Keterbukaan
Informasi Pemerintahan Baru
Rumadi ; Komisioner Komisi Informasi Pusat,
Dosen
FSH UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
KOMPAS,
29 September 2014
HARUS
diakui, agenda keterbukaan informasi pemerintahan baru kurang mendapat
perhatian publik. Padahal, keterbukaan informasi adalah salah satu prasyarat
penting kualitas kehidupan berdemokrasi sekaligus sarana untuk mencegah
korupsi. Hipotesanya, negara yang semakin terbuka informasinya semakin rendah
tingkat korupsinya.
Sebenarnya,
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahap ke-3
(2015-2019), agenda keterbukaan informasi terlihat meskipun samar. Dalam isu
strategis bidang politik dan komunikasi, salah satu sasaran adalah
peningkatan akses masyarakat terhadap informasi publik. Hal ini menunjukkan
keterbukaan informasi yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
menjadi salah satu agenda penting dalam pembangunan lima tahun ke depan.
RPJPN
tahap ke-3 itu juga sudah merumuskan sejumlah strategi untuk mencapai
sasaran, antara lain: 1) intervensi kebijakan/ regulasi untuk meningkatkan
akses masyarakat terhadap informasi publik dan menjamin kebebasan
berpendapat; 2) kebijakan mainstreaming open government dalam pelaksanaan
pembangunan; 3) peningkatan kualitas konten informasi publik; 4) peningkatan
sistem informasi dan sarana/prasarana akses informasi publik; 5) penguatan
lembaga quasi pemerintah bidang komunikasi dan informasi.
Bagaimana
mempertemukan RPJPN tahap ke-3 dengan visi dan misi presiden terpilih?
Visi keterbukaan
Dalam
visi-misi presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla, persoalan yang terkait
dengan keterbukaan informasi bisa dilacak dalam sembilan agenda prioritas.
Poin
kedua menyebutkan, pemerintah akan membangun tata kelola pemerintahan yang
transparan, bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya.
Caranya,
dengan meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan
pemerintahan pusat dan daerah; mewajibkan setiap unit pemerintah untuk membuat
laporan kinerja, serta membuka akses informasi publik.
Agenda
ini dijabarkan dalam tujuh prioritas: 1) menjalankan UU Keterbukaan Informasi
Publik (KIP); 2) meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di
lingkungan instansi pemerintah; 3) mewajibkan instansi pemerintah membuat
laporan kinerja dan membuka akses informasi publik; 4) mendorong partisipasi
masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; 5) menjamin hak warga
negara untuk mengetahui rencana kebijakan publik; 6) menata kembali frekuensi
penyiaran; dan 7) mendorong inovasi teknologi informasi dan komunikasi.
Untuk
mewujudkan, perlu konsistensi dan kepemimpinan yang kuat. Sepuluh tahun
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya sudah mengupayakan itu
semua meskipun konsistensi dan kepemimpinannya bisa dipersoalkan.
Sejak UU
Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP diimplementasikan pada tahun 2010, secara
kelembagaan lembaga-lembaga pemerintah berupaya memenuhi tuntutan UU dengan
membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Salah satu
tugasnya adalah mengelola dan memberikan layanan permohonan informasi
meskipun pada praktiknya masih sekadar formalitas.
Pemerintah
provinsi juga sudah membentuk Komisi Informasi yang salah satu tugasnya
adalah menyelesaikan sengketa informasi publik. Sayangnya, hingga sekarang,
masih ada sepuluh provinsi yang belum membentuk Komisi Informasi. Komisi
Informasi yang ada pun belum semua berfungsi maksimal.
Beberapa
bulan Maret lalu, Presiden SBY juga mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Inpres
ini merupakan implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012
tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang
Tahun 2012-2025. Inpres ini ditujukan kepada seluruh menteri, pimpinan
lembaga negara, gubernur, hingga wali kota/bupati.
Ada juga
Rencana Aksi yang terkait pelaksanaan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP di
mana seluruh kementerian dan lembaga menjadi penanggung jawab. Salah satu
yang menjadi fokus adalah pembentukan dan penguatan PPID, adanya standard
operating procedure (SOP) layanan informasi publik dan terimplementasi dengan
baik, serta semua badan publik memiliki daftar informasi publik yang
dipublikasikan melalui situs web.
Tampaklah
bahwa ada titik temu antara visi-misi presiden terpilih dan agenda
keterbukaan informasi publik yang terintegrasi dalam Rencana Aksi Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi.
Hilangkan paradoks
Sebagaimana
disinggung di awal tulisan, antara keterbukaan dan pemberantasan korupsi
seharusnya berkorelasi positif. Pemerintahan yang semakin terbuka, menurunkan
tingkat korupsinya. Namun, tampaknya di Indonesia masih paradoks.
Jika
melihat data dari Open Budget Indeks
(OBI) tahun 2012, tingkat keterbukaan informasi Indonesia, terutama dalam hal
anggaran, terbilang baik dengan skor 62, lebih baik daripada skor tahun 2010
yang hanya 51. Indonesia menjadi negara terbaik di Asia Tenggara tingkat
keterbukaannya dan nomor dua di Asia setelah Korea Selatan.
Namun,
hal ini tidak berbanding lurus dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Data
yang dikeluarkan Transparansi Internasional menunjukkan IPK Indonesia masih
memprihatinkan. Skor IPK Indonesia tahun 2013 masih di peringkat ke-114. Ini
jauh di bawah Singapura (86), Hongkong (75), Taiwan (61), Korea Selatan (55),
dan Tiongkok (40). Di ASEAN, skor Indonesia jauh di bawah Brunei (60) dan
Malaysia (50). Indonesia sedikit di bawah Filipina (36) dan Thailand (35).
Berdasarkan
data tersebut, salah satu agenda penting yang harus diwujudkan pemerintahan
baru ke depan adalah bagaimana agar keterbukaan informasi berpengaruh pada
IPK. Harus dikatakan, keterbukaan informasi Indonesia masih sebatas aksesori
demokrasi, belum menyentuh substansi demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar