Khianat
Demokrat
Refly Harun ; Pakar
dan Praktisi Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
26 September 2014
Ramai-ramai Menolak 'Pilkada DPRD'
Sidang
Paripurna DPR, Jumat (26/9/14) dini hari telah mengonfirmasi bahwa
pemimpin-pemimpin lokal kelak tidak akan lagi dipilih rakyat. Paripurna
memberitakan bahwa pemilihan demokratis akan bergeser pada pemilihan
oligarkis, bahkan elitis. Mayoritas anggota DPR Periode 2009-2014 setuju
pemilihan kepala daerah digeser ke DPRD. Inilah kado pahit para anggota DPRD
yang akhir masa jabatannya tinggal berbilang hari.
Kekalahan kubu
pro pemilihan langsung bisa dikatakan akibat ulah Fraksi Demokrat yang walk out, padahal suara fraksi
terbesar tersebut akan menjadi penentu. Andai Demokrat tetap berada di sisi
pemilihan langsung, maka kubu pro pemilihan langsung rakyat akan menang. Kita
tetap akan punya kepala-kepala daerah yang kita pilih. Kita masih bisa
berharap munculnya Jokowi-Jokowi lain dalam regenerasi politik yang sehat dan
demokratis.
Kini, harapan
tinggal tertuju pada Mahkamah Konstitusi (MK). Banyak pihak sudah menggemakan
akan menggugat dihilangkannya pemilihan langsung tersebut, tidak terkecuali
para kepala-kepala daerah yang diproduksi pemilihan rakyat tersebut,
sebagaimana dicuitkan Walikota Bandung Ridwan Kamil melalui akun twitternya.
Pertanyaan Besar
Mencermati
zigzag politik Demokrat dalam Rapat Paripurna DPR dini hari tadi, tercuat
sebuah pertanyaan, apakah sebenarnya fraksi terbesar tersebut memang
menginginkan tetap pemilihan langsung kepala daerah atau tidak? Lebih jauh
lagi pertanyaan, apakah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang
benar-benar mendukung pemilihan langsung oleh rakyat? Pertanyaan sekaligus
kecurigaan ini menjadi sah-sah saja dilontarkan mengingat Demokrat dan SBY
sesungguhnya menjadi kunci.
Sebagai
Presiden, SBY memegang 50 persen kekuasaan legislatif. Pasal 20 Ayat (2) UUD
1945 menentukan bahwa setiap RUU dibahas Presiden dan DPR untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Bila tidak mendapatkan persetujuan bersama, Pasal 20
Ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa RUU tersebut tidak dapat diajukan dalam
persidangan masa itu.
Seandainya SBY
dalam waktu yang penting dan genting menjelang persetujuan RUU Pilkada
menyatakan tidak setuju melalui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, maka RUU
Pilkada tidak dapat disetujui. Kendati voting dimenangkan kubu yang pro
pemilihan oleh DPRD, RUU tersebut tetap tidak bisa menjadi undang-undang.
Artinya, ketentuan pilkada akan kembali pada ketentuan lama di UU Nomor 32
Tahun 2004 sepanjang belum dicabut.
Kita memahami
SBY mungkin menghadapi dilema untuk menggunakan 50 persen kewenangan
konstitutisonalnya karena RUU Pilkada berasal dari pemerintah. RUU tersebut
sudah dibahas hampir selama tiga tahun. Celakanya, pemerintah pula yang pada
awalnya ‘menggoda’ parpol-parpol di DPR dengan pemilihan oleh DPRD meskipun
terbatas untuk gubernur saja – yang belakangan dibalik menjadi untuk bupati
dan walikota saja.
Meski sah dan
konstitusional, pernyataan tidak setuju terhadap hasil pembahasan RUU Pilkada
yang sudah berlangsung hampir selama tiga tahun tersebut akan menuai banyak
protes dari parpol-parpol. SBY akan dianggap otoriter dan sewenang-wenang
serta tidak menghargai fatsun politik. Selama ini memang kewenangan
konstitusional itu tidak pernah digunakan dalam masa 10 tahun pemerintahan
SBY.
Hanya Presiden
Megawati yang pernah menggunakan ‘veto’ tersebut pada tahun 2004, juga di
akhir masa pemerintahan. Melalui Menteri Hukum Yusril Ihza Mahendra,
pemerintah menyatakan tidak setuju dengan RUU Zona Perdagangan Bebas Batam.
Meskipun DPR tetap memaksakan persetujuan, nyatanya secara sosilogis UU Zona
Perdagangan Bebas itu tidak pernah digunakan. Kalaupun digunakan, akan dengan
mudah dibatalkan di Mahkamah Konstitusi (MK) karena pembentukannya cacat
prosedural (cacat formil).
Bila dilematis
soalnya, SBY sebenarnya dapat memaksimalkan suara Fraksi Demokrat yang
merupakan fraksi terbesar di DPR Periode 2009-2014. Baik di atas kertas
maupun di tengah lapangan Rapat Paripurna DPR dini hari tadi, suara Demokrat
menentukan. Ke mana angin Demokrat berembus, ke situlah kemenangan akan
diraih. Dengan mengembuskan pro pemilihan langsung pada Kamis (18/9/14),
Demokrat telah membuat ‘sumringah’ kubu pro pemilihan langsung. Tidak hanya
mereka yang pro di parlemen, melainkan juga kelompok-kelompok sipil
masyarakat yang bekerja di lapangan demokrasi.
Apa mau
dikata, sikap Demokrat dini hari tadi membuat semua terperangah. Alih-alih
berdampingan dengan fraksi-fraksi yang pro pemilihan langsung, Fraksi
Demokrat ‘ngambek’ lalu walk out
karena merasa opsinya, yaitu pilkada langsung dengan 10 instrumen perbaikan,
tidak diakomodasi. Padahal, Demokrat paham betul bahwa dengan tinggal
gelanggang paripurna, mereka sesungguhnya memberi ‘karpet merah’ kepada kubu
pro pemilihan oleh DPRD.
‘Kengambekan’
tersebut jelas menjadi tanya besar, bahkan kecurigaan besar. Tanya dan curiga
yang juga pantas dialamatkan kepada Presiden SBY. Apa yang sesungguhnya
diinginkan SBY dalam masa akhir pemerintahannya? Apa pun jawabannya, satu
yang jelas, SBY telah meninggalkan warisan (legacy) yang buruk di akhir masa pemerintahannya. Sepuluh tahun
bekerja di banyak lapangan, termasuk di lapangan demokrasi, SBY mengakhirinya
dengan akhir yang tak berkebaikan.
Bapak Demokrasi
Beberapa bulan
terakhir, saya dan mungkin juga banyak rakyat Indonesia ingin sekali memberi
gelar kepada SBY sebagai Bapak Demokrasi, tidak sekadar ‘Bapak Demokrat’.
Presiden-presiden terdahulu tidak sepantas SBY untuk disebut Bapak atau Ibu
Demokrasi.
Sukarno pernah
terjerambab pada rezim otoriter ketika memerintah. Soeharto harus dipaksa
mundur setelah membagun pemerintahan yang juga otoriter. Habibie, Gus Dur,
dan Megawati, yang masing-masing memerintah di era munculnya Reformasi,
belumlah sepantas SBY untuk menyandang sebutan Bapak/Ibu Demokrasi karena
cuma memerintah dalam jangka yang pendek. Habibie satu tahun, Gus Dur dua
tahun, dan Mega tiga tahun.
SBY telah
memerintah selama sepuluh tahun (dua periode). Terlepas dari segala kelebihan
dan kekurangannya, demokrasi tetap terjaga dan tumbuh di negeri ini di kaki
kekuasaan SBY, termasuk demokrasi di tingkat lokal. Tapi kejadian dini hari
tadi membuat semua keinginan itu hilang. Hari-hari ke depan SBY mungkin tetap
menjadi Bapak Demokrat, tapi bukan (lagi) Bapak Demokrasi. Bapak Demokrat
tidak lagi menjaga demokrasi. Bapak Demokrat telah khianat terhadap
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar