Meretas
Tragedi Kemanusiaan
Elias Situmorang ; Anggota
dari Ordo Kapusin; Pastor Kepala Paroki St Fransiskus Asisi Berastagi, Tanah
Karo, Sumatera Utara
|
KOMPAS,
06 September 2014
TRAGEDI kemanusiaan
terus terjadi di berbagai belahan Bumi. Pertempuran di Gaza, konflik Ukraina,
dan pembantaian yang dilakukan Islamic State of Iraq and Syria (Negara Islam
di Irak dan Suriah/NIIS) terhadap suku-suku minoritas di Irak telah
menewaskan ribuan orang dan menyengsarakan jutaan orang lainnya.
Ketiga peristiwa
tersebut dapat digolongkan sebagai tragedi kemanusiaan besar yang sangat
menodai peradaban manusia sebagai makhluk berbudi luhur dalam milenium ketiga
ini. Sebagai manusia yang menyakini dan mengakui adanya Tuhan, kita menyadari
bahwa berbagai tragedi kemanusiaan itu terjadi akibat semakin berkurangnya
cinta kasih kepada sesama.
Memandang dan
mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri dalam era globalisasi memang
tidak semudah membalik telapak tangan. Dewasa ini sikap individualistis
dominan mewarnai kehidupan manusia.
Banyak orang, bangsa,
negara, atau kelompok tertentu yang berusaha keras mewujudkan kepentingannya
dengan beragam cara. Bahkan, demi kedudukan dan kepentingan, sering kali
orang, negara, atau kelompok menginjak, menindas, dan membunuh orang lain
yang dianggap penghalang.
Cinta sesama
Keakraban dan
keharmonisan hubungan kasih persaudaraan, hidup dalam masyarakat tradisional
di lingkup daerah tertentu. Acuannya, nilai bersama dalam kekeluargaan dan
kekerabatan, yang dihayati sebagai perekat utama dengan sesama. Kini,
nilai-nilai bersama itu telah bergeser pada nilai fungsional yang
mengutamakan kegunaan dan fungsi.
Harus diakui bahwa
hubungan antarsuku dan bangsa telah menumbuhkan kesadaran akan kesatuan dan
ketergantungan satu sama lain. Dunia sudah semacam kampung besar dengan
segala keberagaman dan keunikan penghuninya. Bangsa yang satu dengan yang
lain saling membutuhkan hampir dalam segala hal. Rasa ketergantungan ini menuntut
solidaritas, saling mengerti, dan kesediaan berdialog antara bangsa yang satu
dan yang lainnya.
Namun, fakta
menunjukkan, manusia cenderung gampang terpecah karena pergulatan
kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan, seperti sengketa politik, sosial,
ekonomi, dan ideologi yang sering bermuara pada perang dan berimbas pada
krisis kemanusiaan. Pada titik ini manusia disadarkan kembali akan pentingnya
menanamkan kembali keutamaan cinta kasih kepada sesama manusia.
Cinta kasih merupakan
salah satu keutamaan paling mendasar dalam diri setiap orang yang mampu
mempersatukan dan melampaui segala batas suku, ras, golongan, agama,
adat-istiadat, dan bangsa tanpa menghilangkan otonomi pribadi.
Falsafah cinta kasih
berasal dari kata Yunani, yakni agapan-agape. Kata kerja ”agapan” dalam
bahasa Latin diterjemahkan dengan deligere, yang mempunyai arti memilih,
mencintai, dan menyambut dengan baik. Adapun kata benda ”agape” diterjemahkan
dengan delectio atau charitas, yang berarti cinta kasih berdasarkan penghargaan,
kebaikan, dan kerahiman.
Paus Leo XIII dalam
ensiklik Rerum Novarum menyatakan bahwa cinta kasih pertama-tama harus
bercirikan kejujuran, kesediaan untuk berkorban melawan segala bentuk
kesombongan, egoisme, dan penyangkalan diri demi kebaikan bersama.
Cinta kasih menjadi
kekuatan yang mendorong sekaligus berperan sebagai perekat dalam kesatuan
tanpa ada dimensi diskriminatif.
Pandangan Paus Leo
XIII menandaskan bahwa cinta kasih kepada sesama manusia merupakan ungkapan
tertinggi kesetiakawanan universal. Bahasa sederhananya, apabila setiap orang
mengedepankan cinta kasih, maka tidak akan ada lagi kebencian dan perang.
Meretas tragedi
Pada hakikatnya semua
manusia adalah baik, karena itu berpotensi besar untuk berbuat baik dan
benar. Pandangan positif-optimistis ini akan dapat membantu setiap orang
untuk menghindari segala bentuk kecenderungan dan subyektivisme bahwa hanya
bangsa dan agamanyalah yang benar dan satu-satunya jalan menuju keselamatan.
Sebenarnya umat
manusia tak perlu diajari cara meretas tragedi kemanusiaan. Sejarah telah
membuktikan bahwa jalan cinta kasih merupakan dasar dalam merajut
persaudaraan sebagai sesama manusia yang berasal dari Pencipta yang sama dan
satu, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam hal ini kita
boleh belajar pada filosofi tokoh besar India, Mahatma Gandhi, yang terkenal,
yaitu Ahimsa: berjuang tanpa kekerasan, dan ungkapannya yang masyhur: we are
all brothers ’kita semua bersaudara’.
Cinta kasih selalu
merupakan kerelaan hati, tanpa pamrih, dan berbentuk perbuatan baik. Ketiga
aspek ini merupakan komponen utama dari cinta kasih kepada sesama.
Cinta kasih
menunjukkan adanya kesadaran tertinggi dalam diri manusia yang mendorong
setiap orang untuk saling mengasihi, terbuka bagi sesamanya yang pada
akhirnya akan dapat mewujudkan masyarakat harmonis. Dengan mengasihi
sesamanya, manusia akan sungguh-sungguh mengalami hidup.
Kebencian, permusuhan,
dan peperangan adalah penyakit, bahkan kematian. Untuk benar-benar mau
merasakan hidup dan terutama untuk meretas tragedi kemanusiaan, setiap orang
sebaiknya senantiasa berkata kepada dirinya sendiri: ”saya mengasihi, maka
saya ada”.
Merdeka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar