Sabtu, 27 September 2014

Muhabalah Anas

Muhabalah Anas

Reza Indragiri Amriel ;   Alumnus psikologi forensik The University of Melbourne, Konsultan dalam berbagai program pengembangan kompetensi yudisial
JAWA POS, 26 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PERSIDANGAN Anas Urbaningrum telah ”berakhir”. Sengaja diberi tanda petik karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan banding atas putusan hakim delapan tahun penjara, denda Rp 300 juta, serta ganti rugi Rp 57,5 miliar dan USD 5,2 juta. Ada dua catatan penting terkait dengan sidang pemungkas di gedung pengadilan tipikor pada Rabu itu. Keduanya berasal dari lalu lintas pembicaraan sesaat menjelang dan sesaat setelah majelis hakim menjatuhkan vonis atas Anas.

Bahaya Tingkat Tinggi

Pertama, majelis hakim menyebut Anas melakukan korupsi secara ”berlanjut” dan tindakan pencucian ulang secara ”berulang-ulang”. ”Berlanjut” dan ”berulang-ulang” menunjukkan betapa Anas telah menjadikan aksi kejahatan luar biasanya sebagai suatu karir. Anas berhasil berulang-ulang melakukan tindak kejahatan sedemikian rupa sebagai akibat dari kian fasihnya dia dalam mendesain aksinya. Persis penjahat profesional; berawal dari status penjahat pemula, namun setelah melalui proses belajar, modus kejahatan Anas kian canggih.

”Lambatnya” penghentian terhadap operasi kriminalitas Anas berimplikasi buruk jika dikaitkan dengan ramalan tentang prospek perubahan tabiat Anas kelak, setelah masa hukumannya usai. Berbagai studi tentang residivisme menyimpulkan, semakin lambat intervensi dilakukan agar pelaku kejahatan menghentikan perbuatannya, semakin tinggi kemungkinan dia menjadi residivis, yakni mengulangi perilaku jahatnya.

Tambahan lagi, saya berani berasumsi bahwa sanksi berupa pemenjaraan tidak akan berefek rehabilitasi bagi narapidana, termasuk narapidana kasus korupsi. Otoritas lembaga pemasyarakatan bisa dipastikan tidak memiliki program khusus yang didesain untuk memodifikasi tabiat dan perilaku para koruptor. Ketiadaan itu mengakibatkan para narapidana sesungguhnya tidak pernah menjalani proses belajar ulang guna membentuk cara berpikir dan berperilaku baru. Padahal, hanya dengan perubahan cara berpikir dan berperilaku, para koruptor dapat diharapkan memiliki pola adaptasi baru terhadap berbagai faktor yang sebelumnya telah mendorong mereka melakukan tindak kejahatan tersebut.

Modus kejahatan korupsi yang semakin lama semakin canggih dan kegagalan pemenjaraan merealisasikan fungsi rehabilitasinya, menjadikan masa delapan tahun penjara bagi Anas terlalu singkat. Tambahan lagi, apabila dia memperoleh ”fasilitas” berupa pengurangan masa hukuman dan pembebasan bersyarat, akan semakin cepat saja Anas kembali ke tengah-tengah masyarakat. Berdasar uraian tersebut, tidak tertutup kemungkinan Anas pada hari kebebasan itu menjadi lebih berbahaya ketimbang Anas pada hari dirinya dijebloskan ke balik terali besi. Potensi residivisme, yakni Anas kembali melakukan korupsi, pun meninggi akibatnya.

Sebutan hakim atas perilaku Anas, yakni ”berlanjut” dan ”berulang”, terasa kontras dengan masa hukuman yang hanya delapan tahun. Majelis hakim lewat dua sebutan tersebut mengirimkan pesan tentang kebahayaan tingkat tinggi terdakwa yang mereka sidangkan. Namun, bilangan delapan tahun tidak mencerminkan derajat kebahayaan Anas itu. Dengan dasar itulah, langkah banding KPK menemukan urgensinya. Diharapkan majelis hakim pada tingkat banding (dan mungkin kasasi) akan melakukan koreksi atas berat hukuman yang hakim tingkat pertama jatuhkan. Dengan koreksi itu, masa hukuman atas Anas akan lebih sebanding dengan potensi residivismenya.

Beda Strata

Kedua, merespons pertanyaan majelis hakim sesaat setelah vonis dijatuhkan, Anas mengajak jaksa dan hakim untuk melakukan sumpah mubahalah. Ajakan itu menjadi preseden yang amat sangat buruk karena beberapa hal. Bukan hanya karena sumpah kutukan semacam itu tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia sehingga tidak akan berimplikasi apa pun, melainkan lagi-lagi sebagai retorika atau bualan Anas (ingat: Gantung Anas di Monas!), ajakan sumpah mubahalah disampaikan Anas setelah majelis hakim secara resmi menyatakan dirinya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan pidana serta memosisikan Anas sebagai terdakwa yang bersalah sehingga harus mempertanggungjawabkan rangkaian perbuatannya.

Dalam ranah pidana, seorang terdakwa dipandang sebagai musuh seluruh umat manusia. Ambil contoh, ketika seorang pembunuh menghabisi nyawa seorang korban, si pembunuh dalam sidang diperlakukan sebagai sosok yang telah memviktimisasi semua manusia di kolong langit. Tidak sebatas memviktimisasi korban pembunuhan tersebut. Cara pandang pidana yang sedemikian rupa berbeda dengan perdata, di mana salah satu pihak dipandang bersengketa hanya dengan pihak tertentu yang merasa dirugikan. Bobot sebagai ”musuh semua manusia” itu tentu semakin besar dalam kasus korupsi, mengingat kejahatan yang satu itu disebut pula sebagai kejahatan luar biasa.

Dengan dasar itu, dapat dipahami bahwa setelah majelis hakim memvonis bersalah, terdakwa tersebut tidak lagi berada pada posisi yang setara dengan manusia lain. Pembeda status itu memang hanya pada ketukan palu hakim. Namun, akibatnya bagi status terdakwa sungguh-sungguh berbalik 180 derajat. Sebelum ada putusan hakim, terdakwa tetap manusia yang tidak bersalah. Setelah kesalahannya berhasil dibuktikan sebagaimana bunyi vonis majelis hakim, saat itu pula si terdakwa langsung beralih posisi menjadi manusia yang dipandang mutlak bersalah hingga ada persidangan pada tingkat berikutnya.

Pada sisi lain, hakim adalah representasi Tuhan dalam menciptakan keadilan di muka bumi. Benar bahwa di sana-sini masih terdapat anomali dalam watak dan tingkah laku hakim-hakim Indonesia. Kendati demikian, hakikat kedudukan hakim tetap tidak mungkin bergeser: derajat kemanusiaan hakim selalu lebih tinggi daripada manusia yang bukan hakim. Apalagi karena setiap putusan hakim diawali dengan frasa ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”, memang sudah sepantasnya hakim disapa ”Yang Mulia”.

Terlihat betapa jauhnya jarak sosial antara majelis hakim dan terdakwa (Anas). Mereka, sekali lagi, tidak berada pada posisi yang setara atau sejajar. Ibaratnya, yang satu berkacak pinggang di langit, sementara yang lainnya terkapar di selokan. Dengan status sekontras itu, hemat saya, tidak pantas apabila Anas mengajak majelis hakim melakukan sumpah mubahalah, sumpah pocong, maupun versi-versi sumpah kutukan lainnya.

Selaku terdakwa, Anas tidak mempunyai pilihan, kecuali menghormati dan mematuhi putusan hakim. Jika tidak bahagia dengan itu, dia bisa mengajukan banding. Apa pun penilaian Anas atas putusan hakim, termasuk anggapan bahwa majelis hakim tidak adil, Anas bahkan seluruh manusia tetap harus tunduk pada putusan majelis hakim. Bukan malah mengajak majelis hakim –katakanlah– duduk sama rendah, lalu melafalkan secara bersama-sama sumpah yang juga dapat berakibat sama baik terhadap hakim maupun terdakwa.

Ke depan, kiranya diperlukan perlakuan nyata dan tegas terhadap terdakwa yang mengutarakan ucapan-ucapan tak pantas semacam ajakan bersumpah mubahalah itu. Bahkan, agenda mengonkretkan legislasi yang terkait dengan penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) perlu dikonkretkan lebih lanjut. Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar