Dari
2014 ke 2004, Gerak Mundur “Buruh Politik”
Ferry Santoso ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
29 September 2014
Persetujuan RUU Pilkada di DPR yang diwarnai perdebatan dan lobi yang alot
dalam Sidang Paripurna, Jumat (26/9) dini hari, berbeda dengan persetujuan
RUU tentang Pemerintah Daerah pada 29 September 2004, yang hampir bertepatan
10 tahun lalu. Waktu itu, Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR
Soetardjo Soerjogoeritno secara aklamasi menyetujui RUU Pemda untuk disahkan
menjadi UU (Kompas, 30/9/2004).
Persetujuan RUU Pemerintah Daerah (Pemda) yang memuat ketentuan
mengenai pilkada langsung oleh DPR tahun 2004 lalu itu ibarat peristiwa
monumental dalam perjalanan demokrasi di Indonesia setelah reformasi. Namun,
esensi pilihan pada pilkada langsung pada pembahasan RUU Pemda tahun 2004 itu
dijungkirbalikkan dengan voting RUU Pilkada di DPR saat ini. DPR periode
2009-2014, di akhir masa jabatannya, mencatat sejarah hitam dengan menyetujui
pilkada dipilih oleh DPRD.
Sebagai gambaran, dalam Pasal 24 Ayat (5) UU No 32/2004 disebutkan,
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Dalam Pasal 56 Ayat (1)
juga disebutkan, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu
pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Secara akademis, pilkada langsung atau tak langsung memang mengundang
perdebatan. Ada argumen pro dan kontra. Ada untung dan rugi. Namun, secara
politis, pada 2004, DPR secara aklamasi lebih memilih pilkada langsung untuk
mengejawantahkan keinginan dan aspirasi rakyat.
Tetap
ingin langsung
Saat ini, dari berbagai survei, terlihat rakyat pun menginginkan
pilkada secara langsung. Misalnya, dalam jajak pendapat Kompas yang
diterbitkan pertengahan September 2014, hampir semua responden (91) persen
menilai pelaksanaan pilkada secara langsung lebih demokratis ketimbang
pilkada melalui DPRD, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Kedaulatan
rakyat dan jaminan berlangsungnya hasil reformasi diyakini 84 responden lebih
terjaga melalui pilkada langsung.
Akan tetapi, politisi di DPR periode 2009-2014 ibarat telah menjadi
”buruh politik” yang mengamini apa yang diperintahkan elite politik. Pilihan
pada pilkada tak langsung oleh DPR saat ini bukan terkait perdebatan
akademis, melainkan lebih terkait eksploitasi para politisi terhadap hak
rakyat akibat kepentingan segelintir elite.
Pengamat politik J Kristiadi menilai, para politisi di DPR ternyata
hanya menjadi ”buruh” politik. Para buruh politik sekadar tunduk kepada
majikan politik, yaitu elite politik. Yang lebih parah, sebagai buruh
politik, para politisi tidak mau dengan nurani menggali dan mendengar
keinginan rakyat atau suara kebatinan rakyat yang terlihat dari berbagai
survei yang ada, yaitu rakyat
tetap menginginkan pilkada langsung.
Kondisi seperti itu, lanjut Kristiadi, memang mengerikan. Pembusukan di
lembaga legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat terjadi karena sarat
kepentingan segelintir elite politik. ”Itu
namanya politik ekstraktif, yaitu hanya mengeruk kekuasaan dari rakyat untuk
kepentingan segelintir elite,” katanya.
Perubahan pertarungan politik dalam proses pembahasan RUU Pilkada
selama ini memang tidak terlepas dari hasil Pemilu Presiden 2014 lalu.
Partai-partai yang kalah mengusung calonnya menjadi presiden terpilih
terkesan ingin melakukan politik ”balas dendam”.
Perjalanan demokrasi Indonesia kini kembali mundur jauh ke masa 10
tahun lalu. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri saat Rapat Kerja Nasional
IV PDI-P mengungkapkan, upaya mengembalikan pilkada langsung menjadi pilkada
tak langsung melalui DPRD merupakan gerak mundur dan tidak akan mendapatkan
legitimasi dari rakyat yang menghendaki pilkada langsung.
”Gerak
mundur ini dipastikan tidak akan mendapatkan legitimasi dari rakyat karena
mencoba mencabut hak politik rakyat,” kata Megawati.
Kini, salah satu solusi berada di hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Apa
putusan MK jika masyarakat sipil mengajukan uji materi UU Pilkada nanti?
Masyarakat pun menunggu putusan MK yang ”monumental”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar