“Diskriminasi”
dan Politisasi Jaminan Kesehatan
Mulyadi Sumarto ; Dosen dan Peneliti Senior UGM
|
KOMPAS,
29 September 2014
Tulisan Sulastomo, Ketua Tim SJSN 2001-2004, ”Kartu Indonesia Sehat dan
SJSN”, yang dimuat Kompas (4/9/2014), menceritakan ihwal gagasan pemerintahan
Jokowi-JK melaksanakan program Kartu Indonesia Sehat dan keterkaitannya
dengan program Jaminan Kesehatan Nasional.
Dengan cukup kritis, bagian awal tulisan itu mempertanyakan apakah
realisasi Kartu Indonesia Sehat (KIS) akan menggantikan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Dua poin penting lain yang disampaikan tulisan itu adalah JKN
telah dilaksanakan ”tanpa diskriminasi” dan penamaan program (KIS atau JKN) tidaklah
penting, yang terpenting baginya adalah keberlanjutan program. Tulisan
Sulastomo memberikan pencerahan mengenai masa depan JKN apabila pemerintahan
Jokowi-JK merealisasi KIS. Namun, tulisan itu kurang tepat dalam menjelaskan
isu diskriminasi. Terkait nama program, tulisan itu menyisakan pertanyaan
serius karena isu politisasi Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial (PPKS)
yang mencakup jaminan kesehatan.
”Tanpa
diskriminasi”?
Isu diskriminasi merupakan aspek penting yang perlu dipertimbangkan
dalam memilih metode distribusi kesejahteraan, yang mencakup pendekatan
universal dan selektif. Pendekatan universal mendistribusikan kesejahteraan
yang dibiayai oleh pemerintah kepada semua warga negara tanpa memperhatikan
status sosialnya. Sementara itu, pendekatan selektif mendistribusikan
kesejahteraan hanya untuk mereka yang termasuk dalam kategori miskin.
Pendekatan selektif dipilih dengan alasan metode ini bersifat efisien
karena tidak mendistribusikan kesejahteraan kepada semua warga negara
sehingga menghemat anggaran. Namun, pendekatan ini mempertajam klasifikasi
sosial karena metode ini membedakan secara tegas antara warga negara miskin
sebagai penerima dan nirmiskin sebagai bukan penerima. Ini menunjukkan bahwa
pemerintah memperlakukan kedua lapisan sosial tersebut secara berbeda.
Perlakuan berbeda ini merupakan bentuk riil dari konsep diskriminasi.
Di dalam program JKN, pemerintah membayar premi asuransi kesehatan
untuk warga negara miskin secara cuma-cuma. Pemerintah membayar premi untuk
pegawai negeri dan tentara karena mereka bekerja untuk pemerintah. Mereka
yang bekerja di perusahaan swasta mendapatkan asuransi karena preminya
dibayar oleh perusahaan itu.
Sementara mereka yang tergolong tak miskin yang tak bekerja sebagai
pegawai negeri, tentara, dan pekerja perusahaan swasta harus membayar premi
dengan uang mereka sendiri. Ini menggambarkan JKN menggunakan pendekatan
selektif. Sebagai program yang menggunakan pendekatan selektif, JKN
menghadapi problem diskriminasi. Di sisi lain, pendekatan universal dipilih
karena metode ini memperlakukan seluruh warga negara secara tidak berbeda.
Risikonya, pemerintah harus menganggarkan biaya yang besar. Berdasarkan
berbagai hasil studi (Larsen 2007;
Rothstein 2005; Rothstein & Uslaner 2005) di negara kesejahteraan (welfare state) di kawasan Skandinavia,
perlakuan nondiskriminatif ini meningkatkan dukungan masyarakat pada
realisasi program pemerintah.
Politisasi
PPKS
Mungkin betul yang dikatakan Sulastomo, ”apa arti sebuah nama”, kutipan
terkenal dalam dialog pada Romeo dan Juliet karya William Shakespeare itu.
Namun, dalam program pemerintah, nama memiliki makna politik yang sangat
besar. Kasus yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin bisa membantu
menjelaskan betapa besarnya makna politik nama program. Brasil dan Meksiko
telah berhasil mengembangkan PPKS.
Keberhasilan mereka telah ditiru oleh Indonesia dalam mengembangkan
beberapa PPKS. Di antara keberhasilan itu, ada masalah politisasi program
yang cukup kompleks.
Ketika Lula da Silva terpilih sebagai presiden Brasil, dia mengganti
program Bolsa Escola yang dilaksanakan pendahulunya, Fernando Henrique
Cardoso, dengan program Fome Zero. Bolsa Escola bertujuan meningkatkan akses
rumah tangga miskin pada pelayanan pendidikan dan kesehatan, sedangkan Fome
Zero ingin mereduksi problem kelaparan.
Beberapa bulan kemudian Lula mengubah nama Fome Zero menjadi Bolsa Familia, yang
bertujuan sama dengan program Bolsa Escola. Perubahan ini dilakukan Lula
karena Fome Zero gagal menjalankan misinya dan secara politis tidak akan
menguntungkannya. Lula tidak akan pernah memiliki peluang memobilisasi
pemilih menggunakan Fome Zero karena kegagalan program tersebut.
Bukan hanya itu, Lula jua membuat kementerian baru yang ditujukan untuk
mengawal realisasi Bolsa Familia. Setelah memenangi pemilu kedua, secara
jujur Lula menyatakan bahwa dia berutang budi kepada Bolsa Familia karena
program itu telah membantunya menempati kursi presiden untuk kali keduanya.
Sama dengan yang dilakukan Lula, Ernesto Zedillo mengubah nama Pronasol
yang dilaksanakan Presiden Carlos Salinas menjadi Progresa ketika Zedillo
terpilih sebagai presiden di Meksiko. Nama Progresa pun diganti menjadi
Oportunidades oleh Vicente Fox ketika Fox menggantikan Zedillo.
Secara politis, apa yang dilakukan Lula, Zedillo, dan Fox mungkin bisa
dibenarkan, tetapi secara moral seharusnya itu tidak terjadi. Distribusi
kesejahteraan seharusnya untuk meningkatkan kesetaraan, memperkuat integritas
sosial, dan mereduksi kemiskinan (Goodin
1999), bukan untuk mewujudkan ambisi politik.
Yang penting dipikirkan oleh pemerintahan ke depan adalah bagaimana
meletakkan fondasi kelembagaan yang mapan sehingga tujuan moral distribusi
kesejahteraan bisa tercapai. Fondasi kelembagaan ini mencakup nama program,
lembaga pelaksana program, dan aturan hukum yang mengaturnya. Dengan
demikian, mulai dari pemerintahan Jokowi-JK sampai dengan pemerintahan
selanjutnya, problem kelembagaan dan politisasi PPKS bisa diminimalkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar