Senin, 15 September 2014

Sang Pemanah Belum Merdeka

Sang Pemanah Belum Merdeka

Agus Dermawan T  ;   Konsultan Koleksi Benda-benda Seni Istana-istana Presiden
KOMPAS, 13 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Dalam film ”Soekarno” besutan Hanung Bramantyo, penonton disuguhi lukisan ”Memanah”. Lukisan itu digambarkan sebagai ”saksi hidup” perjuangan Soekarno pada pra-kemerdekaan, detik-detik proklamasi, sampai pasca proklamasi. Dalam film lukisan ”Memanah” tentu saja bukan aslinya, tetapi replikanya.

Lukisan ’Memanah’ menyimpan banyak cerita revolusi,” kata Henk Ngantung, pencipta lukisan tersebut, kepada saya pada September 1991.

Alkisah, lukisan mulai dikerjakan Henk pada akhir 1943. Karena keterbatasan kanvas, ia membuatnya di atas landasan tripleks berukuran 152 x 152 sentimeter. Lukisan cat minyak ini diikutkan dalam pameran Keimin Bunka Sidhoso (Lembaga Kebudayaan Jepang) di Jakarta pada tahun 1944. Bung Karno menonton pameran dan tertarik.

Beberapa minggu, Bung Karno lalu mendatangi rumah Henk dan menyatakan ingin membeli lukisan itu. Sebelum ”negosiasi” harga, Bung Karno mengkritisi bahwa lukisan itu sesungguhnya masih ada kelemahan pada penggambaran lengan. Bung Karno lantas memperagakan lengan orang memanah, dan Henk memperhatikan. Jadilah lengan Bung Karno sebagai model.

Setelah tuntas, lukisan diboyong Bung Karno ke rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56, untuk dipajang di beranda rumah. Bung Karno sangat menyukai lukisan ini lantaran temanya, orang memanah.

Dalam pemahamannya, memanah adalah lambang kesatria yang mengkristal dalam budaya Jawa serta kosmologi wayang. Panah dianggap representasi dari senjata utama bangsa Timur dan Selatan, seperti halnya senapan bagi bangsa Barat.

Kesukaan Bung Karno atas budaya memanah ini tergambar dari sejumlah koleksinya. Seperti patung karya K Strobl yang ditempatkan di halaman Istana Negara, serta patung Rama Memanah, penjaga gerbang Gelanggang Olah Raga Senayan.

Lukisan ini sudah lama jadi penjaga rumah Pegangsaan Timur. Bahkan, lukisan ini ditengarai tertembus tiga peluru di beberapa pojoknya akibat keributan bersenjata, sampai akhirnya dipindahkan ke Istana Merdeka.

Rusak berat

Namun, nasib lukisan ikonik ini sekarang memilukan. Kondisinya sangat rusak, tripleksnya mengelupas sehingga tidak mungkin dipajang lagi. Catnya rontok sepetak demi sepetak sampai akhirnya secara fisik, dalam ukuran mata seni rupa, sudah tidak bisa ditatap lagi.

Banyak upaya telah dilakukan oleh pengelola koleksi benda-benda seni Istana Kepresidenan. Namun, kebijakan pemerintah yang tidak menganggarkan biaya menyebabkan restorasi tidak bisa maksimal.

Ketiadaan biaya ini berlangsung sejak zaman Soeharto, ketika seluruh aset koleksi seni Istana (yang berjumlah sekitar 16.000, dengan lukisan sekitar 2.700) dimarjinalisasi dan tidak dianggap sebagai koleksi negara.

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara tidak menempatkan koleksi sebagai benda pertanggungan yang mesti dibiayai pemeliharaannya. Sebuah kebijakan keliru yang berusaha dikoreksi oleh (ujung) pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kerusakan berat lukisan ”Memanah” diiringi kerusakan puluhan lukisan bersejarah lain, yang sesungguhnya berharga tiada terkira.

Seperti lukisan ”Bung Karno Pada Hari Proklamasi” (Basoeki Abdullah), ”Di Bawah Penyiksaan Tentara Asing” (Dullah), ”Potret Megawati Soekarnoputri” (Lee Man Fong), ”Berjualan Ikan” (Hendra Gunawan), ”Aristoteles, Bola Dunia” (Raden Saleh), dan ”Gadis Memakai Caping” (Henk Ngantung).

Atas lukisan ”Memanah” yang nyaris tak dapat diselamatkan, saya berpendapat agar segera diciptakan replika atau repainting-nya. Reproduksi lukisan ini telah tercetak bagus dalam buku koleksi Bung Karno, Lukisan-lukisan dan Patung-patung Presiden Soekarno (1964), jilid 1, lukisan nomor 30.

Dari reproduksi itu seorang replikator ahli (repainter) bisa mencontoh secara sangat persis lukisan ”Memanah”, dengan ukuran yang hampir serupa.

Dalam kode etik, lukisan replika memang tidak boleh sama ukuran dengan aslinya, untuk menghindari tuduhan pemalsuan. Keberhasilan mereplika ini kelak bisa diteruskan untuk lukisan-lukisan bersejarah lain yang tidak dapat diselamatkan.

Kesedihan panjang

Elegi ”Memanah” selaras dengan kesedihan pelukisnya, Hendrik Joel Hermanus Ngantung. Pelukis kemerdekaan ini lahir di Bogor, 1921. Ia melukis sejak belia di Tomohon, Manado. Kemudian ia ke Batavia dan bergabung dalam Bataviasche Kunstkring. Pada zaman pendudukan Jepang, ia bergelut di Keimin Bunka Sidhoso.

Presiden Soekarno tertarik kepada Henk, yang semasa revolusi banyak membuat sketsa perjuangan. Ia lantas diangkat sebagai wakil gubernur Jakarta pada tahun 1961, dan menjadi gubernur tahun 1964, sampai akhirnya dilengserkan karena dianggap Sukarnois. Pada 1980-an Henk menderita kebutaan. Sebelum buta sama sekali, ia terus melukis.

Pada 29 November sampai 8 Desember 1991 Henk memamerkan lukisan-lukisannya di Galeri Jaya Ancol, Jakarta. Pameran menghadapi berbagai kendala karena Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) harus mengetahui siapa saja yang diundang pada malam pembukaan pameran gara-gara Henk dianggap seniman Sukarnois. Bakin khawatir pada malam pembukaan itu menjadi ajang reuni para Sukarnois.

Namun, akhirnya, pameran dibuka oleh Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto setelah mantan Gubernur Ali Sadikin mengkritik sikap pemerintah. Pembukaan pun diadakan dengan pengawasan sejumlah intel Orde Baru. Dalam sejarah, baru kali inilah para intel terlibat intens dalam ruang pameran.

Baru berlangsung beberapa hari, pameran ditutup paksa oleh pemerintah. Alasannya tidak jelas. Dalam kegelapan, Henk tentu sedih bukan kepalang. Beberapa hari setelah peristiwa itu, 12 Desember 1991, Henk Ngantung meninggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar