Sabtu, 27 September 2014

Ekstrak Hukuman untuk Koruptor

Ekstrak Hukuman untuk Koruptor

Emerson Yuntho ;   Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
KOMPAS, 27 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

TIDAK hanya kulit manggis, ternyata hukuman untuk koruptor sekarang ada juga ekstraknya. Kecuali bagi koruptor, tentu saja ini bukan kabar gembira untuk kita semua. Salah satu cara mengekstrak hukuman untuk koruptor adalah melalui pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Setidaknya dengan dua cara itu, koruptor tak perlu menjalani seluruh hukuman penjara sesuai dengan perintah hakim. Jika remisi dan pembebasan bersyarat diperoleh, koruptor cukup menjalani setengah atau dua per tiga dari hukuman yang seharusnya.

Kabar terbaru penerima ekstrak hukuman melalui pembebasan bersyarat yang dinilai kontroversial adalah Hartati Murdaya, terpidana perkara korupsi penyuapan terhadap Bupati Buol Amran Batalipu. Pada 4 Februari 2013, oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Hartati dinyatakan bersalah karena secara bersama-sama melakukan suap dan dihukum selama 2 tahun 8 bulan penjara. Jika mendasarkan pada putusan hakim, tanpa adanya remisi dan pembebasan bersyarat, Hartati seharusnya baru bisa bebas akhir 2015.

Namun, yang mengejutkan, beberapa hari lalu Hartati keluar lebih cepat dari penjara karena mendapat pembebasan bersyarat dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Amir Syamsuddin. Pihak Kementerian Hukum dan HAM menyatakan bahwa Hartati telah memenuhi syarat dan prosedur untuk mendapatkan pembebasan bersyarat.

Apakah betul pembebasan bersyarat terhadap Hartati Murdaya sudah memenuhi syarat atau sesuai dengan aturan hukum yang berlaku? Ketentuan tentang pembebasan bersyarat untuk korup- tor diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan atau PP No 99/2012.

Pada saat PP No 99/2012 diterbitkan, pemerintah mengklaim bahwa regulasi ini merupakan upaya pemerintah mendukung upaya pemberantasan korupsi. PP No 99/2012 mengatur pengetatan terhadap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk pelaku tindak pidana korupsi.

Dalam Pasal 43 A Ayat 1 Huruf a PP No 99/2012 disebutkan bahwa selain telah menjalani 2/3 masa pidananya, salah satu syarat penting bagi seorang narapidana korupsi untuk mendapatkan pembebasan bersyarat adalah narapidana tersebut bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.

Selanjutnya, Pasal 43 A Ayat 3 jelas menyebutkan, ”Kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Lalu, Pasal 43 B pada intinya menyebutkan, Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan kepada Menteri Hukum dan HAM wajib meminta rekomendasi dari instansi terkait, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam hal narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.

Nyata-nyata menolak

KPK, sebagai institusi yang menangani perkara korupsi yang melibatkan Hartati, sudah nyata-nyata menolak kapasitas Hartati sebagai justice collaborator. Komisi anti korupsi ini juga menolak memberikan rekomendasi agar Hartati mendapatkan pembebasan bersyarat. Artinya, berdasarkan PP No 99/2012, syarat pembebasan bersyarat untuk Hartati tidak terpenuhi alias batal demi hukum. Dengan demikian, Menteri Hukum dan HAM yang paham hukum seharusnya tidak perlu ragu membatalkan surat keputusan tentang pemberian pembebasan bersyarat untuk Hartati.

Remisi dan pembebasan bersyarat untuk seorang koruptor, termasuk dalam hal ini Hartati Murdaya, sangat mengecewakan dan merupakan cermin buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. Komitmen pemberantasan korupsi pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dapat dikatakan sudah luntur.

Masyarakat masih ingat bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan jajarannya pernah menyatakan tidak akan kompromi terhadap koruptor. Namun, adanya pemberian remisi dan juga pembebasan bersyarat bagi koruptor justru menunjukkan bahwa pemerintah telah berkompromi, bahkan memberikan keistimewaan bagi terpidana korupsi ini.

Kondisi ini juga sangat ironis dan bertolak belakang dengan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan institusi penegak hukum. Pada saat KPK berjuang memberantas korupsi dan menjebloskan koruptor ke penjara, justru yang terjadi Menteri Hukum dan HAM terkesan berjuang agar koruptor segera dibebaskan dari penjara ataupun mengurangi hukumannya.

Masih ada waktu untuk SBY

Tentu saja KPK adalah pihak yang dirugikan oleh kebijakan yang dinilai tidak pro pemberantasan korupsi ini. Data Indonesia Corruption Watch hingga Agustus 2014 mengungkapkan sedikitnya sudah 26 terpidana korupsi, yang kasusnya ditangani oleh KPK, mendapatkan pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan HAM. Beberapa narapidana perkara korupsi, seperti Abdullah Puteh, Artalyta Suryani, Suwarna Abdul Fatah, Aulia Pohan, Rokhmin Dahuri, dan Rusdiharjo, pernah mendapatkan ekstrak hukuman melalui pembebasan bersyarat. Mereka dapat menghirup udara bebas lebih cepat daripada waktu yang ditentukan hakim.

Masih ada waktu tersisa bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuktikan janji sebagai pemimpin paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi dan tidak akan kompromi terhadap koruptor. Presiden Yudhoyono wajib melakukan koreksi atas kesalahan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM selaku bawahan Presiden dengan membatalkan pembebasan bersyarat untuk Hartati.

Jika koreksi tidak dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono nantinya akan dikenang buruk di mata rakyat sebagai pemerintahan yang tidak mendukung KPK dan pemberantasan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar