Politik
“Berisik” Menyandera Rupiah
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
29 September 2014
Sulit sekali untuk tidak mengaitkan depresiasi rupiah akhir pekan lalu
(26/9) dengan hiruk-pikuk politik di gedung parlemen Senayan. Drama
percekcokan DPR hingga lewat Kamis (25/9) tengah malam, yang mengubah dari
sistem pilkada secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan kepala daerah oleh
DPRD, telah memicu respons negatif pasar. Keputusan ini dianggap sebagai
langkah mundur demokrasi yang sudah susah payah dibangun sejak reformasi
digulirkan Mei 1998.
Rupiah pun terempas ke level Rp 12.048 per dollar AS dari sebelumnya Rp
11.979 per dollar AS. Hal yang paralel juga terjadi di pasar modal. Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah ke level 5.132 dari sebelumnya 5.201.
Meski harus diakui, tanpa tambahan sentimen negatif dari ranah politik pun,
rupiah sudah terkena sandwich, yakni ditekan dari sisi eksternal dan
internal.
Dari sisi eksternal, membaiknya perekonomian AS menyebabkan aliran dana
global tersedot balik ke New York (sudden
reversal). Bursa di Wall Street menyedot modal dari seluruh dunia untuk
membeli aset surat berharga berdenominasi dollar AS. Akibatnya, pekan lalu
indeks Dow Jones menguat ke 17.210, atau level yang lebih kuat daripada saat
krisis tahun 2008.
Indeks Wall Street runtuh dari level 17.000-an ke 9.000-an sesudah
Lehman Brothers bangkrut pada September 2008. Perlu enam tahun bagi
perekonomian AS untuk mengembalikan indeks ke level semula. Membaiknya
perekonomian AS juga dideteksi dari penjualan mobil yang kini 17,5 juta unit
setahun, mendekati level normal sebelum krisis 2008, yakni 18 juta unit. Saat
krisis, penjualan mobil hanya 9 juta unit.
Meski demikian, pada akhir pekan lalu, indeks Dow Jones terkoreksi 1,5
persen dari 17.210 ke 16.945. Penyebabnya, pertama, karena indeks harga sudah
mencapai titik yang tinggi sehingga sudah saatnya investor merealisasikan keuntungannya
(profit taking). Kedua, meski
secara umum gambaran perekonomian AS membaik, data terbaru (Juli 2014)
tentang absorpsi tenaga kerja jauh di bawah ekspektasi (hanya 130.000 orang,
di bawah ekspektasi minimal 200.000 orang). Timbul reinterpretasi bahwa
perekonomian AS belum pulih.
Terkoreksinya indeks Dow Jones diikuti bursa Nikkei di Tokyo yang
merosot, tetapi indeks Straits Times Singapura malah menguat. Adapun IHSG
Jakarta, pada Jumat pagi sebelum bursa dibuka (Jumat pagi di New York atau
Jumat malam di Jakarta), lebih dulu melemah 1,3 persen ke 5.132. Investor
lebih banyak menjual sehingga berbeda (net sell) Rp 1,42 triliun.
Dari sisi internal, tidak terjadi perubahan dalam fundamen ekonomi
kita. Tidak ada data ekonomi yang bisa mengubah persepsi, yang bisa
mengayunkan kurs rupiah dan IHSG terperosok signifikan. Memang ada revisi
APBN 2015 yang disepakati pemerintah dan DPR, tetapi dengan angka baru yang
tidak terlalu signifikan berubah, sulit menuduh data itu menjadi penyebab
rupiah dan IHSG merosot.
Inflasi tahun depan, misalnya, ditargetkan 4,4 persen. Interpretasinya
adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak dilakukan tahun 2015.
Karena jika harga BBM naik tahun 2015, inflasinya bakal lebih tinggi, minimal
6 atau 7 persen. Dengan demikian, sangat terbuka kemungkinan kenaikan harga
BBM dilakukan tahun ini, misalnya pada November 2014. Jika ini benar,
sebenarnya bakal timbul sentimen positif bahwa salah satu persoalan terbesar
fiskal kita bisa segera diatasi. Besarnya beban subsidi BBM tahun depan Rp
291 triliun bakal dapat dikurangi.
Kenyataannya kini rupiah dan IHSG masih minim sentimen. Lalu, apa yang
harus dilakukan? Sesungguhnya, perekonomian Indonesia perlu bantuan sentimen
dari ranah politik. Pengalaman India, saat pemilu pada Mei 2014 sukses dan
pemerintahan baru Perdana Menteri Narendra Modi terbentuk, modal asing pun
masuk. Mata uang rupee menguat dari 64 rupee menjadi 60 rupee per dollar AS.
Sepanjang politik dijaga stabilitasnya, tidak ”berisik”, rupee pun menguat
dan stabil.
Ke depan, kita perlu menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
selaku Ketua Umum Partai Demokrat, untuk melakukan beragam inisiatif
mengembalikan kekuasaan rakyat secara langsung dalam memilih pemimpinnya pada
level provinsi, kabupaten, dan kota. Partai Demokrat blunder saat walk out di DPR. Oleh karena itu,
sebagai kompensasinya, penting untuk mengembalikan supremasi rakyat dalam
menata demokrasi. Sebuah sentimen positif di pasar uang dan pasar modal.
Dalam perekonomian yang kian dinamis, sulit sekali untuk mengisolasi
variabel ekonomi dari gejolak politik. Mengapa? Karena ilmu ekonomi (economics) pada hakikatnya adalah ilmu
yang berbasis pada perilaku (behaviors)
manusia. Sebagai contoh, ketika The Fed
menurunkan suku bunga dari 6,5 persen ke 0,25 persen tidak serta-merta
disambut kenaikan konsumsi rumah tangga dan investasi. Kenapa? Karena, pada
saat itu, tingkat kepercayaan (confidence
level) sedang rendah. Perekonomian AS tidak cukup digerakkan oleh variabel
kuantitatif suku bunga, tetapi juga perlu bantuan variabel kualitatif berupa
sentimen pasar. Hal ini pula yang amat diperlukan perekonomian kita.
Kita berharap politisi, parlemen, dan unsur masyarakat lain menyadari
betapa penting menjaga ketenteraman politik. Sejumlah variabel ekonomi
fundamental tidaklah cukup untuk menegakkan rupiah. Jika rupiah terus
tertekan di atas Rp 12.000 per dollar AS, akan berakibat buruk. Bank
Indonesia terpaksa harus melakukan dua hal: (1) menaikkan BI Rate agar tidak
ada pelarian modal dan (2) melakukan intervensi yang akan mengurangi cadangan
devisa yang saat ini cukup terjaga pada 111 miliar dollar AS.
Rupiah juga memerlukan sentimen positif dari sisi fiskal. Kondisi APBN
yang dirongrong oleh subsidi BBM harus segera disehatkan. Presiden Yudhoyono
hendaknya membantu pemerintahan baru dalam melobi parlemen agar bisa
menyehatkan fiskal melalui kenaikan harga BBM pada November 2014. Hanya cara
itulah ”utang” berupa blunder politik yang lalu dapat dibayarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar