Senin, 29 September 2014

Ketika Hak Rakyat Dirampok

Ketika Hak Rakyat Dirampok

Garin Nugroho  ;   Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS,  28 September 2014

                                                                                                                       


BAGI ahli antropologi politik, salah satu cara terbaik membaca sebuah gejala politik, termasuk hubungan rakyat dengan elite politik, adalah lewat kajian terhadap beragam olok-olok sebagai bagian dari folklore, yang muncul di media sosial ataupun beragam ruang publik suatu bangsa. Simaklah olok-olok tentang kandidat presiden di pemilu hingga olok-olok terhadap sebuah gejala sosial hingga politik.

Oleh karena itu, sungguh menarik membaca olok-olok terhadap Dewan Perwakilan Rakyat yang dipelesetkan di beberapa ruang publik atau media sosial menjadi Dewan Perampok Rakyat, berkait persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, ketika menyetujui perubahan pilkada langsung menjadi pilkada melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Para ahli antropologi politik membaca bahwa olok-olok adalah ruang katarsis kemarahan ataupun perlawanan rakyat terhadap sebuah peristiwa yang menepikan suara keadilan rakyat. Olok-olok tidak saja katarsis, namun juga menjadi medium sindiran alias kritik tajam terhadap rasa keadilan yang terjadi, namun sekaligus ruang kebersamaan dalam budaya warung kopi untuk melakukan perlawanan layaknya atmosfer pantun berbalas pantun dalam pesta tradisi. Maka, selayaknya anggota DPR menyisakan waktu membaca beragam olok-olok berkait keputusan pilkada lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut.

Jika dirunut ke belakang, terbaca begitu banyaknya olok-olok berkait DPR, dari beragam olok-olok tentang studi banding hingga tentang fasilitas mewah serta potret tertidur maupun ruang kosong anggota DPR terhormat ketika sidang berlangsung.

Olok-olok terhadap kinerja DPR sesungguhnya menjadi peta kritik. Sekiranya olok-olok tidak dijadikan peta untuk melakukan kritik diri sendiri, maka janganlah kaget, suatu waktu olok-olok menjadi gelombang protes besar penutupan DPR.

Sejarah mencatat, bahasa tubuh perlawanan masyarakat Indonesia, tidak dalam hukum linier, dari mengkritik-menggugat dan turun jalanan, namun justru dari atmosfer kritik berubah menjadi olok -olok yang dipuncaki oleh gelombang protes rakyat, yang tidak bisa dibedakan antara protes masa damai dengan amuk.

Olok-olok DPR sebagai Dewan Perampokan Rakyat sesungguhnya mencerminkan penyakit terbesar dalam demokrasi di Indonesia. Yakni diawali dengan demokrasi terbesar lewat pemilu, namun kemudian ketika suara rakyat direpresentasikan lewat yang terpilih dalam organisasi pemerintahan, suara rakyat tidak lagi mengontrol langsung dan tak lagi diperlukan, maka elite politik di lembaga-lembaga pemerintahan mampu melakukan keputusan tanpa perlu langsung persetujuan rakyat, inilah momentum dan cara atas nama demokrasi merampok cita-cita rakyat untuk kebutuhan politik atau pribadi. Jangan heran, politikus sering disebut domba berbulu serigala, menjadi domba ketika menjadi kandidat pemilu, menjadi serigala ketika menjadi pejabat.

Agaknya, keputusan pilkada lewat DPRD menunjukkan bahwa cita-cita lewat pemilu dengan praktik politik pemerintahan masih penuh kontradiktif serta manipulatif yang menjadi tragedi demokrasi hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar