Minggu, 07 September 2014

Pemilu Kita Kapitalistik

Pemilu Kita Kapitalistik

(Wawancara)
Hamdan Zoelva  ;   Ketua Mahkamah Konstitusi
KOMPAS, 07 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pesta demokrasi baru berlalu. Menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang mengukuhkan keterpilihan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden 2014-2019, sosok Hamdan Zoelva yang memimpin majelis hakim konstitusi ikut mencuri perhatian.

Ketika dilantik sebagai hakim konstitusi pada 2010, latar Hamdan sebagai politisi sempat memunculkan keraguan tentang integritasnya. Hamdan yang sebelumnya selama 23 tahun berprofesi advokat pernah duduk sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai Bulan Bintang.

Di pengujung 2013, ketika Hamdan menjabat sebagai Wakil Ketua MK, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Ketua MK Akil Mochtar. Tampuk kepemimpinan MK pun bergeser ke tangan Hamdan tepat ketika institusi ini menjadi sasaran luapan kekecewaan dan ketidakpercayaan publik.

MK hanya punya waktu beberapa bulan untuk berbenah—menegakkan kembali integritas—sebelum harapan rakyat ditumpukan kepada MK untuk menyelesaikan sengketa pemilu legislatif dan Pilpres 2014.

Sebagai hakim konstitusi, Hamdan dikenal ”pelit” dimintai tanggapan soal kasus yang ditangani. Namun, pekan lalu, ia mengungkapkan pemikirannya tentang berbagai persoalan bangsa.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Ketua MK di kediamannya:

Apa pendapat Anda tentang pemilu yang baru berlalu? Adakah evaluasi?

Kita harus bangga. Baru tiga kali kita buat pemilu (pemilihan presiden secara langsung), tetapi pada pemilu ke-3 ini menurut saya sudah bagus. Bandingkan dengan pemilu di negara-negara lain, seperti Timur Tengah, Asia, dan Afrika, kecuali Afrika Selatan, banyak yang gagal. Bahkan, di Thailand yang masyarakatnya tidak semajemuk Indonesia pun pemilunya dibatalkan.

Meski begitu, ada banyak pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan untuk memperbaiki sistem pemilu di masa mendatang. Sejujurnya, dalam beberapa hal, saya kecewa, terutama terhadap proses politik dalam pemilu dan kinerja DPR, tempat di mana saya pernah ada di situ.

Pemilu kita sekarang begitu kapitalis. Artinya, siapa yang bermodal besar, ia akan menguasai politik. Saya tidak pernah membayangkan hal seperti ini terjadi. Memang, saat itu (ketika Hamdan menjadi anggota DPR pada 1999-2004), kami desain kebebasan politik dibuka selebar-lebarnya. Kebebasan itu begitu luar biasa, tetapi katup pengamannya kurang. Ini harus dievaluasi lagi. Dikembalikan ke rel yang benar. Ada sistem yang harus diubah. Tidak lagi pertarungan bebas seperti ini.

Jumlah aktivis yang masuk ke DPR sekarang berkurang. Aktivis yang benar-benar punya idealisme tinggi, punya latar belakang organisasi sejak muda, tidak bisa masuk ke DPR karena tidak punya modal. Begitu juga orang yang betul-betul kader partai, yang berjibaku untuk partai, malah tidak punya kesempatan bagus. Rata-rata orang seperti itu kan pas-pasan (kemampuan ekonominya).

Sekarang, selama seseorang menjadi anggota DPR, ia terus mengakumulasi modal. Dengan begitu, ketika mencalonkan lagi, pasti terpilih. Itulah kapitalistik. Di Amerika, untuk mengalahkan incumbent, secara teori lawan harus punya modal dua kali lipat. Harus jorjoran, habis-habisan, karena calon incumbent sudah menanam modal selama lima tahun. Dia bisa melakukan apa saja dengan modal dan kekuasaan yang dia miliki.

”Kecelakaan”

Hamdan Zoelva bercerita, ia terjun ke dunia politik dan menjadi anggota DPR karena ”kecelakaan”. Pada 1997, sebagai advokat, ia ikut mendirikan sebuah organisasi buruh, Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI). Ketika reformasi bergulir setahun kemudian, PPMI termasuk salah satu organisasi yang mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB).

Meski tak berniat berpolitik, PPMI menugasi Hamdan untuk mewakili organisasi dalam kepengurusan PBB. Semangat reformasi membangkitkan kembali jiwa aktivis Hamdan ketika itu. Semasa kuliah di Makassar, Hamdan memang Ketua Badan Koordinasi HMI Indonesia Timur.

”Saya merasakan pada 1998 itu idealisme yang luar biasa karena sebelumnya kita dikungkung. Ketika jadi aktivis, bikin training saja harus izin atau kita dikerangkeng 1 x 24 jam. Itu biasa, sudah langganan dulu.”

Dalam gelora semangat reformasi, Hamdan yang sudah mapan dengan firma hukum yang ia dirikan rela menggunakan uang pribadi untuk berkampanye demi partai yang baru lahir itu. ”Pemilu 1999, kan, tidak menggunakan sistem urut. Saya enggak mimpi terpilih jadi anggota DPR. Saya kampanye hanya untuk membesarkan partai karena ada idealisme, lewat partai kita bisa memperbaiki negara.”

Selama menjadi anggota DPR pada 1999-2004, Hamdan terlibat aktif dalam lima tahun pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Ia antara lain juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi II yang membidangi hukum dan politik dalam negeri.

Apakah pemilu yang menurut Anda kapitalistik itu berpengaruh pada produk legislasi?
                           
Ya, itu berhubungan secara paralel. Logika sederhananya, orang mengeluarkan modal besar (untuk pemilu), siapa, sih, yang mau rugi? Harus balik, dong. Kalaupun tidak menggerogoti, di DPR, ia paling tidak mendapat relasi dan kemudahan urusan. Itu saja yang jadi konsentrasi, bukan bagaimana membuat produk legislasi yang bagus.

Banyak UU yang setelah disahkan dibawa (digugat) ke MK, apalagi UU yang berkaitan dengan kepentingan umum. Banyak sekali UU yang berkaitan dengan Pasal 33 UUD 1945 selalu kena dan dibatalkan MK. Paling banyak karena soal liberalisasi, terlalu bebas, meninggalkan sistem ekonomi yang dianut UUD. Misalnya, MK membatalkan UU Koperasi, UU Perairan Pesisir. UU Mineral dan Batubara juga kita perbaiki.

Analisis saya, bisa jadi itu karena pengaruh liberalisasi orang-orang yang masuk (DPR). Jadi, yang menang kepentingan modal. Itu yang saya khawatirkan.

Produk legislasi yang dihasilkan semakin kurang, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Jika dievaluasi, banyak UU setelah tahun 2004, walaupun sebelumnya juga ada, yang mengandung norma bersifat sesaat. Setelah itu, diubah kembali, atau diuji di MK. Banyak yang harus di-review oleh MK. Itu indikatornya.

Apa solusi yang Anda tawarkan untuk memperbaiki kondisi itu?          

MK dalam putusannya menyebutkan, penetapan calon terpilih yang tidak konstitusional adalah yang terbuka, tetapi setengah-setengah. Jadi, kalau mau terbuka, terbuka sekalian, kalau tertutup, tertutup sekalian.

Saya melihat, lebih bagus dikembalikan ke partai. Partai bisa berperan mengirim kader yang bagus. Jadi, biarkan partai mengader. Kemungkinan dinasti di partai juga ada, tetapi itu bisa dikontrol. Tinggal dibuat mekanisme yang transparan dalam tubuh partai. Ini akan mengurangi pertarungan bebas calon anggota legislatif. (Kompetisi) modal setinggi-tingginya akan berkurang karena semua berkampanye untuk rakyat. Tidak ada jorjoran untuk bayar (suara) rakyat.

Apakah partai bisa dipercaya bekerja transparan dan akuntabel?                           

Itu persoalan yang harus diperbaiki karena ini merusak rakyat. Perlu dibuat normanya. Partai harus diatur lebih detail di dalam UU sehingga ada ikatannya. UU Partai Politik kita sekarang ini hanya mengatur hal-hal umum saja.

Korupsi amat menggerogoti kewibawaan penegak hukum di negeri ini. Hamdan bersama delapan hakim konstitusi lainnya kini masih memikul tanggung jawab untuk memperbaiki citra MK yang sempat remuk setelah ketua MK sebelumnya ditangkap KPK dan terbukti korupsi.

Hamdan bercerita, salah satu topik percakapan sehari-hari sesama hakim konstitusi adalah tentang betapa memuakkannya korupsi. Tak terbayang dalam benak Hamdan, ternyata sesama hakim yang tiap hari terlibat percakapan itu juga korupsi.

Menurut Anda, mengapa siapa pun bisa tersangkut korupsi?

Di Indonesia, sejak zaman Belanda, pejabat menerima hadiah dan ucapan terima kasih itu dianggap normal. Apalagi kalau pemberian dianggap tidak mengorbankan kepentingan publik, tidak ada hubungannya dengan jabatan atau dengan putusan. Merasa sudah memberi perlakuan sama kepada semua orang sehingga boleh menerima ucapan terima kasih.

Sekarang kita harus ubah mindset-nya. Selama memegang jabatan, terima apa pun tidak boleh. Gratifikasi itu pintu masuk untuk yang lain. Setelah itu, orang membayar untuk mendapat izin atau proyek. Kalau hakim, ya, gratifikasi dan putusan.

Mengapa juga terjadi di MK? Apakah hakim tidak bisa saling mengawasi?

Salah satu kelemahan di MK, (semula) hanya mengandalkan integritas pribadi. Kalau terjadi sesuatu, baru membentuk Majelis Kehormatan Hakim. Mungkin karena itu ada loop hole. Kami jawab itu dengan mendirikan Dewan Etik yang punya kewenangan penuh, sewaktu-waktu ada laporan, kami bisa dipanggil. Sekarang saya merasa masing-masing hakim lebih terawasi.

Harapan yang masih ingin dicapai untuk MK ataupun pribadi?        

Saya ingin kehebatan MK pada masa datang ada pada stafnya, pada sistemnya. Sekarang saya wajibkan peneliti di MK sekolah lagi. Seluruh peneliti MK adalah doktor senior pada 10-15 tahun mendatang. Hakim itu, kan, keluar masuk, hanya lima tahun. Sehebat apa pun hakim yang baru masuk, ada masa adaptasinya. Kontinuitas akan terjaga karena back up oleh staf yang kuat. Ke depan, saya ingin peneliti di MK jadi jabatan bergengsi.

Untuk saya sendiri, impian yang belum tercapai adalah selesai sebagai hakim konstitusi dengan khusnul khotimah (berakhir dengan baik). Sampai di situ dulu. Enggak berpikir yang lain dulu karena itu saja berat bagi saya. Terlalu banyak fitnah. Terlalu banyak kecurigaan orang. Jadi hakim itu enggak gampang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar