Minggu, 07 September 2014

Meretas Tragedi Kemanusiaan

Meretas Tragedi Kemanusiaan

Elias Situmorang  ;   Anggota dari Ordo Kapusin; Pastor Kepala Paroki St Fransiskus Asisi Berastagi, Tanah Karo, Sumatera Utara
KOMPAS, 06 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

TRAGEDI kemanusiaan terus terjadi di berbagai belahan Bumi. Pertempuran di Gaza, konflik Ukraina, dan pembantaian yang dilakukan Islamic State of Iraq and Syria (Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS) terhadap suku-suku minoritas di Irak telah menewaskan ribuan orang dan menyengsarakan jutaan orang lainnya.

Ketiga peristiwa tersebut dapat digolongkan sebagai tragedi kemanusiaan besar yang sangat menodai peradaban manusia sebagai makhluk berbudi luhur dalam milenium ketiga ini. Sebagai manusia yang menyakini dan mengakui adanya Tuhan, kita menyadari bahwa berbagai tragedi kemanusiaan itu terjadi akibat semakin berkurangnya cinta kasih kepada sesama.

Memandang dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri dalam era globalisasi memang tidak semudah membalik telapak tangan. Dewasa ini sikap individualistis dominan mewarnai kehidupan manusia.

Banyak orang, bangsa, negara, atau kelompok tertentu yang berusaha keras mewujudkan kepentingannya dengan beragam cara. Bahkan, demi kedudukan dan kepentingan, sering kali orang, negara, atau kelompok menginjak, menindas, dan membunuh orang lain yang dianggap penghalang.

Cinta sesama

Keakraban dan keharmonisan hubungan kasih persaudaraan, hidup dalam masyarakat tradisional di lingkup daerah tertentu. Acuannya, nilai bersama dalam kekeluargaan dan kekerabatan, yang dihayati sebagai perekat utama dengan sesama. Kini, nilai-nilai bersama itu telah bergeser pada nilai fungsional yang mengutamakan kegunaan dan fungsi.

Harus diakui bahwa hubungan antarsuku dan bangsa telah menumbuhkan kesadaran akan kesatuan dan ketergantungan satu sama lain. Dunia sudah semacam kampung besar dengan segala keberagaman dan keunikan penghuninya. Bangsa yang satu dengan yang lain saling membutuhkan hampir dalam segala hal. Rasa ketergantungan ini menuntut solidaritas, saling mengerti, dan kesediaan berdialog antara bangsa yang satu dan yang lainnya.

Namun, fakta menunjukkan, manusia cenderung gampang terpecah karena pergulatan kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan, seperti sengketa politik, sosial, ekonomi, dan ideologi yang sering bermuara pada perang dan berimbas pada krisis kemanusiaan. Pada titik ini manusia disadarkan kembali akan pentingnya menanamkan kembali keutamaan cinta kasih kepada sesama manusia.

Cinta kasih merupakan salah satu keutamaan paling mendasar dalam diri setiap orang yang mampu mempersatukan dan melampaui segala batas suku, ras, golongan, agama, adat-istiadat, dan bangsa tanpa menghilangkan otonomi pribadi.

Falsafah cinta kasih berasal dari kata Yunani, yakni agapan-agape. Kata kerja ”agapan” dalam bahasa Latin diterjemahkan dengan deligere, yang mempunyai arti memilih, mencintai, dan menyambut dengan baik. Adapun kata benda ”agape” diterjemahkan dengan delectio atau charitas, yang berarti cinta kasih berdasarkan penghargaan, kebaikan, dan kerahiman.

Paus Leo XIII dalam ensiklik Rerum Novarum menyatakan bahwa cinta kasih pertama-tama harus bercirikan kejujuran, kesediaan untuk berkorban melawan segala bentuk kesombongan, egoisme, dan penyangkalan diri demi kebaikan bersama.

Cinta kasih menjadi kekuatan yang mendorong sekaligus berperan sebagai perekat dalam kesatuan tanpa ada dimensi diskriminatif.

Pandangan Paus Leo XIII menandaskan bahwa cinta kasih kepada sesama manusia merupakan ungkapan tertinggi kesetiakawanan universal. Bahasa sederhananya, apabila setiap orang mengedepankan cinta kasih, maka tidak akan ada lagi kebencian dan perang.

Meretas tragedi

Pada hakikatnya semua manusia adalah baik, karena itu berpotensi besar untuk berbuat baik dan benar. Pandangan positif-optimistis ini akan dapat membantu setiap orang untuk menghindari segala bentuk kecenderungan dan subyektivisme bahwa hanya bangsa dan agamanyalah yang benar dan satu-satunya jalan menuju keselamatan.

Sebenarnya umat manusia tak perlu diajari cara meretas tragedi kemanusiaan. Sejarah telah membuktikan bahwa jalan cinta kasih merupakan dasar dalam merajut persaudaraan sebagai sesama manusia yang berasal dari Pencipta yang sama dan satu, yakni Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam hal ini kita boleh belajar pada filosofi tokoh besar India, Mahatma Gandhi, yang terkenal, yaitu Ahimsa: berjuang tanpa kekerasan, dan ungkapannya yang masyhur: we are all brothers ’kita semua bersaudara’.

Cinta kasih selalu merupakan kerelaan hati, tanpa pamrih, dan berbentuk perbuatan baik. Ketiga aspek ini merupakan komponen utama dari cinta kasih kepada sesama.

Cinta kasih menunjukkan adanya kesadaran tertinggi dalam diri manusia yang mendorong setiap orang untuk saling mengasihi, terbuka bagi sesamanya yang pada akhirnya akan dapat mewujudkan masyarakat harmonis. Dengan mengasihi sesamanya, manusia akan sungguh-sungguh mengalami hidup.

Kebencian, permusuhan, dan peperangan adalah penyakit, bahkan kematian. Untuk benar-benar mau merasakan hidup dan terutama untuk meretas tragedi kemanusiaan, setiap orang sebaiknya senantiasa berkata kepada dirinya sendiri: ”saya mengasihi, maka saya ada”.

Merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar