Ketika
Hak Rakyat Dirampok
Garin Nugroho ; Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
|
KOMPAS,
28 September 2014
BAGI ahli antropologi politik, salah satu cara terbaik membaca sebuah
gejala politik, termasuk hubungan rakyat dengan elite politik, adalah lewat
kajian terhadap beragam olok-olok sebagai bagian dari folklore, yang muncul
di media sosial ataupun beragam ruang publik suatu bangsa. Simaklah olok-olok
tentang kandidat presiden di pemilu hingga olok-olok terhadap sebuah gejala
sosial hingga politik.
Oleh karena itu, sungguh menarik membaca olok-olok terhadap Dewan
Perwakilan Rakyat yang dipelesetkan di beberapa ruang publik atau media
sosial menjadi Dewan Perampok Rakyat,
berkait persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah,
ketika menyetujui perubahan pilkada langsung menjadi pilkada melalui Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Para ahli antropologi politik membaca bahwa olok-olok adalah ruang
katarsis kemarahan ataupun perlawanan rakyat terhadap sebuah peristiwa yang
menepikan suara keadilan rakyat. Olok-olok tidak saja katarsis, namun juga
menjadi medium sindiran alias kritik tajam terhadap rasa keadilan yang
terjadi, namun sekaligus ruang kebersamaan dalam budaya warung kopi untuk
melakukan perlawanan layaknya atmosfer pantun berbalas pantun dalam pesta
tradisi. Maka, selayaknya anggota DPR menyisakan waktu membaca beragam
olok-olok berkait keputusan pilkada lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut.
Jika dirunut ke belakang, terbaca begitu banyaknya olok-olok berkait
DPR, dari beragam olok-olok tentang studi banding hingga tentang fasilitas
mewah serta potret tertidur maupun ruang kosong anggota DPR terhormat ketika
sidang berlangsung.
Olok-olok terhadap kinerja DPR sesungguhnya menjadi peta kritik.
Sekiranya olok-olok tidak dijadikan peta untuk melakukan kritik diri sendiri,
maka janganlah kaget, suatu waktu olok-olok menjadi gelombang protes besar
penutupan DPR.
Sejarah mencatat, bahasa tubuh perlawanan masyarakat Indonesia, tidak
dalam hukum linier, dari mengkritik-menggugat dan turun jalanan, namun justru
dari atmosfer kritik berubah menjadi olok -olok yang dipuncaki oleh gelombang
protes rakyat, yang tidak bisa dibedakan antara protes masa damai dengan
amuk.
Olok-olok DPR sebagai Dewan
Perampokan Rakyat sesungguhnya mencerminkan penyakit terbesar dalam
demokrasi di Indonesia. Yakni diawali dengan demokrasi terbesar lewat pemilu,
namun kemudian ketika suara rakyat direpresentasikan lewat yang terpilih
dalam organisasi pemerintahan, suara rakyat tidak lagi mengontrol langsung
dan tak lagi diperlukan, maka elite politik di lembaga-lembaga pemerintahan
mampu melakukan keputusan tanpa perlu langsung persetujuan rakyat, inilah
momentum dan cara atas nama demokrasi merampok cita-cita rakyat untuk
kebutuhan politik atau pribadi. Jangan heran, politikus sering disebut domba
berbulu serigala, menjadi domba ketika menjadi kandidat pemilu, menjadi
serigala ketika menjadi pejabat.
Agaknya, keputusan pilkada lewat DPRD menunjukkan bahwa cita-cita lewat
pemilu dengan praktik politik pemerintahan masih penuh kontradiktif serta
manipulatif yang menjadi tragedi demokrasi hari ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar