Senin, 22 September 2014

Siapa Diuntungkan oleh MEA di Perbankan?

Siapa Diuntungkan oleh MEA di Perbankan?

Widigdo Sukarman  ;   Praktisi Bankir Senior;
Staf Pengajar di Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM
KOMPAS, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SALAH satu tantangan besar bagi pemerintahan Jokowi-JK adalah implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai tahun 2015.
Para pemimpin ASEAN di KTT ASEAN ke-12 pada Januari 2007 bersepakat mentransformasi ASEAN menjadi single market and production base di mana pergerakan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan aliran modal akan lebih bebas tanpa hambatan.

Indonesia sudah selayaknya memegang peran penting dalam MEA mengingat kita menyumbang PDB tertinggi setara 34 persen PDB ASEAN, 38 persen dari populasi ASEAN,  50 persen luas wilayah ASEAN serta rasio kredit terhadap PDB terendah (29,6 persen, dibanding rata-rata ASEAN 67,2 persen).

Sangat logis jika dalam implementasi MEA, Indonesia akan lebih jadi sasaran pasar bagi negara-negara ASEAN ketimbang menjadikan ASEAN pasar Indonesia. Timbul pertanyaan: siapa yang akan lebih diuntungkan dengan adanya MEA?

Di sektor perbankan, MEA memang baru mulai diimplementasikan pada 2020. Para pelaku dan pemangku kepentingan sektor perbankan tidak lantas abai akan berbagai inisiatif strategis yang harus dipersiapkan, terutama dalam bidang infrastruktur teknologi, efisiensi,  kualitas, dan sistem pengelolaan SDM serta permodalan.

Infrastruktur teknologi menjadi pilar pokok untuk mendukung interkonektivitas sistem keuangan, memperkuat sistem pembayaran, dan pengembangan produk. Pemanfaatan teknologi juga penting dalam memperluas akses keuangan (branchless banking). Singapura, menyusul Korea dan Taiwan, begitu maju dalam mengembangkan konsep Tech-based Economy. Malaysia dan Thailand pun sudah mempersiapkan diri dengan baik. Bagaimana dengan Indonesia?

Banyak pekerjaan rumah

Dari sisi efisiensi, perbankan kita masih memiliki pekerjaan rumah untuk menata struktur suku bunga dalam mendorong mobilisasi dan alokasi dana secara efisien dan efektif. Biro Riset Infobank (2012) pernah merilis data bahwa BOPO 14 bank besar di Indonesia di kisaran 80,11 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perbankan Malaysia (44,37 persen), Singapura (47,50 persen), ataupun rata-rata ASEAN (56,74 persen).

BOPO adalah ukuran efisiensi bank dengan membandingkan biaya operasional, termasuk biaya bunga, dengan pendapatan operasional bank. Model usaha perlu didalami untuk meningkatkan produktivitas dan mengeliminasi biaya yang tak perlu. Mengandalkan sumber pendapatan dari margin bunga harus mulai diimbangi dengan peningkatan sumber pendapatan di luar bunga (fee-based income).

Untuk menjaga kualitas dan sistem pengelolaan SDM perbankan yang kompetitif, sudah sepatutnya OJK, asosiasi perbankan, pelaku industri, dan institusi terkait duduk bersama merumuskan strategi jangka panjang dalam mengimplementasikan standardisasi kualitas dan kompetensi bankir berkelanjutan.

Penguatan modal masih menjadi permasalahan bagi banyak bank di Tanah Air. Per Desember 2013, tercatat 54 bank masih bermodal inti di bawah Rp 1 triliun, 13 di antaranya Bank Pembangunan Daerah (BPD). Bandingkan bank-bank besar di kawasan ASEAN, seperti CIMB, DBS Bank, OCBC Bank, Maybank, dan Bangkok Bank. Empat bank pemerintah (Mandiri, BRI, BNI, dan BTN) jika digabung (total aset Rp 1.877 triliun, modal inti Rp 190 triliun) baru bisa menandingi para pemain regional tersebut. Tidak heran jika mengemuka wacana untuk melakukan konsolidasi bank agar Indonesia memiliki satu atau dua bank besar yang mampu bersaing di kancah regional. Namun, betulkah konsolidasi bank menjadi solusi?

Modal yang kuat memang penting bagi bank untuk mempertahankan ekspansi secara berkelanjutan. Yang lebih penting dari pengonsolidasian modal dan aset bank adalah komitmen pemilik untuk penguatan modal, di antaranya kebijakan dividend payout ratio.

Dalam case bank BUMN, konsolidasi strategis kami nilai lebih tepat ketimbang memaksakan dilakukannya konsolidasi institusi. Beberapa kali wacana akan dilakukannya konsolidasi institusi bank BUMN, nyata-nyata belum membuahkan hasil. Hal ini, sejalan dengan pemikiran Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad, konsolidasi strategis akan mendorong bank-bank BUMN untuk lebih mengoptimalkan layanan di playing field masing-masing. Ujung-ujungnya, efisiensi.

Dengan adanya multiple license, konsolidasi institusi lebih efektif jika ditujukan untuk bank-bank di Buku 1 (kategori bank dengan modal inti kurang dari Rp 1 triliun). Untuk meningkatkan kapasitas layanan operasional, bank-bank akan didorong untuk memperkuat modal. Selain ”paksaan” regulasi, proses konsolidasi akan lebih cepat terealisasi jika insentif yang lain juga diberikan, misalkan: perpajakan.

Kebijakan untuk BPD

Lain halnya dengan BPD. Eksistensi, kompleksitas kepemilikan, nilai strategis masa mendatang adalah kombinasi yang menjadikan BPD perlu treatment lain. Keterbatasan modal bagi BPD dapat diatasi melalui pembentukan fungsi holding oleh pemerintah pusat.

Memaksakan terbentuknya konsolidasi kepemilikan BPD kepada tiap pemerintah daerah akan menguras energi luar biasa besar dengan hasil yang belum tentu memuaskan. Dengan terobosan fungsi holding, pemerintah baik pusat maupun daerah dapat mengisi gap kebutuhan modal BPD-BPD yang tersebar di seluruh Indonesia.

Fungsi holding juga memungkinkan percepatan konsolidasi operasional yang berdampak pada peningkatan efisiensi bank secara individual. Dengan optimalnya layanan yang diberikan oleh BPD seluruh Indonesia, maka BPD bernilai sangat strategis sebagai benteng terdepan membendung gempuran bank-bank asing di pelosok Indonesia. Tak lain, karena BPD paling mengenal karakteristik nasabah di wilayahnya serta nasabah BPD juga memiliki loyalitas dan engagement yang tinggi.

Akhir kata, implementasi MEA menyebabkan Indonesia akan diserbu oleh banyak bank dari negara-negara ASEAN. Menyikapinya, segenap stakeholder mesti satu napas. Dukungan regulasi dari OJK untuk memperkuat bank-bank nasional harus diimbangi dengan keberpihakan pemerintah dalam memperjuangkan national interest-nya. Single atau dual big bank memang perlu. Namun, bank-bank yang sehat, yang mampu tumbuh dan melayani sebanyak-banyak masyarakat, lebih kita perlukan.

Langkah cerdas harus dimulai dari sekarang agar kita tidak kalah di negeri sendiri. Jangan sampai perbankan Indonesia dikuasai bank-bank asing. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar