Sang
Pemanah Belum Merdeka
Agus Dermawan T ;
Konsultan
Koleksi Benda-benda Seni Istana-istana Presiden
|
KOMPAS,
13 September 2014
Dalam film ”Soekarno”
besutan Hanung Bramantyo, penonton disuguhi lukisan ”Memanah”. Lukisan itu
digambarkan sebagai ”saksi hidup” perjuangan Soekarno pada pra-kemerdekaan,
detik-detik proklamasi, sampai pasca proklamasi. Dalam film lukisan ”Memanah”
tentu saja bukan aslinya, tetapi replikanya.
Lukisan ’Memanah’
menyimpan banyak cerita revolusi,” kata Henk Ngantung, pencipta lukisan
tersebut, kepada saya pada September 1991.
Alkisah, lukisan mulai
dikerjakan Henk pada akhir 1943. Karena keterbatasan kanvas, ia membuatnya di
atas landasan tripleks berukuran 152 x 152 sentimeter. Lukisan cat minyak ini
diikutkan dalam pameran Keimin Bunka Sidhoso (Lembaga Kebudayaan Jepang) di
Jakarta pada tahun 1944. Bung Karno menonton pameran dan tertarik.
Beberapa minggu, Bung
Karno lalu mendatangi rumah Henk dan menyatakan ingin membeli lukisan itu.
Sebelum ”negosiasi” harga, Bung Karno mengkritisi bahwa lukisan itu
sesungguhnya masih ada kelemahan pada penggambaran lengan. Bung Karno lantas
memperagakan lengan orang memanah, dan Henk memperhatikan. Jadilah lengan Bung
Karno sebagai model.
Setelah tuntas,
lukisan diboyong Bung Karno ke rumahnya, Jalan Pegangsaan Timur 56, untuk
dipajang di beranda rumah. Bung Karno sangat menyukai lukisan ini lantaran
temanya, orang memanah.
Dalam pemahamannya,
memanah adalah lambang kesatria yang mengkristal dalam budaya Jawa serta
kosmologi wayang. Panah dianggap representasi dari senjata utama bangsa Timur
dan Selatan, seperti halnya senapan bagi bangsa Barat.
Kesukaan Bung Karno
atas budaya memanah ini tergambar dari sejumlah koleksinya. Seperti patung
karya K Strobl yang ditempatkan di halaman Istana Negara, serta patung Rama
Memanah, penjaga gerbang Gelanggang Olah Raga Senayan.
Lukisan ini sudah lama
jadi penjaga rumah Pegangsaan Timur. Bahkan, lukisan ini ditengarai tertembus
tiga peluru di beberapa pojoknya akibat keributan bersenjata, sampai akhirnya
dipindahkan ke Istana Merdeka.
Rusak berat
Namun, nasib lukisan
ikonik ini sekarang memilukan. Kondisinya sangat rusak, tripleksnya
mengelupas sehingga tidak mungkin dipajang lagi. Catnya rontok sepetak demi
sepetak sampai akhirnya secara fisik, dalam ukuran mata seni rupa, sudah
tidak bisa ditatap lagi.
Banyak upaya telah
dilakukan oleh pengelola koleksi benda-benda seni Istana Kepresidenan. Namun,
kebijakan pemerintah yang tidak menganggarkan biaya menyebabkan restorasi
tidak bisa maksimal.
Ketiadaan biaya ini
berlangsung sejak zaman Soeharto, ketika seluruh aset koleksi seni Istana
(yang berjumlah sekitar 16.000, dengan lukisan sekitar 2.700) dimarjinalisasi
dan tidak dianggap sebagai koleksi negara.
Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara tidak menempatkan koleksi sebagai benda pertanggungan yang
mesti dibiayai pemeliharaannya. Sebuah kebijakan keliru yang berusaha
dikoreksi oleh (ujung) pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kerusakan berat
lukisan ”Memanah” diiringi kerusakan puluhan lukisan bersejarah lain, yang
sesungguhnya berharga tiada terkira.
Seperti lukisan ”Bung
Karno Pada Hari Proklamasi” (Basoeki Abdullah), ”Di Bawah Penyiksaan Tentara
Asing” (Dullah), ”Potret Megawati Soekarnoputri” (Lee Man Fong), ”Berjualan
Ikan” (Hendra Gunawan), ”Aristoteles, Bola Dunia” (Raden Saleh), dan ”Gadis
Memakai Caping” (Henk Ngantung).
Atas lukisan ”Memanah”
yang nyaris tak dapat diselamatkan, saya berpendapat agar segera diciptakan
replika atau repainting-nya. Reproduksi lukisan ini telah tercetak bagus
dalam buku koleksi Bung Karno, Lukisan-lukisan dan Patung-patung Presiden
Soekarno (1964), jilid 1, lukisan nomor 30.
Dari reproduksi itu
seorang replikator ahli (repainter) bisa mencontoh secara sangat persis
lukisan ”Memanah”, dengan ukuran yang hampir serupa.
Dalam kode etik,
lukisan replika memang tidak boleh sama ukuran dengan aslinya, untuk
menghindari tuduhan pemalsuan. Keberhasilan mereplika ini kelak bisa
diteruskan untuk lukisan-lukisan bersejarah lain yang tidak dapat
diselamatkan.
Kesedihan panjang
Elegi ”Memanah”
selaras dengan kesedihan pelukisnya, Hendrik Joel Hermanus Ngantung. Pelukis
kemerdekaan ini lahir di Bogor, 1921. Ia melukis sejak belia di Tomohon,
Manado. Kemudian ia ke Batavia dan bergabung dalam Bataviasche Kunstkring.
Pada zaman pendudukan Jepang, ia bergelut di Keimin Bunka Sidhoso.
Presiden Soekarno
tertarik kepada Henk, yang semasa revolusi banyak membuat sketsa perjuangan.
Ia lantas diangkat sebagai wakil gubernur Jakarta pada tahun 1961, dan
menjadi gubernur tahun 1964, sampai akhirnya dilengserkan karena dianggap
Sukarnois. Pada 1980-an Henk menderita kebutaan. Sebelum buta sama sekali, ia
terus melukis.
Pada 29 November
sampai 8 Desember 1991 Henk memamerkan lukisan-lukisannya di Galeri Jaya
Ancol, Jakarta. Pameran menghadapi berbagai kendala karena Badan Koordinasi
Intelijen Negara (Bakin) harus mengetahui siapa saja yang diundang pada malam
pembukaan pameran gara-gara Henk dianggap seniman Sukarnois. Bakin khawatir
pada malam pembukaan itu menjadi ajang reuni para Sukarnois.
Namun, akhirnya,
pameran dibuka oleh Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto setelah mantan Gubernur
Ali Sadikin mengkritik sikap pemerintah. Pembukaan pun diadakan dengan
pengawasan sejumlah intel Orde Baru. Dalam sejarah, baru kali inilah para
intel terlibat intens dalam ruang pameran.
Baru berlangsung
beberapa hari, pameran ditutup paksa oleh pemerintah. Alasannya tidak jelas.
Dalam kegelapan, Henk tentu sedih bukan kepalang. Beberapa hari setelah
peristiwa itu, 12 Desember 1991, Henk Ngantung meninggal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar