Postur
Kabinet
Faisal Basri ;
Ekonom
|
KOMPAS,
22 September 2014
MIRIP postur tubuh, postur kabinet
tampaknya tak ada hubungannya dengan ideologi. Juga tidak berkorelasi kuat dengan
besarnya negara atau jumlah penduduk. Tiongkok yang otoritarian dengan
penduduk terbesar di dunia dan perekonomian terbesar kedua di dunia hanya
memiliki 25 kementerian, tanpa pos menteri koordinator. India yang demokratis
dengan penduduk terbesar kedua di dunia dan perekonomian terbesar ketiga di
dunia hanya memiliki 23 kementerian, juga tanpa menteri koordinator.
Sebaliknya, Afrika Selatan yang demokratis
dan bukan Kelompok 20, dengan penduduk hanya sekitar 40 juta jiwa, memiliki
35 kementerian. Kendati tergolong tambun, Afrika Selatan tidak memiliki
menteri koordinator.
Tak juga terlihat kaitan erat antara postur
kabinet dan bentuk negara. Tiongkok dan Afrika Selatan adalah negara
kesatuan, sedangkan India merupakan negara federal.
Pada masa akhir pemerintahan Soeharto,
Kabinet Pembangunan VII, jumlah menteri sebanyak 34. Pada pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada 35 menteri. Kabinet Joko Widodo,
menurut rencana, memiliki 34 menteri dengan tetap mempertahankan tiga menteri
koordinator.
Pada awal reformasi, sebetulnya sudah
terjadi perampingan kabinet. Namun, sejak pemerintahan Yudhoyono, kabinet
kembali tambun. Pemerintahan Jokowi nanti tampaknya tak kuasa merampingkan
kabinet. Alasan paling rasional Yudhoyono dan Jokowi memiliki banyak menteri
adalah realitas politik. Struktur kekuasaan politik semakin divergen. Pada
Pemilihan Umum Legislatif 2014, partai terbesar hanya meraih 19 persen suara
atau 19,5 persen kursi DPR. Kalaupun tiga partai terbesar bergabung,
perolehan suara dan kursi DPR tidak mencapai 50 persen.
Meskipun bentuk pemerintahan kita
presidensial, dengan presiden dipilih langsung oleh rakyat, tetap saja
presiden gamang jika tidak memiliki ”koalisi” mayoritas di DPR.
Dengan postur kabinet yang tetap tambun,
apakah pemerintahan mendatang akan lebih efektif? Bagaimanapun, postur tambun
bakal membuat gerakan tubuh kurang lincah dan lebih rentan terjangkit
penyakit koordinasi dan proses pengambilan keputusan kian lama.
Presiden terpilih Jokowi bisa terhindar
dari penyakit akut itu asalkan mengindahkan tiga hal. Pertama, jika ada
perbedaan pandangan atau kebijakan antar-kementerian, presiden segera
mengambil alih persoalan dan mengambil keputusan. Presiden memutuskan
berdasarkan masukan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang
sepatutnya di bawah kantor kepresidenan. Seluruh staf kantor menteri
koordinator dilebur ke Bappenas dan sebagian memperkuat kementerian sektoral.
Kedua, merampingkan setiap kementerian.
Bukankah seharusnya postur pemerintahan pusat, setidaknya di bawah
kementerian, semakin ramping mengingat hampir seluruh kewenangan telah
diserahkan kepada pemerintah daerah? Alih-alih semakin ramping, justru pada
era otonomi daerah posisi eselon I kian bertambah. Besarnya anggaran
perjalanan dinas dan rapat yang dikeluhkan Jokowi adalah wujud dari
kewenangan pusat yang cenderung kian mencengkeram. Sebagai mantan kepala
daerah, Jokowi sadar betul akan persoalan ini sehingga diharapkan justru
lebih memberdayakan daerah ketimbang menambah kewenangan pusat.
Ketiga, membenahi proses perencanaan
anggaran. Sejak era reformasi, tak sekali pun APBN tanpa perubahan di tengah
jalan. Pada era Yudhoyono, pernah terjadi dua kali perubahan APBN (APBN-P)
dalam setahun.
Selama era Yudhoyono, perubahan mendasar
tidak terjadi di DPR. Hal ini terlihat dari relatif kecilnya perubahan dari
rancangan APBN (RAPBN) dan APBN ataupun antara RAPBN-P dan APBN-P. Perubahan
terbesar, bahkan kerap sangat drastis, terjadi antara APBN dengan APBN-P dan
antara APBN-P dengan realisasi. Contohnya, defisit dalam APBN 2008 sebesar
1,64 persen produk domestik bruto (PDB). Lalu, berubah dalam APBN-P menjadi
2,11 persen PDB. Realisasinya hanya 0,08 persen PDB.
Katakanlah, perubahan drastis tahun 2008
itu wajar karena sedang menghadapi ancaman krisis global. Namun, pola serupa
kembali terjadi pada 2010 dan 2011, realisasi defisit APBN jauh lebih rendah
ketimbang APBN.
Perubahan APBN sebagai cerminan buruknya
proses perencanaan anggaran memorakporandakan postur anggaran karena
memengaruhi langsung banyak pos pengeluaran. Hal ini terjadi karena banyak
undang-undang yang mewajibkan alokasi anggaran berdasarkan persentase
tertentu dari APBN atau PDB, misalnya pendidikan, kesehatan, dana otonomi
khusus, alat utama sistem persenjataan, dan dana perimbangan untuk daerah.
Lebih parah lagi, dampak terhadap
makroekonomi. Peningkatan tajam defisit anggaran di tengah jalan membuat
pemerintah semakin agresif menerbitkan surat utang untuk mengantisipasi
melonjaknya defisit anggaran. Pada waktu bersamaan, pemerintah juga agresif
memotong belanja setiap kementerian/lembaga. Pemerintah lebih banyak mengisap
darah perekonomian ketimbang memompakan darah ke dalam perekonomian atau
dikenal sebagai crowding out effect. Hal ini membuat suku bunga tetap tinggi
sehingga kian membebani dunia usaha dan menekan pertumbuhan ekonomi.
Semua itu biang keladinya adalah subsidi
bahan bakar minyak. Jokowi-Jusuf Kalla tahu itu dan akan menyelesaikannya
segera. Modal berharga untuk bergerak lebih lincah.
Postur kabinet merupakan realitas politik.
Harapan tertumpu pada pemimpin yang mampu menggerakkan segala potensi bangsa,
yang selama ini berserakan dan saling menegasikan. Pemimpin yang berani
melakukan perubahan mendasar dalam pendekatan kebijakan ekonomi bagi
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dan berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar