".
Setelah wafatnya Buya Hamka, rubrik tersebut diisi secara bergantian oleh
Rusjdi Hamka dan HM Yunan Nasution.
Rusjdi Hamka dan adik-adiknya sangat besar jasanya dalam melestarikan
warisan pemikiran Buya Hamka, terutama di masa dia produktif menulis dan
berkiprah di dunia penerbitan. Karangan Buya Hamka yang tersebar dihimpun
oleh Rusjdi Hamka selaku ahli waris dan editor dengan dibantu adik-adiknya
yang selanjutnya diterbitkan oleh Pustaka Panjimas. Tidak lama setelah Buya
Hamka wafat, buku-buku karya Buya di cetak ulang di masa jaya Pustaka
Panjimas.
Rusjdi Hamka adalah kader dan aktivis Muhammadiyah sejak usia remaja.
Meski Buya Hamka adalah tokoh besar Muhammadiyah, tapi Rusjdi Hamka aktif di
organisasi Muhammadiyah melalui jenjang organisasi dari bawah, yakni mulai
dari tingkat cabang. Terakhir dalam Muktamar ke-41 Mu hammadiyah di Solo pada
1985, Rusjdi Hamka dipilih sebagai wakil sekretaris PP Muhammadiyah.
Di lingkungan Al-Azhar, almarhum me ngemban amanah sebagai ketua umum
Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar Pusat selama satu periode.
Sampai wafatnya Drs H Rusjdi Hamka tercantum sebagai anggota pembina
YPI Al-Azhar dan anggota Dewan Pembina Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII). Semasa sehatnya, almarhum juga mengisi jadwal khutbah dan ce ra mah
Ramadhan di masjid yang tidak dapat dipisahkan dari nama besar Buya Hamka
itu.
Beberapa kali menghadiri konferensi Islam Internasional di luar negeri,
antara lain, Konferensi Masjid Sedunia di Makkah (1975), Muktamar Alam Islami
di Siprus (1980). Pernah diundang Ke menterian Luar Negeri Jepang dalam rangka
meninjau objek pendidikan pe mu da dan perkembangan Islam di Jepang.
Salah satu nasihat almarhum dituturkan oleh putranya, Yusran.
"Belajarlah dari pengalaman hidup. Jangan hanya bangga membawa nama
besar orang tua. Tapi, berbuatlah semampumu dan memberi manfaat bagi orang
lain."
Rusjdi Hamka meninggalkan karya monumental, yaitu buku Pribadi dan
Martabat Buya Hamka(1981). Perjuangan Buya Hamka, kehidupan pribadi dan
keluarga Buya yang penuh teladan hingga detik-detik menjelang wafatnya Buya,
serta dokumentasi jejak hayat Buya Hamka yang belum tersiar di ung kapkan
oleh Rusjdi Hamka dalam buku setebal 300 halaman itu dengan gaya bahasa yang
mengalir dan menyentuh di hati.
Masyarakat bertanya-tanya kenapa Buya Hamka tiba-tiba meletakkan
jabatan sebagai ketua umum MUI sebelum habis masa jabatannya, Buya Hamka
menjadi tahanan politik rezim Orde Lama hingga menulis Tafsir Al-Azhar. Semuanya ditulis Rusjdi Hamka yang merupakan
saksi hidup perjuangan sang ayah.
Salah satu keteladanan Rusjdi Hamka, dia selalu menjaga bicaranya pada
hal-hal yang perlu saja. Umat Islam Indonesia kehilangan seorang tokoh, saksi
sejarah, dan penjaga warisan umat yang patut dikenang dan dilanjutkan jejak
langkahnya. Semoga almarhum mendapat tempat kembali yang mulia di sisi Allah
SWT. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar