Kebangkitan
“Partycracy”
Indra J Piliang ; Direktur Eksekutif Sang Gerilya Institute
|
KORAN
JAKARTA, 27 September 2014
RUU Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) sudah ditetapkan menjadi UU dalam
Sidang Paripurna DPR. Satu pasal yang mengundang polemik dan menyita
perhatian, yakni pilkada lewat DPRD atau langsung dipilih rakyat, telah
diambil keputusannya melalui mekanisme pemungutan suara yang dimenangi kubu
pemilihan lewat DPRD. Mayoritas publik mengecam keputusan ini. Berbagai hasil
survei tidak lagi menjadi acuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
Dalam debat publik, plus-minus pemilihan lewat DPRD atau langsung sudah
banyak digelar. Beberapa argumen terjebak dalam persoalan kapital. Misalnya,
pembiayaan pilkada langsung atau kasus korupsi kepala-kepala daerah. Apabila
diperhatikan, argumen itu sama sekali tidak berkaitan langsung dengan
mekanisme pilkada. Sebagian argumen itu lari ke arah UU Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah serta Dana Alokasi Umum yang dikirimkan ke daerah. Belum
lagi gaji kepala daerah yang tidak sebanding dengan beban kerjanya.
Masalahnya, debat-debat substantif itu sama sekali bukan bagian dari
proses politik. Kebanyakan malah masuk pada pertarungan politik segi tiga
antara kubu pendukung Jokowi-JK, Koalisi Merah Putih, dan SBY (Partai
Demokrat). Kubu-kubuan itu terbentuk akibat proses politik selama pemilihan
presiden dan wakil presiden lalu. Terpecahnya suara Partai Golkar memberikan
fakta yang paling terang benderang di luar sikap yang dimunculkan sebagian
anggota DPR dari Partai Demokrat. Kepentingan setiap kubu terlihat dominan
yang sama sekali terlepas dari upaya memperbaiki sistem demokrasi.
Fenomena yang paling anyar adalah kebangkitan partycracy (kedaulatan di tangan partai) ketimbang demokrasi
(kedaulatan di tangan rakyat). Keputusan politik sama sekali berlandaskan
kesepakatan dari sejumlah elite yang terbatas ketimbang dilandasi suara
rakyat. Partycracy menjadi bangkit
akibat kegagalan sejumlah elite untuk meraih posisi politik di pemerintahan,
yakni dikalahkan dalam panggung elektoral.
Populisme yang terjadi akibat praksis pemilihan langsung ternyata tak
sesuai dengan posisi politik dari tokoh-tokoh yang merasa memiliki kemampuan
lebih. Pemimpin partai-partai politik bertumbangan, padahal merasa sudah
membesarkan partai masing-masing selama lima tahun.
Partycracy menjadi kuat di Indonesia akibat mandat yang diberikan UUD
1945 hasil amendemen. Kalau dulu dikenal sebutan mandataris MPR untuk presiden,
kini yang terjadi adalah mandataris konstitusi untuk partai politik. Ulasan
soal ini sudah banyak. Seorang presiden yang mungkin saja dipilih 90 persen
rakyat sama sekali tidak akan berdaya apabila berseberangan dengan DPR.
Desain ketatanegaraan yang begitu pro pad
partai-partai politik ini makin disadari kalangan politisi. Kecuali dilakukan
amendemen terhadap konstitusi, sama sekali tidak ada celah untuk melemahkan
kedudukan partai politik.
Perlu
Diasah
Dari dua kekalahan yang diderita kubu pendukung Jokowi-JK, yakni
pengesahan UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan UU tentang Pilkada
ini, sudah terbukti kelemahan yang dihadapi. Sense of politics Jokowi-JK perlu kian diasah. Jangankan
Jokowi-JK yang didukung partai-partai politik minoritas di DPR, bahkan
SBY-Boediono yang didukung kekuatan mayoritas tetap saja menghadapi tantangan
yang sulit.
Terbukti Sekretariat Gabungan yang dipimpin SBY sendiri kurang bisa
mengendalikan DPR dalam isu Bank Century, Pajak, dan kenaikan harga bahan
bakar minyak. SBY berkali-kali dikecewakan partai-partai politik yang
sebagian pemimpinnya justru menjadi anggota kabinet.
Bisa dibayangkan kesulitan yang dihadapi Jokowi-JK karena lebih sedikit
didukung partai-partai politik di DPR. Paradigma sebagai orang profesional
atau orang partai benar-benar menghadapi ujian. Apakah profesionalisme
betul-betul menjadi pilihan tepat atau hanya menjadi kelompok yang bisa
dikendalikan penuh politisi? Partycracy
memungkinkan pengendalian atas minimal dua lembaga, yakni kepresidenan
(termasuk kepala-kepala daerah) dan parlemen (baik nasional atau lokal). Dua
lembaga itu memiliki hak konstitusional, mulai dari regulasi sampai
implementasi, termasuk perekrutan sumber daya manusia.
Menguatnya partycracy membawa
pengaruh pada melemahnya civil society.
Yang juga disaksikan adalah kembar siam antara partycracy (political
society) dan kelompok bisnis (business
community). Antara politik dan bisnis tidak lagi dipisahkan mengingat
pemimpin partai politik berasal dari kelompok bisnis yang memiliki sumber
pembiayaan otonom.
Apalagi satu unsur civil society
juga ikut dimasuki, yakni media massa. Pola segi tiga antara civil society, political society, dan business community tidak lagi
berjarak, melainkan saling berimpit. Dari kembar dua menjadi tiga? Sungguh
berita buruk.
Bagi mereka yang hidup di pengujung era Orde baru, tentu sangat
menyadari betapa Kamus Bahasa Orde Baru perlu dipelajari lagi. Sejak pemilu
legislatif, pemilu presiden, sampai perdebatan di DPR, bahasa sejenis kian
dipakai. Padahal, Orde Baru adalah rezim yang sama sekali tidak percaya pada
partai-partai politik. Periode ini dimulai sejak Dekrit Presiden Soekarno
pada 5 Juli 1959. Masalahnya, kamus itu justru dipakai petinggi-petinggi
partai politik. Artinya? Wajah Orde Baru seolah demokratis, tetapi
sesungguhnya tidak. Monopoli berubah menjadi oligopoli.
Bibit-bibit partycracy yang berkecambah dan bercabang-cabang ini tidak
muncul dengan sendirinya. Ia datang dari proses lama. Terdapat persoalan
psikologi politik, bahkan arkeologi politik, dalam perseteruan para elite.
Ada masalah yang tidak selesai di masa lalu, termasuk berkaitan dengan orang
tua tiap-tiap elite. Masalah ini jarang dibicarakan, tetapi selalu hadir
dalam setiap bisik-bisik di belakang layar.
Bangsa dan negara hanya ornamen bagi perebutan pengaruh dan
kepentingan. Selera dan penilaian pribadi mengalahkan kepentingan lebih luas.
Walau politik aliran dianggap sudah berakhir, warna politik identitas justru
kian terlihat dan terbaca. Celakanya, politik identitas menjadi sangat
personal, menyangkut persaingan sejumlah keluarga politik di Tanah Air.
Perebutan hegemoni ini tentu tak menghasilkan rakyat sebagai pemenang.
Seluruh elite politik sadar betapa lahan berkembangnya demokrasi masih
terlalu kering. Dua syarat masyarakat demokratis belum terpenuhi, yakni
lapisan kaum terpelajar yang tebal dan kaum menengah ekonomi yang kuat.
Mayoritas masyarakat Indonesia berpendidikan rendah dan berpenghasilan
minim. Kondisi seperti itu menyibukkan mereka untuk mencari penghidupan yang
layak ketimbang memikirkan persoalan-persoalan besar secara mendalam.
Partycracy adalah
sebuah rezim. Ketika feodalisme masih kuat, kaum borjuis mengendalikan
demokrasi, dan para pembangkang berjumlah minoritas. Partycracy adalah buah busuk yang dipetik dari tanah kering dan
hama yang banyak akibat kemiskinan ilmu pengetahuan. Mau tidak mau, suka
tidak suka, Indonesia berada dalam fase yang pernah dihadapi Amerika Serikat
pada tahun 1930-an. Apa kita menyerah? Tidak! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar