Sejarah dan
Restrukturisasi Kementerian Agama
Asvi Warman Adam ; Sejarawan LIPI
|
KORAN
TEMPO, 26 September 2014
Penghapusan Kementerian Agama hampir mustahil bila
didasarkan pada Undang-Undang Kementerian Nomor 39 tahun 2008 tentang
Kementerian Negara. Sebab, pembubarannya harus dilakukan dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Belakangan ada rumor bahwa akan ada penggantian
namanya menjadi Kementerian Urusan Haji, Zakat, dan Wakaf, yang itu pun sudah
dibantah oleh presiden terpilih Joko Widodo.
Walaupun demikian, pembicaraan tentang fungsi dan cakupan tugas tetap
perlu, karena struktur kementerian yang sekarang memberi kesan adanya
"pembagian kaveling agama-agama besar" saja di Indonesia.
Sebelumnya akan diuraikan sejarah Kementerian Agama sebagai latar belakang
artikel ini.
Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 19 Agustus
1945 tentang pembentukan kabinet, usul tentang Kementerian Agama ditolak oleh
Johannes Latuharhary. Namun dalam perkembangannya, seperti ditulis Wahid
Hasjim, "Setelah berjalan dari
Agustus hingga November tahun itu juga, terasa sekali bahwa soal-soal agama
yang di dalam prakteknya bercampur dengan soal-soal lain di dalam beberapa
tangan (departemen) tidak dapat dibiarkan begitu saja. Dan terasa perlu
sekali berpusatnya soal-soal keagamaan itu di dalam satu tangan (departemen)
agar soal-soal demikian itu dapat dipisahkan (dibedakan) dari soal-soal
lainnya. Oleh karena itu, maka pada pembentukan Kabinet Parlementer yang
pertama, diadakan Kementerian Agama. Model Kementerian Agama ini pada
hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan
teori persatuan agama dan negara."
Dalam sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 25-27
November 1945, pembentukan Kementerian Agama disampaikan oleh utusan Komite
Nasional Indonesia Daerah Keresidenan Banyumas, "Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah
hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan saja, tetapi hendaklah Kementerian Agama yang
khusus dan tersendiri."
Usul itu didukung oleh tokoh Masyumi di antara Mohammad Natsir dan
diterima secara aklamasi. Presiden Sukarno memberi isyarat kepada Wakil
Presiden Mohammad Hatta. Bung Hatta langsung berdiri dan mengatakan, "Adanya Kementerian Agama tersendiri
mendapat perhatian pemerintah." Pada mulanya terjadi diskusi apakah
kementerian itu dinamakan Kementerian Agama Islam ataukah Kementerian Agama.
Tapi akhirnya diputuskan nama Kementerian Agama.
Pengumuman berdirinya Kementerian Agama disiarkan oleh pemerintah
melalui siaran Radio Republik Indonesia. Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh
Presiden Sukarno sebagai Menteri Agama RI pertama. Rasjidi adalah seorang
ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern (ia memperoleh gelar doktor
di Prancis) dan pada kemudian hari dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka
dan tokoh Muhammadiyah.
Kementerian Agama mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula
berada pada beberapa kementerian, yaitu Kementerian Dalam Negeri (masalah
perkawinan, peradilan agama, kemasjidan, dan urusan haji), Kementerian
Kehakiman (Mahkamah Islam Tinggi), dan Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan
Kebudayaan (masalah pengajaran agama di sekolah-sekolah).
Sehari setelah pembentukan Kementerian Agama, Menteri Agama H.M.
Rasjidi dalam pidato yang disiarkan oleh RRI Yogyakarta menegaskan bahwa
berdirinya Kementerian Agama bertujuan memelihara dan menjamin kepentingan agama
serta pemeluk-pemeluknya.
Dewasa ini, Kementerian Agama memiliki tujuh Direktorat Jenderal
(Dirjen), yakni 1) Pendidikan Agama Islam; 2) Penyelenggaraan Haji dan Umroh;
3) Bimbingan Masyarakat Islam; 4) Bimbingan Masyarakat Katholik; 5) Bimbingan
Masyarakat Kristen; 6) Bimbingan Masyarakat Hindu; 7) Bimbingan Masyarakat
Buddha. Belum ada Dirjen Bimbingan Masyarakat Konghucu. Dewasa ini, Pembinaan
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi merupakan direktorat
tersendiri pada Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan.
Sebaiknya kementerian ini tidak dibuat berkotak-kotak berdasarkan agama
besar di Tanah Air, tapi berdasarkan fungsinya, seperti Dirjen Pendidikan
Agama, Dirjen Kerukunan Beragama, Dirjen Prasarana dan Fasilitas Agama, dan
Dirjen Penyelenggaraan Haji/Umroh. Bisa ditambah dengan Dirjen Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Kaharingan, Parmalim, Sunda Wiwitan, dan
seterusnya).
Pada Direktorat Jenderal Kerukunan Beragama terdapat pejabat berbagai
agama yang bertugas melestarikan perdamaian dan menyelesaikan konflik di
antara umat beragama. Terserah apakah urusan haji
tetap merupakan wewenang Dirjen Kementerian Agama atau badan tersendiri yang
berada langsung di bawah presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar