Mulia
Kok Korup
Mohamad Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 29 September 2014
Memberi makan anak yatim, yaitu golongan lemah di dalam masyarakat,
merupakan kewajiban agama. Memberi makan di sini bukan hanya makan, tetapi
juga menyediakan segenap penghidupan lain.
Menyayangi mereka, memberi mereka rumah atau tempat tinggal yang layak,
dan pendidikan agar mereka menjadi manusia secara utuh, yaitu manusia
biologis, manusia sosial, manusia berbudaya, dan religius. Tidak keliru bila
orang yang bersembahyang disebut celaka sembahyangnya bila dia beragama dan
tertib menjalankan salat, tapi mengabaikan kaum miskin dan tak memberi mereka
yang lapar itu makanan.
Ketika kita dicekam ketegangan menjelang tahun 1965, yang dalam kajian
ilmu-ilmu sosial disebut zaman cultural
schism, yaitu kehidupan yang penuh perpecahan budaya, ayat ini pernah dikorup
untuk menjelekkan kaum beragama dengan memotong sepenggal ayatnya sehingga
tak komplet: maka celakalah orang-orang yang bersembahyang.
Yang melakukan korupsi ayat ini pun menegaskan: ini bunyi kitab suci,
Surat Al-Maun. Padahal, utuhnya, celakalah orang yang bersembahyang, yang tak
menaruh peduli, seperti disebut sedikit di atas, kepada kaum miskin.
Organisasi sosial keagamaan yang besar, Muhammadiyah, didirikan oleh KH
Ahmad Dahlan demi panggilan ayat tersebut. Tidaklah memahami agama bila kita
hanya menghafal ayat tersebut, tetapi tidak mampu mengamalkannya. Begitu
argumen beliau. Memberi tempat, pendidikan, dan kehidupan bagi anak yatim dan
kaum miskin itu perintah agama. Jadi, jelas merupakan sebuah kemuliaan.
Kalau mereka diberi pendidikan secukupnya, lalu dilatih bekerja, dan
menjadi kaya, itu amal saleh demi perintah agama. Di sini memperkaya orang
lain dianggap sebuah kemuliaan. Derajatnya mulia di bumi, mulia di langit.
Mulia di dunia ini, mulia pula di hari akhir. Membikin longgar bagi orang
lain yang dalam kesempitan, sempit sosial, sempit politik, sempit ekonomi,
itu perbuatan mulia. Menolong orang lain untuk memperoleh lapangan kerja, itu
amal mulia.
Meminjami orang lain modal untuk membuka warung, restoran, atau kafe,
pendeknya untuk berbisnis, itu termasuk kategori amal saleh dan amal saleh
seperti itu mulia sekali. Jika orang bersangkutan menjadi kaya dan kita, yang
memberi pinjaman modal tadi disebut memperkaya orang lain, itu mulia di atas
mulia. Jaranglah ada bandingan yang setara dengan kemuliaan itu. Kredit untuk
rakyat kecil jarang yang berhasil memperkaya mereka.
Kredit usaha menengah pun jarang yang bisa membuat penerima kredit tadi
memperoleh sukses besar yang layak menjadi contoh. Kalau ada yang sukses, itu
pun harus didaftar sebagai bagian dari kemuliaan duniawi yang dampaknya jauh
sekali ke dunia yang akan datang dan balasan bagi kemuliaan itu luar biasa
besarnya. Kita perlu memperbanyak kemuliaan di sekitar kita. Banyak orang
yang sudah melakukannya.
Rumah singgah, yang memberi pendidikan kepada anak-anak jalanan, itu
kemuliaan. Kalau beberapa di antara mereka kelak bisa maju, pendidikan mereka
tinggi, lalu mereka sukses dalam kehidupan, mulialah usaha itu. Mulia tanpa
bandingan pula karena hanya sedikit jumlah amalan seperti itu dan yang
sedikit itu hanya kecil, lebih sedikit, yang sukses.
Zaman Reformasi ini dipenuhi semangat membikin baru begitu banyak segi
kehidupan. Apa yang dulu boleh dan berjalan aman sekarang digugat demi cara
pandang yang lebih adil, lebih demokratis, lebih manusiawi. Kaum tua yang
sudah mapan lebih dari 30 tahun dalam kekuasaan Orde Baru yang di-anggap
setengah suci terkaget-kaget menghadapi semangat reformasi.
Memperkaya diri sendiri, dipandang dari sudut Undang-Undang
Antikorupsi, tidak boleh. Itu termasuk korupsi. Memperkaya orang lain itu
mulia dan terpuji, mungkin setinggi langit, tapi sekarang dianggap bagian
dari tindak pidana korupsi. Memperkaya orang lain dianggap korupsi? Tindakan
mulia itu dianggap korup? Ya, ya. Jelas korup kalau yang menyebabkan orang
lain menjadi kaya itu seorang pejabat yang menggunakan fasilitas negara,
kebijakan negara, aturannegara, dan uang negara untuk seseorang.
Di sini, seseorang itu boleh siapa saja, tak peduli itu istrinya,
anaknya, saudara kandungnya, pamannya, atau mertuanya, bahkan musuh
politiknya. Memperkaya musuh politik itu kelihatannya merupakan suatu
perbuatan hebat. Tapi kehebatan itu dianggap termasuk dalam tindakan pidana
korupsi. Memperbanyak jumlah dana khusus untuk menteri, agar sang menteri
bisa berbelanja secara leluasa dengan dana tersebut, tidak salah kalau ada
aturan yang menyatakan hal itu benar.
Kalau dana dihimpun dari berbagai pihak, termasuk pihak swasta, jadi
tak merugikan uang negara? Uang swasta pun harus diwaspadai. Swasta yang
bagaimana? Dia menyumbang secara sukarela? Dia memiliki kepentingan bisnis
dengan sang menteri? Sumbangan itu mulia. Tapi jika di belakangnya ada unsur
kepentingan bisnis, kemuliaan itu diragukan. Bahkan langsung tak bisa
diterima.
Itu kemuliaan yang mengandung unsur kongkalikong, yang pada akhirnya
bisa merugikan kepentingan negara. Apalagi bila pihak swasta tadi ternyata
kemudian mengaku dia diperas sang menteri secara habis-habisan, termasuk
dengan berbagai ancaman. Dia tak berdaya. Menyumbang seorang menteri agar
yang mulia menteri bisa leluasa berbelanja, itu mulia sekali dilihat dari
satu sudut. Tapi dilihat dari sudut KPK itu durjana karena “mulia kok korup”. Mulia ya mulia, korup ya korup.
Dua-duanya menghuni wilayah moral-politik yang berbeda. Jangan
dicampuradukkan begitu saja. Menyumbang panitia pembangunan rumah ibadah
dengan jumlah besar dan diumumkan lewat siaran televisi bahwa seorang hamba
Allah dengan tulus ikhlas menyumbang sejumlah besar uang, itu mulia di mata
panitia pembangunan yang sudah lelah mencari dana. Tapi tunggu dulu.
Siapa yang mengaku “hamba Allah” itu? Apa pekerjaannya, apa jabatannya,
di mana kantornya. Semua harus jelas. Bahkan semua catatan dan bentuk
transaksi keuangannya harus diteliti. Kalau dia ternyata menyubang dengan uang negara yang untuk beberapa
lama sudah dianggap miliknya dan sebagian sudah dinikmatinya, tetapi
sebenarnya itu uang negara juga, para ahli di bidang antikorupsi niscaya
paham bahwa amal saleh itu batil. Kedudukannya bukan lagi merupakan suatu
corak kesalehan, tapi termasuk korupsi. Kesalehan ya kesalehan.
Itu amal mulia dan umat beragama didorong untuk terus melakukannya.
Tapi korupsi ya korupsi. Tindakan
itu harus dibatasi. Pelakunya diadili dan dihukum. KPK yang harus
melakukannya tanpa henti, tanpa kenal lelah. Mulia ya mulia. Tapi tak boleh
ada unsur korupsi di dalamnya. Mulia
kok korup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar