Siapa
Diuntungkan oleh MEA di Perbankan?
Widigdo Sukarman ;
Praktisi Bankir Senior;
Staf Pengajar di Magister
Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM
|
KOMPAS,
22 September 2014
SALAH satu tantangan besar bagi
pemerintahan Jokowi-JK adalah implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
yang dimulai tahun 2015.
Para pemimpin ASEAN di KTT ASEAN ke-12 pada
Januari 2007 bersepakat mentransformasi ASEAN menjadi single market and
production base di mana pergerakan barang, jasa, investasi, tenaga kerja
terampil, dan aliran modal akan lebih bebas tanpa hambatan.
Indonesia sudah selayaknya memegang peran
penting dalam MEA mengingat kita menyumbang PDB tertinggi setara 34 persen
PDB ASEAN, 38 persen dari populasi ASEAN,
50 persen luas wilayah ASEAN serta rasio kredit terhadap PDB terendah
(29,6 persen, dibanding rata-rata ASEAN 67,2 persen).
Sangat logis jika dalam implementasi MEA,
Indonesia akan lebih jadi sasaran pasar bagi negara-negara ASEAN ketimbang
menjadikan ASEAN pasar Indonesia. Timbul pertanyaan: siapa yang akan lebih
diuntungkan dengan adanya MEA?
Di sektor perbankan, MEA memang baru mulai
diimplementasikan pada 2020. Para pelaku dan pemangku kepentingan sektor
perbankan tidak lantas abai akan berbagai inisiatif strategis yang harus
dipersiapkan, terutama dalam bidang infrastruktur teknologi, efisiensi, kualitas, dan sistem pengelolaan SDM serta
permodalan.
Infrastruktur teknologi menjadi pilar pokok
untuk mendukung interkonektivitas sistem keuangan, memperkuat sistem
pembayaran, dan pengembangan produk. Pemanfaatan teknologi juga penting dalam
memperluas akses keuangan (branchless
banking). Singapura, menyusul Korea dan Taiwan, begitu maju dalam
mengembangkan konsep Tech-based Economy.
Malaysia dan Thailand pun sudah mempersiapkan diri dengan baik. Bagaimana
dengan Indonesia?
Banyak
pekerjaan rumah
Dari sisi efisiensi, perbankan kita masih
memiliki pekerjaan rumah untuk menata struktur suku bunga dalam mendorong
mobilisasi dan alokasi dana secara efisien dan efektif. Biro Riset Infobank
(2012) pernah merilis data bahwa BOPO 14 bank besar di Indonesia di kisaran
80,11 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perbankan Malaysia (44,37
persen), Singapura (47,50 persen), ataupun rata-rata ASEAN (56,74 persen).
BOPO adalah ukuran efisiensi bank dengan
membandingkan biaya operasional, termasuk biaya bunga, dengan pendapatan
operasional bank. Model usaha perlu didalami untuk meningkatkan produktivitas
dan mengeliminasi biaya yang tak perlu. Mengandalkan sumber pendapatan dari
margin bunga harus mulai diimbangi dengan peningkatan sumber pendapatan di
luar bunga (fee-based income).
Untuk menjaga kualitas dan sistem
pengelolaan SDM perbankan yang kompetitif, sudah sepatutnya OJK, asosiasi
perbankan, pelaku industri, dan institusi terkait duduk bersama merumuskan
strategi jangka panjang dalam mengimplementasikan standardisasi kualitas dan
kompetensi bankir berkelanjutan.
Penguatan modal masih menjadi permasalahan
bagi banyak bank di Tanah Air. Per Desember 2013, tercatat 54 bank masih
bermodal inti di bawah Rp 1 triliun, 13 di antaranya Bank Pembangunan Daerah
(BPD). Bandingkan bank-bank besar di kawasan ASEAN, seperti CIMB, DBS Bank,
OCBC Bank, Maybank, dan Bangkok Bank. Empat bank pemerintah (Mandiri, BRI,
BNI, dan BTN) jika digabung (total aset Rp 1.877 triliun, modal inti Rp 190
triliun) baru bisa menandingi para pemain regional tersebut. Tidak heran jika
mengemuka wacana untuk melakukan konsolidasi bank agar Indonesia memiliki satu
atau dua bank besar yang mampu bersaing di kancah regional. Namun, betulkah
konsolidasi bank menjadi solusi?
Modal yang kuat memang penting bagi bank
untuk mempertahankan ekspansi secara berkelanjutan. Yang lebih penting dari
pengonsolidasian modal dan aset bank adalah komitmen pemilik untuk penguatan
modal, di antaranya kebijakan dividend
payout ratio.
Dalam case bank BUMN, konsolidasi strategis
kami nilai lebih tepat ketimbang memaksakan dilakukannya konsolidasi
institusi. Beberapa kali wacana akan dilakukannya konsolidasi institusi bank
BUMN, nyata-nyata belum membuahkan hasil. Hal ini, sejalan dengan pemikiran
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad, konsolidasi strategis akan
mendorong bank-bank BUMN untuk lebih mengoptimalkan layanan di playing field
masing-masing. Ujung-ujungnya, efisiensi.
Dengan adanya multiple license, konsolidasi
institusi lebih efektif jika ditujukan untuk bank-bank di Buku 1 (kategori
bank dengan modal inti kurang dari Rp 1 triliun). Untuk meningkatkan
kapasitas layanan operasional, bank-bank akan didorong untuk memperkuat
modal. Selain ”paksaan” regulasi, proses konsolidasi akan lebih cepat
terealisasi jika insentif yang lain juga diberikan, misalkan: perpajakan.
Kebijakan
untuk BPD
Lain halnya dengan BPD. Eksistensi,
kompleksitas kepemilikan, nilai strategis masa mendatang adalah kombinasi
yang menjadikan BPD perlu treatment lain. Keterbatasan modal bagi BPD dapat
diatasi melalui pembentukan fungsi holding oleh pemerintah pusat.
Memaksakan terbentuknya konsolidasi kepemilikan
BPD kepada tiap pemerintah daerah akan menguras energi luar biasa besar
dengan hasil yang belum tentu memuaskan. Dengan terobosan fungsi holding,
pemerintah baik pusat maupun daerah dapat mengisi gap kebutuhan modal BPD-BPD
yang tersebar di seluruh Indonesia.
Fungsi holding juga memungkinkan percepatan
konsolidasi operasional yang berdampak pada peningkatan efisiensi bank secara
individual. Dengan optimalnya layanan yang diberikan oleh BPD seluruh
Indonesia, maka BPD bernilai sangat strategis sebagai benteng terdepan
membendung gempuran bank-bank asing di pelosok Indonesia. Tak lain, karena
BPD paling mengenal karakteristik nasabah di wilayahnya serta nasabah BPD
juga memiliki loyalitas dan engagement yang tinggi.
Akhir kata, implementasi MEA menyebabkan
Indonesia akan diserbu oleh banyak bank dari negara-negara ASEAN.
Menyikapinya, segenap stakeholder mesti satu napas. Dukungan regulasi dari
OJK untuk memperkuat bank-bank nasional harus diimbangi dengan keberpihakan
pemerintah dalam memperjuangkan national
interest-nya. Single atau dual big bank memang perlu. Namun,
bank-bank yang sehat, yang mampu tumbuh dan melayani sebanyak-banyak
masyarakat, lebih kita perlukan.
Langkah cerdas harus dimulai dari sekarang
agar kita tidak kalah di negeri sendiri. Jangan sampai perbankan Indonesia
dikuasai bank-bank asing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar