Senin, 22 September 2014

Djuanda pada Abad XXI

Djuanda pada Abad XXI

Arif Havas Oegroseno  ;   Alumnus Harvard Law School 92;
Presiden Konferensi Konvensi Hukum Laut PBB Ke-20
KOMPAS, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

DEKLARASI Djuanda 1957—yang menggantikan laut bebas di antara negara kepulauan menjadi perairan nasional yang mempersatukan pulau-pulau dan perairannya sebagai satu kesatuan—diakui dunia dengan diterimanya prinsip hukum negara kepulauan oleh UNCLOS 1982. Proses perundingannya sangat kompleks dan diwarnai semangat dekolonisasi, kedaulatan, dan keutuhan wilayah negara-negara yang baru merdeka, polarisasi kekuatan blok Perang Dingin dan konflik kepentingan Utara-Selatan tentang sumber daya alam, alih teknologi serta kebijakan pembangunan.  Dunia telah berubah drastis. Perang Dingin telah usai dan negara-negara blok tak lagi menjadi satu-satunya kekuatan penentu tingkat global. Kekuatan mereka berkurang secara substantif, muncul kekuatan baru di berbagai belahan dunia yang mampu berperan sebagai kekuatan regional dan bahkan global.

Kekuatan ekonomi tidak lagi didominasi Barat. Aktor dunia bahkan tidak hanya negara, tetapi juga organisasi kriminal global dan kelompok yang memilih metode perlawanan dengan cara bunuh diri dengan target militer dan non-militer. Dunia saat ini diwarnai multipolarisme atau bahkan non-polar (Richard Hass, Foreign Policy Begins at Home) serta pergeseran kekuatan dunia ke Asia dengan perkembangan teknologi, ekonomi, dan sosial budaya baru. Indonesia kini juga anggota G-20 yang telah menerapkan berbagai elemen UNCLOS 1982, khususnya prinsip-prinsip negara kepulauan.

Munculnya kekuatan ekonomi Asia kian meningkatkan nilai strategis perairan Indonesia, Selat Malaka dan Singapura, Selat Sunda dan Selat Lombok, di tingkat global. Pelayaran di Selat Malaka dan Singapura saja mencapai 70.000 kapal per tahun di mana sepertiga komoditas dunia dan 80 persen kebutuhan energi Asia Timur diperdagangkan melalui perairan ini. Keterlambatan sehari karena hambatan pelayaran diperkirakan mencapai Rp 100 miliar. Ditambah navigasi ekspor-impor dari Asia Timur ke Pasifik melalui Selat Sunda dan Lombok, serta lalu lintas kapal-kapal militer, tak berlebihan apabila perairan Indonesia adalah perairan paling strategis di dunia. Bahkan, konsep Tiongkok tentang Jalan Sutra Maritim pun dalam peta penjelasannya menggunakan perairan Indonesia untuk menciptakan linkages antara Asia Timur dan dunia.

Kepentingan Indonesia

Sebagai negara kepulauan dengan lokasi sangat strategis yang berdampak global dan negara pihak UNCLOS 1982, kepentingan dan peran Indonesia tak saja terkait kondisi di tingkat nasional dan regional, tetapi juga global karena hak-hak, kewajiban, dan bahkan keuntungan yang diciptakan UNCLOS 1982 bersifat global. Paling tidak terdapat lima aspek yang perlu dikembangkan dalam kondisi ini.  Pertama, kewilayahan. Diplomasi perbatasan perlu terus dilakukan dan tidak hanya mencakup penyelesaian perundingan perbatasan maritim dengan sejumlah negara tetangga, tetapi juga ekstensi wilayah hak berdaulat di luar 200 mil laut (360 kilometer).

Indonesia telah berhasil memperluas wilayah hak berdaulat di landas kontinen barat Sumatera seluas 4.200 km2, tetapi ekstensi seperti ini perlu dilakukan di berbagai wilayah lain. Dampak ekonominya akan sangat tinggi. Diplomasi perbatasan juga dapat jadi model penyelesaian sengketa secara damai di kawasan Asia mengingat Indonesia satu-satunya negara di Asia dengan jumlah perjanjian perbatasan tertinggi. Hal ini juga menunjukkan budaya damai dan kepatuhan atas hukum internasional dalam penyelesaian sengketa di Asia bukan sesuatu hal yang langka.

Kedua, keamanan maritim bagi kita tak hanya bermakna operasi menghadapi pencurian ikan, penyelundupan orang, senjata, dan obat terlarang melalui laut, tetapi juga keamanan nasional yang berdampak global, seperti operasi melawan perompakan dan perampokan bersenjata di laut. Keputusan Indonesia melansir pertemuan tingkat menlu Selat Malaka dan Singapura pada 2005—beku sejak 1970-an—yang kemudian ditindaklanjuti dengan sejumlah operasi keamanan laut telah memberikan hasil positif.

Mekanisme keamanan dan keselamatan navigasi Selat Malaka dan Singapura ini menjadi model bagi kawasan dunia lain. Terlebih lagi mekanisme kerja sama keselamatan navigasi yang secara teknis membosankan, secara strategis telah mampu menghilangkan blok atau aliansi kekuatan angkatan laut asing karena mekanisme ini melibatkan negara pengguna seluruh penjuru dunia, negara pantai dan berbagai organisasi internasional.

Ketiga, perekonomian. Indonesia kiranya perlu memanfaatkan posisinya di jalur perlintasan strategis untuk kepentingan ekonomi secara maksimal. Konektivitas logistik tidak saja menghubungkan sejumlah pelabuhan kunci di berbagai pulau Indonesia, tetapi juga menghubungkannya dengan pusat ekonomi di Asia dan dunia. Infrastruktur pelabuhan dengan kapasitas post-panamax memang perlu dibangun, tetapi investasi operasi pergudangan dan logistik di pelabuhan pasar dunia jadi krusial, karena Indonesia dapat langsung mengirim produk nasional tanpa transit di pelabuhan negara lain seperti saat ini.

Diplomasi ekonomi tak hanya membuka pasar dunia dengan pemasaran produk kita, tetapi juga harus mampu membuka pintu logistik. Diplomasi ekonomi juga harus menciptakan investasi Indonesia di kawasan the Area yang dikelola International Seabed Authority. Indonesia saat ini telah ketinggalan dalam inovasi investasi di kawasan ini, sementara negara-negara lain seperti Kuba, Fiji, Tonga, dan Singapura telah berada di sana.

Keempat, lingkungan hidup. Kegiatan IUU fishing di perairan Indonesia perlu diperangi dengan cara-cara inovatif karena hal ini tidak saja menghabiskan sumber pangan, tetapi juga menghancurkan lingkungan laut serta membahayakan kehidupan nelayan kecil dan penduduk di pesisir laut. Indonesia perlu mengembangkan kerja sama dengan pasar dunia untuk menolak impor ikan yang berasal dari IUU fishing di perairan Indonesia.

Paru-paru dunia tak hanya di hutan tropis, tetapi juga di perairan kita. Laut menyerap 30 persen karbon dunia. Namun, peningkatan pengasaman laut justru akan menghancurkan terumbu karang Indonesia yang jumlahnya mencapai 18 persen dari terumbu karang dunia. Dampaknya akan sangat luas bagi ketersediaan pangan dan ekspor seafood Indonesia.

Perubahan cara pikir

Kelima, cara berpikir bangsa. Indonesia adalah negara maritim dengan cara berpikir agraris. Komponen protein ikan laut tidak menjadi konsumsi sehari-hari dan laut sering dipandang tempat yang berbahaya. Bahkan, definisi sembako sesuai keputusan Menperindag sama sekali tak mencakup ikan, darat ataupun laut. Elemen laut dalam sembako hanya garam. Sementara kebijakan penyediaan sembako sering menjadi isu nasional, pencurian ikan secara masif dan kerusakan lingkungan laut sering kali dianggap masalah keamanan dan lingkungan hidup saja yang jauh dari kehidupan sehari-hari.

Perubahan cara berpikir dari bangsa agraris menjadi bangsa maritim perlu strategi tepat dengan target semua tingkatan usia dan waktu yang lama. Tanpa perubahan mendasar ini, Indonesia hanya akan jadi tempat jalur perlintasan strategis tanpa mampu memanfaatkannya secara maksimal dan berbagai kesempatan serta keuntungan ekonomi yang berada di luar wilayah Indonesia yang diberikan UNCLOS 1982 tak dapat dimanfaatkan.

Djuanda dan para pendiri bangsa telah berusaha sekuat tenaga memperjuangkan pengakuan prinsip negara kepulauan, tugas kita hanya memanfaatkan hasilnya secara maksimal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar