Mempersoalkan
Konsistensi Jokowi
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional KAHMI; Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
|
KORAN
SINDO, 26 September 2014
PRESIDEN
terpilih Joko Widodo (Jokowi) sudah mempertontonkan inkonsistensi. Dari
rencana membangun koalisi ramping, kini berpotensi menjadi gemuk. Dari
koalisi partai politik (parpol) tanpa syarat, dialokasikan belasan jabatan
menteri untuk para profesional dari parpol. Dan, dari janji membentuk kabinet
ramping yang efektif, Jokowi justru copy
paste postur Kabinet Indonesia Bersatu II yang gendut.
Catatan publik
tentang perjalanan Jokowi menuju panggung kontestasi pemilihan presiden 2014
hingga proses keterpilihannya sangat lengkap. Perjalanan itu sarat janji
sehingga ekspektasi publik pun terbilang tinggi.
Saat ini,
ketika Jokowi dan Tim Transisi yang diketuai Rini Soemarno merancang kabinet,
publik pun ingin melihat realisasi janji-janji itu. Nyaris, tak satu pun yang
bisa diwujudkan Jokowi, sebab di permukaan yang tampak justru inkonsistensi.
Pertanyaannya,
apakah inkonsistensi Jokowi itu akan terhenti saat dia mulai dilantik sebagai
presiden, atau akan berlanjut sepanjang era kepresidenannya? Pertanyaan ini
bukan mengada-ada, sebab mengacu pada fakta berupa janji atau pernyataan yang
dikedepankan Jokowi sendiri.
Pertanyaan
tadi memang belum perlu dijawab sekarang, karena semua pihak harus menunggu,
serta memberi kesempatan kepada Jokowi dan kabinetnya bekerja merealisasikan
janji-janji mewujudkan kesejahteraan bersama. Akan tetapi, Jokowi perlu
diingatkan bahwa inkonsistensinya telah dicatat.
Pertama,
tentang koalisi parpol pendukung. Beberapa saat setelah Ketua Umum PDIP
Megawati Soekarnoputri mencalonkannya sebagai presiden, Jokowi melakukan
sejumlah pertemuan dengan pimpinan parpol untuk menjajaki koalisi dalam
pilpres.
Di sela-sela
penjajakan yang tidak mudah itu, Jokowi menegaskan bahwa dia tidak butuh
banyak parpol untuk berkoalisi. Dia bahkan sudah sangat percaya diri ketika
berhasil menjalin kerja sama dengan Partai Nasional Demokrat.
Dalam
prosesnya kemudian, Jokowi harus melupakan koalisi ramping yang
diinginkannya. Penggemukan koalisi terus berproses dengan bergabungnya Partai
Kebangkitan Bangsa(PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan PKPI.
Ternyata, ini
pun belum cukup. Jokowi masih membutuhkan setidaknya dua parpol lagi. “Kita
terbuka karena masalahnya membangun negara. Bangsa sebesar ini tak bisa
sendirian; tak bisa dibangun oleh satu atau empat partai saja,” kata Jokowi,
Sabtu (20/9).
Kedua, tentang
janji koalisi tanpa syarat alias tidak ada bagi-bagi jabatan menteri. Jokowi
dengan lantang menegaskan bahwa parpol yang bergabung dalam koalisi
pemerintahannya harus ikhlas, dan karenanya tidak boleh mengajukan syarat
atau meminta jatah jabatan menteri. Syarat yang diajukan Jokowi ini mustahil
diterima parpol lain.
Belakangan,
diketahui bahwa syarat itu justru mempersulit Jokowi sendiri dalam upayanya
memperbesar koalisi parpol pendukungnya di parlemen. Tidak mampu memenuhi
janji itu, Jokowi akhirnya seperti menjilat ludahnya sendiri. Tidak kurang
dari 16 jabatan menteri dialokasikan untuk para profesional dari parpol.
Dengan alokasi
untuk parpol sebanyak itu, Jokowi berharap dapat memecah soliditas Koalisi
Merah Putih (KMP) yang berseberangan dengannya. Menyusul pengalokasian itu,
berkembang spekulasi bahwa dua parpol anggota KMP akan merapat ke Jokowi.
Presiden terpilih itu bahkan sangat yakin akan mendapatkan tambahan parpol anggota
koalisinya.
Ketiga,
tentang menggagas kabinet ramping. Jokowi mungkin lupa bahwa mengurangi
jumlah kementerian dalam pemerintahannya nanti justru menghadirkan pekerjaan
baru yang sesungguhnya tidak perlu. Mengurangi jumlah kementerian dengan cara
menggabungkan beberapa portofolio punya implikasi yang luas.
Dalam
praktiknya nanti, pemerintah justru lebih sibuk mengurus dirinya sendiri,
karena penggabungan itu tentu butuh tahapan untuk beradaptasi. Gagasan
merampingkan kabinet itu nyata-nyata tidak ideal sehingga harus digugurkan.
Akhirnya,
postur kabinet yang diumumkan Jokowi praktis sama dan sebangun dengan Kabinet
Indonesia Bersatu II yang dirancang Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Faktor APBN
Untuk menjaga
konsistensi, Jokowi harus realistis. Apalagi, warisan masalah yang
menghadangnya cukup banyak dan sangat beragam. Dia bahkan akan mengawali
pemerintahannya dalam suasana yang serba tidak nyaman, terutama karena
minimnya ruang fiskal akibat gelembung alokasi anggaran untuk subsidi.
Pil pahit
pertama adalah upaya meluruskan atau koreksi kebijakan subsidi negara. Karena
mengurangi kenikmatan banyak orang, mengoreksi subsidi pasti tidak mudah
karena akan menimbul-kan pro-kontra di tengah masyarakat.
Sebaliknya,
jika bersikukuh merealisasikan program-program pembangunan yang dijanjikan
selama periode kampanye kepresidenannya, Jokowi memang harus menyehatkan dan
menguatkan peran anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Kecenderungan
APBN yang konsumtif harus diubah menjadi produktif. APBN yang sehat dan
produktif akan memberi ruang bagi Jokowi merealisasikan program Indonesia
Sehat, Indonesia Pintar, hingga mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim.
Menjadikan APBN kuat dan produktif adalah pekerjaan yang amat sulit, bahkan
ada risiko politiknya. Karena itu dibutuhkan peran serta maupun pengertian
rakyat.
Pasalnya, APBN
yang kuat dan produktif bisa diwujudkan jika negara cq pemerintah tidak lagi
sembrono memberikan subsidi. Kalau sekarang subsidi boleh dinikmati semua
orang, termasuk kelas menengah dan warga kaya raya, nantinya penerima subsidi
harus dibatasi dengan kriteria yang relevan dan masuk akal.
Risiko politik
atas keberanian mengoreksi kebijakan subsidi akan mengecil jika Jokowi dan
kabinetnya mampu memberi pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat tentang
perlunya mengurangi alokasi anggaran untuk subsidi.
Paling utama
tentu saja menekan gelembung anggaran untuk subsidi energi, khususnya bahan
bakar minyak (BBM). Keberanian Jokowi memperbarui politik subsidi hampir
pasti akan ditentang banyak orang. Namun, pelurusan politik subsidi itu akan
merefleksikan konsistensi Jokowi. Sebab dari pembenahan subsidi itu, APBN
tahun-tahun mendatang akan lebih sehat dan kuat untuk membiayai
program-program unggulan Jokowi.
Sebaliknya,
citra inkonsistensi Jokowi akan semakin nyata kalau dia tidak berani
meluruskan politik subsidi. Pasalnya, APBN akan tetap terlihat konsumtif
serta tidak mampu membiayai kebutuhan pembangunan.
Konsekuensinya,
Jokowi akan sulit merealisasikan semua yang pernah dijanjikannya. Konsistensi
Jokowi harus terus-menerus dipersoalkan sebagai cara untuk mengingatkan
presiden terpilih bahwa dia telah mengikat janji dengan semua elemen rakyat.
Sekarang
semuanya dalam posisi menunggu. Agar Jokowi tampak sebagai sosok presiden
yang konsisten, dia harus berupaya merealisasikan semua program unggulannya
itu. Beberapa program unggulan memang akan melibatkan modal swasta.
Namun, Jokowi
tetap saja harus menjadikan APBN tahun-tahun mendatang semakin produktif agar
dia bisa merealisasikan program-program populis seperti Indonesia Sehat atau
Indonesia Pintar itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar