Ekstrak
Hukuman untuk Koruptor
Emerson Yuntho ; Anggota
Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS,
27 September 2014
TIDAK hanya
kulit manggis, ternyata hukuman untuk koruptor sekarang ada juga ekstraknya.
Kecuali bagi koruptor, tentu saja ini bukan kabar gembira untuk kita semua.
Salah satu cara mengekstrak hukuman untuk koruptor adalah melalui pemberian
remisi dan pembebasan bersyarat. Setidaknya dengan dua cara itu, koruptor tak
perlu menjalani seluruh hukuman penjara sesuai dengan perintah hakim. Jika
remisi dan pembebasan bersyarat diperoleh, koruptor cukup menjalani setengah
atau dua per tiga dari hukuman yang seharusnya.
Kabar terbaru
penerima ekstrak hukuman melalui pembebasan bersyarat yang dinilai
kontroversial adalah Hartati Murdaya, terpidana perkara korupsi penyuapan
terhadap Bupati Buol Amran Batalipu. Pada 4 Februari 2013, oleh hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Hartati dinyatakan bersalah karena
secara bersama-sama melakukan suap dan dihukum selama 2 tahun 8 bulan
penjara. Jika mendasarkan pada putusan hakim, tanpa adanya remisi dan
pembebasan bersyarat, Hartati seharusnya baru bisa bebas akhir 2015.
Namun, yang
mengejutkan, beberapa hari lalu Hartati keluar lebih cepat dari penjara
karena mendapat pembebasan bersyarat dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
(HAM) Amir Syamsuddin. Pihak Kementerian Hukum dan HAM menyatakan bahwa
Hartati telah memenuhi syarat dan prosedur untuk mendapatkan pembebasan
bersyarat.
Apakah betul
pembebasan bersyarat terhadap Hartati Murdaya sudah memenuhi syarat atau
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku? Ketentuan tentang pembebasan
bersyarat untuk korup- tor diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 99
Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32
Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan atau PP No 99/2012.
Pada saat PP
No 99/2012 diterbitkan, pemerintah mengklaim bahwa regulasi ini merupakan
upaya pemerintah mendukung upaya pemberantasan korupsi. PP No 99/2012
mengatur pengetatan terhadap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk
pelaku tindak pidana korupsi.
Dalam Pasal 43
A Ayat 1 Huruf a PP No 99/2012 disebutkan bahwa selain telah menjalani 2/3
masa pidananya, salah satu syarat penting bagi seorang narapidana korupsi
untuk mendapatkan pembebasan bersyarat adalah narapidana tersebut bersedia
bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak
pidana yang dilakukannya.
Selanjutnya,
Pasal 43 A Ayat 3 jelas menyebutkan, ”Kesediaan untuk bekerja sama
sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf a harus dinyatakan secara tertulis
oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Lalu, Pasal 43 B pada intinya menyebutkan, Direktur
Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan kepada Menteri Hukum
dan HAM wajib meminta rekomendasi dari instansi terkait, yakni Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan/atau Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), dalam hal narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana
korupsi.
Nyata-nyata menolak
KPK, sebagai
institusi yang menangani perkara korupsi yang melibatkan Hartati, sudah
nyata-nyata menolak kapasitas Hartati sebagai justice collaborator. Komisi
anti korupsi ini juga menolak memberikan rekomendasi agar Hartati mendapatkan
pembebasan bersyarat. Artinya, berdasarkan PP No 99/2012, syarat pembebasan
bersyarat untuk Hartati tidak terpenuhi alias batal demi hukum. Dengan demikian,
Menteri Hukum dan HAM yang paham hukum seharusnya tidak perlu ragu
membatalkan surat keputusan tentang pemberian pembebasan bersyarat untuk
Hartati.
Remisi dan
pembebasan bersyarat untuk seorang koruptor, termasuk dalam hal ini Hartati
Murdaya, sangat mengecewakan dan merupakan cermin buruk bagi upaya
pemberantasan korupsi. Komitmen pemberantasan korupsi pemerintah, khususnya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dapat dikatakan sudah luntur.
Masyarakat
masih ingat bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan jajarannya pernah
menyatakan tidak akan kompromi terhadap koruptor. Namun, adanya pemberian
remisi dan juga pembebasan bersyarat bagi koruptor justru menunjukkan bahwa
pemerintah telah berkompromi, bahkan memberikan keistimewaan bagi terpidana
korupsi ini.
Kondisi ini
juga sangat ironis dan bertolak belakang dengan upaya pemberantasan korupsi
yang dilakukan institusi penegak hukum. Pada saat KPK berjuang memberantas
korupsi dan menjebloskan koruptor ke penjara, justru yang terjadi Menteri Hukum
dan HAM terkesan berjuang agar koruptor segera dibebaskan dari penjara
ataupun mengurangi hukumannya.
Masih ada waktu untuk SBY
Tentu saja KPK
adalah pihak yang dirugikan oleh kebijakan yang dinilai tidak pro
pemberantasan korupsi ini. Data Indonesia Corruption Watch hingga Agustus
2014 mengungkapkan sedikitnya sudah 26 terpidana korupsi, yang kasusnya
ditangani oleh KPK, mendapatkan pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum
dan HAM. Beberapa narapidana perkara korupsi, seperti Abdullah Puteh, Artalyta
Suryani, Suwarna Abdul Fatah, Aulia Pohan, Rokhmin Dahuri, dan Rusdiharjo,
pernah mendapatkan ekstrak hukuman melalui pembebasan bersyarat. Mereka dapat
menghirup udara bebas lebih cepat daripada waktu yang ditentukan hakim.
Masih ada
waktu tersisa bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuktikan janji
sebagai pemimpin paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi dan tidak
akan kompromi terhadap koruptor. Presiden Yudhoyono wajib melakukan koreksi
atas kesalahan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM selaku bawahan
Presiden dengan membatalkan pembebasan bersyarat untuk Hartati.
Jika koreksi
tidak dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono nantinya akan dikenang buruk di mata rakyat sebagai pemerintahan
yang tidak mendukung KPK dan pemberantasan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar