Sebelas
Samurai
Anonim ; Penulis
Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
07 September 2014
Setiap
hari, Narendra Modi, perdana menteri baru India, hanya tidur tiga hingga
empat jam. Tidak lebih! Agar tetap bugar, setiap hari Modi melakukan yoga.
Dengan yoga, ada banyak sekali manfaat yang berdampak pada kesehatan tubuh,
seperti membuat tubuh lebih fleksibel, meningkatkan imunitas, menenangkan
pikiran, dan meningkatkan kekebalan tubuh. Dan, Modi memilih yoga untuk
memulihkan energinya yang sudah terkuras karena kerja keras.
Modi
menyadari bahwa tantangan di depan dalam memimpin India tidak ringan, pun
tidak sedikit. India—dan juga negara-negara lain, termasuk
Indonesia—membutuhkan pemimpin yang, menurut istilah Daoed Joesoef, dapat
menyelesaikan masalah dengan kejutan yang menyejukkan. Bagi India, membangun
hubungan yang baik dengan Tiongkok sangat penting, demikian pula dengan
Jepang. Karena itu, fokus pertama dan utama Modi adalah kedua negara itu.
Apakah
Modi yang berhasil memajukan Negara Bagian Gujarat juga akan mampu
meningkatkan kemajuan India? Itu sebuah pertanyaan. India akan dibawa ke mana
oleh Modi? Sama juga, Indonesia mau dibawa ke mana oleh Joko Widodo? Apakah
mereka nanti akan tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang memberikan
kemakmuran, kesejahteraan, keamanan, dan kemajuan kepada rakyat? Kita masih
harus menunggu.
Berdasarkan
catatan Ramachandra Guha yang tertuang dalam Makers of Modern Asia (2014),
Guha menulis tentang para tokoh Asia—bukan para usahawan yang kaya raya,
melainkan para pemimpin politik—yang memodernkan Asia. Ada 11 pemimpin yang
disebutnya.
Dari
11 pemimpin itu, paling banyak berasal dari Tiongkok, empat orang. Mereka
adalah Mao Zedong, Zhou Enlai, Deng Xiaoping, dan Chiang Kai-shek. Terbanyak
kedua adalah India, tiga orang, yakni Mohandas Gandhi, Jawaharlal Nehru, dan
Indira Gandhi. Sisanya masing-masing seorang, yakni Ho Chi Minh (Vietnam),
Soekarno (Indonesia), Lee Kuan Yew (Singapura), dan Zulfikar Ali Bhutto
(Pakistan).
Menurut
Guha, di dalam diri kesebelas pemimpin itu ada kekuatan gagasan, kekuatan
ide, yang luar biasa. Ide kemajuan (the idea of progress), yang menurut Daoed
Joesoef dalam Strategi Pembangunan Nasional (2014) kini malah mengkristal
menjadi the religion of progress. Tentu ide atau gagasan untuk membawa
negerinya keluar dari cengkeraman kekuasaan penjajah, dan kemudian tidak
berhenti sampai di sini, tentu.
Karena
itu, masih menurut Daoed, wajar kalau para elite sekarang yang merasa
terpanggil untuk memimpin negara-bangsa seharusnya menanggapi ”nostalgia
kemajuan” itu dan lalu dengan serius berusaha menekuni ide kemajuan guna
diterapkan secara konsisten di alam kemerdekaan. Sebab, ide bukan suatu
”mimpi besi”. Ide kemajuan merupakan suatu ide fundamental yang dikandung
oleh istilah ”peradaban”.
Tentu,
kesebelas pemimpin Asia telah melalui jalan ”peradaban” itu ketika berjuang
membawa bangsanya keluar dari cengkeraman penjajahan, dari kamar
keterbelakangan, dari ruang kegelapan, menuju kemerdekaan, kemajuan, dan
kebebasan yang cerah.
Apakah
pemimpin kita juga mampu membawa kita semua, bangsa dan negara ini, ke sana:
melepaskan kita dari belenggu primordialisme, sektarianisme, fragmentasi
bangsa, dan melangkah ke alam kemajuan yang manusiawi? Itulah pertanyaan
terakhir untuk saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar