Muhabalah
Anas
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus
psikologi forensik The University of Melbourne, Konsultan dalam berbagai
program pengembangan kompetensi yudisial
|
JAWA
POS, 26 September 2014
PERSIDANGAN
Anas Urbaningrum telah ”berakhir”. Sengaja diberi tanda petik karena Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan banding atas putusan hakim delapan
tahun penjara, denda Rp 300 juta, serta ganti rugi Rp 57,5 miliar dan USD 5,2
juta. Ada dua catatan penting terkait dengan sidang pemungkas di gedung
pengadilan tipikor pada Rabu itu. Keduanya berasal dari lalu lintas
pembicaraan sesaat menjelang dan sesaat setelah majelis hakim menjatuhkan
vonis atas Anas.
Bahaya Tingkat Tinggi
Pertama,
majelis hakim menyebut Anas melakukan korupsi secara ”berlanjut” dan tindakan
pencucian ulang secara ”berulang-ulang”. ”Berlanjut” dan ”berulang-ulang”
menunjukkan betapa Anas telah menjadikan aksi kejahatan luar biasanya sebagai
suatu karir. Anas berhasil berulang-ulang melakukan tindak kejahatan
sedemikian rupa sebagai akibat dari kian fasihnya dia dalam mendesain
aksinya. Persis penjahat profesional; berawal dari status penjahat pemula,
namun setelah melalui proses belajar, modus kejahatan Anas kian canggih.
”Lambatnya”
penghentian terhadap operasi kriminalitas Anas berimplikasi buruk jika
dikaitkan dengan ramalan tentang prospek perubahan tabiat Anas kelak, setelah
masa hukumannya usai. Berbagai studi tentang residivisme menyimpulkan,
semakin lambat intervensi dilakukan agar pelaku kejahatan menghentikan
perbuatannya, semakin tinggi kemungkinan dia menjadi residivis, yakni
mengulangi perilaku jahatnya.
Tambahan lagi,
saya berani berasumsi bahwa sanksi berupa pemenjaraan tidak akan berefek
rehabilitasi bagi narapidana, termasuk narapidana kasus korupsi. Otoritas
lembaga pemasyarakatan bisa dipastikan tidak memiliki program khusus yang
didesain untuk memodifikasi tabiat dan perilaku para koruptor. Ketiadaan itu
mengakibatkan para narapidana sesungguhnya tidak pernah menjalani proses
belajar ulang guna membentuk cara berpikir dan berperilaku baru. Padahal,
hanya dengan perubahan cara berpikir dan berperilaku, para koruptor dapat
diharapkan memiliki pola adaptasi baru terhadap berbagai faktor yang sebelumnya
telah mendorong mereka melakukan tindak kejahatan tersebut.
Modus
kejahatan korupsi yang semakin lama semakin canggih dan kegagalan pemenjaraan
merealisasikan fungsi rehabilitasinya, menjadikan masa delapan tahun penjara
bagi Anas terlalu singkat. Tambahan lagi, apabila dia memperoleh ”fasilitas”
berupa pengurangan masa hukuman dan pembebasan bersyarat, akan semakin cepat
saja Anas kembali ke tengah-tengah masyarakat. Berdasar uraian tersebut,
tidak tertutup kemungkinan Anas pada hari kebebasan itu menjadi lebih
berbahaya ketimbang Anas pada hari dirinya dijebloskan ke balik terali besi.
Potensi residivisme, yakni Anas kembali melakukan korupsi, pun meninggi
akibatnya.
Sebutan hakim
atas perilaku Anas, yakni ”berlanjut” dan ”berulang”, terasa kontras dengan
masa hukuman yang hanya delapan tahun. Majelis hakim lewat dua sebutan
tersebut mengirimkan pesan tentang kebahayaan tingkat tinggi terdakwa yang
mereka sidangkan. Namun, bilangan delapan tahun tidak mencerminkan derajat
kebahayaan Anas itu. Dengan dasar itulah, langkah banding KPK menemukan
urgensinya. Diharapkan majelis hakim pada tingkat banding (dan mungkin
kasasi) akan melakukan koreksi atas berat hukuman yang hakim tingkat pertama
jatuhkan. Dengan koreksi itu, masa hukuman atas Anas akan lebih sebanding
dengan potensi residivismenya.
Beda Strata
Kedua,
merespons pertanyaan majelis hakim sesaat setelah vonis dijatuhkan, Anas
mengajak jaksa dan hakim untuk melakukan sumpah mubahalah. Ajakan itu menjadi
preseden yang amat sangat buruk karena beberapa hal. Bukan hanya karena
sumpah kutukan semacam itu tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia
sehingga tidak akan berimplikasi apa pun, melainkan lagi-lagi sebagai
retorika atau bualan Anas (ingat: Gantung
Anas di Monas!), ajakan sumpah mubahalah disampaikan Anas setelah majelis
hakim secara resmi menyatakan dirinya terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan perbuatan pidana serta memosisikan Anas sebagai terdakwa yang
bersalah sehingga harus mempertanggungjawabkan rangkaian perbuatannya.
Dalam ranah
pidana, seorang terdakwa dipandang sebagai musuh seluruh umat manusia. Ambil
contoh, ketika seorang pembunuh menghabisi nyawa seorang korban, si pembunuh
dalam sidang diperlakukan sebagai sosok yang telah memviktimisasi semua
manusia di kolong langit. Tidak sebatas memviktimisasi korban pembunuhan
tersebut. Cara pandang pidana yang sedemikian rupa berbeda dengan perdata, di
mana salah satu pihak dipandang bersengketa hanya dengan pihak tertentu yang
merasa dirugikan. Bobot sebagai ”musuh semua manusia” itu tentu semakin besar
dalam kasus korupsi, mengingat kejahatan yang satu itu disebut pula sebagai
kejahatan luar biasa.
Dengan dasar
itu, dapat dipahami bahwa setelah majelis hakim memvonis bersalah, terdakwa
tersebut tidak lagi berada pada posisi yang setara dengan manusia lain.
Pembeda status itu memang hanya pada ketukan palu hakim. Namun, akibatnya
bagi status terdakwa sungguh-sungguh berbalik 180 derajat. Sebelum ada
putusan hakim, terdakwa tetap manusia yang tidak bersalah. Setelah kesalahannya
berhasil dibuktikan sebagaimana bunyi vonis majelis hakim, saat itu pula si
terdakwa langsung beralih posisi menjadi manusia yang dipandang mutlak
bersalah hingga ada persidangan pada tingkat berikutnya.
Pada sisi
lain, hakim adalah representasi Tuhan dalam menciptakan keadilan di muka
bumi. Benar bahwa di sana-sini masih terdapat anomali dalam watak dan tingkah
laku hakim-hakim Indonesia. Kendati demikian, hakikat kedudukan hakim tetap
tidak mungkin bergeser: derajat kemanusiaan hakim selalu lebih tinggi
daripada manusia yang bukan hakim. Apalagi karena setiap putusan hakim
diawali dengan frasa ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”,
memang sudah sepantasnya hakim disapa ”Yang Mulia”.
Terlihat
betapa jauhnya jarak sosial antara majelis hakim dan terdakwa (Anas). Mereka,
sekali lagi, tidak berada pada posisi yang setara atau sejajar. Ibaratnya,
yang satu berkacak pinggang di langit, sementara yang lainnya terkapar di
selokan. Dengan status sekontras itu, hemat saya, tidak pantas apabila Anas mengajak
majelis hakim melakukan sumpah mubahalah, sumpah pocong, maupun versi-versi
sumpah kutukan lainnya.
Selaku
terdakwa, Anas tidak mempunyai pilihan, kecuali menghormati dan mematuhi
putusan hakim. Jika tidak bahagia dengan itu, dia bisa mengajukan banding.
Apa pun penilaian Anas atas putusan hakim, termasuk anggapan bahwa majelis
hakim tidak adil, Anas bahkan seluruh manusia tetap harus tunduk pada putusan
majelis hakim. Bukan malah mengajak majelis hakim –katakanlah– duduk sama
rendah, lalu melafalkan secara bersama-sama sumpah yang juga dapat berakibat
sama baik terhadap hakim maupun terdakwa.
Ke depan,
kiranya diperlukan perlakuan nyata dan tegas terhadap terdakwa yang
mengutarakan ucapan-ucapan tak pantas semacam ajakan bersumpah mubahalah itu. Bahkan, agenda
mengonkretkan legislasi yang terkait dengan penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) perlu dikonkretkan
lebih lanjut. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar