Senin, 15 September 2014

Memasung Pilkada Langsung

Memasung Pilkada Langsung

Refly Harun  ;   Pakar/Praktisi Hukum Tata Negara dan Pemilu
DETIKNEWS, 11 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Ramai-ramai Menolak 'Pilkada DPRD'

Tinggal berbilang hari lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakhiri 10 tahun masa pemerintahannya. Kita patut bersyukur karena SBY menjadi presiden satu-satunya dalam sejarah republik ini dengan masa jabatan paripurna. Soekarno, presiden pertama, dilengserkan MPRS pada tahun 1967 pasca meletusnya pemberontakan G 30 S-PKI. Soerhato, sang pengganti, dipaksa mundur pada tahun 1998 setelah 32 tahun berkuasa.

Lalu Habibie, penambal sisa jabatan Soerharto yang harusnya masih bersisa lima tahun, harus mengakhiri masa jabatan setelah menjabat selama satu tahun (1998-1999) karena percepatan pemilu. (Abdurrahman Wahid) Gus Dur, presiden pertama dalam era Reformasi, hanya bertahan kurang dari dua tahun (1999-2001) setelah dimakzulkan MPR dan kemudian digantikan Megawati dalam kurun sisa masa jabatan (2001-2004). Hanya SBY yang selamat sampai tujuan sebagaimana keyakinan lagu yang ia cipatakan: “Kuyakin sampai di sana”.

Warisan SBY

Terlepas dari kekurangan yang ada, dalam 10 tahun masa kepresidenannya, SBY telah mampu merawat demokrasi kita. Selama 16 tahun berlalu sejak era Orde Baru tumbang, Indonesia masih bisa mengklaim sebagai negara demokratis. Bandingkan dengan sejak tumbangnya Orde Lama yang kemudian digantikan Orde Baru, demokrasi hanya bertahun selama enam tahun (1965-1971). Pasca-Pemilu 1971, kekuasaan Orde Baru sudah terkonsolidasi dan kita kembali terjerambab pada jurang otoritarian.

Tinggal berbilang hari, SBY menjelang “Kuyakin sampai di sana”. Tentunya SBY ingin dicatat sebagai presiden dengan warisan (legacy) yang baik, terutama dalam aras demokrasi dan kedaulatan rakyat. Namun, gonjang-ganjing kehendak untuk mengembalikan pilkada kepada pemilihan oleh DPRD dan mengakhiri pemilihan oleh rakyat secara langsung dalam sembilan tahun terakhir telah mengancam SBY pada akhir pemerintahan yang tidak “khusnul khotimah”, akhir yang tidak berkebaikan.

Bila Megawati mengkahiri sisa pemerintahan Gus Dur dengan mengusung pilkada langsung, SBY terancam mengakhiri jabatannya dengan memasung pilkada langsung. Padahal, pilkada langsung, atau yang sering disebut dengan akronim “pemilukada”, adalah warisan SBY dan Indonesia yang patut dibanggakan dalam pembelajaran demokrasi dunia. Negara-negara lain belajar ke Indonesia tentang bagaimana cara menggerakkan mesin demokrasi dengan relatif aman dan tenteram tanpa keterpecahan. Dan pemilukada adalah bagian penting dari proses pembelajaran tersebut.
Kini, dengan menyelip di antara kubu Merah Putih, Demokrat, partai yang dipimpin langsung SBY, hendak mengantarkan SBY pada akhir kelam pembelajaran demokrasi dan penghormatan pada kedaulatan rakyat. Pemilukada, sarana bagi aktualisasi kedaulatan rakyat yang dilandaskan pada konstitusi, hendak digeser pada kemauan wakil-wakil rakyat di daerah, yang secara faktual akan tunduk pada kemauan segelintir elite di pusat kekuasaan Jakarta.

Kita tidak saja akan kehilangan pilkada langsung dengan pergeseran tersebut. Kita juga akan kehilangan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang mengatakan bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis. Ketika pilkada langsung bergeser pada pilkada tidak langsung di DPRD, kita sesungguhnya tidak akan mampu menahan jatuhnya pilkada dalam rezim oligarki elie Jakarta yang akan lebih berkuasa untuk menentukan siapa yang akan memimpin rakyat di daerah ketimbang DPRD itu sendiri. Ratusan jabatan kepala daerah di seantero Nusantara hanya akan menjadi ‘bancakan’ para elite pusat. Jabatan kepala daerah tinggal ditentukan para elite dengan cara memerintahkan anggota DPRD untuk memilih paket yang yang telah ditentukan. Para anggota DPRD tidak bisa menghindar karena hantu recall masih bergentayangan, yang setiap saat menakut-nakuti mereka. Jika mereka melawan dari kungkungan partai, pemecatanlah yang akan menjadi ganjarannya. Pada saat itulah kita akan kehilangan makna “demokratis” dari Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.

Haruskah SBY berdiam diri dari kondisi ini? Ini adalah pertanyaan besar yang jawabannya akan kita nanti pada detik-detik terakhir pengesahan RUU Pemilukada pada sekitar tanggal 24 atau 25 September nanti. Kalau mau dan masih berjiwa negarawan, SBY bisa setiap saat menggagalkan ‘konspirasi’ untuk menggeser pilkada dari rezim demokratis kepada rezim oligarkis.

Presiden dalam sistem ketatanegaraan kita memiliki 50 persen kekuasaan membentuk undang-undang karena “setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.” Jika tidak mendapat persetujuan bersama, RUU tersebut tidak boleh dimajukan lagi pada persidangan DPR masa itu (Pasal 20 Ayat [2] dan [3] UUD 1945).

Pasal 20 Ayat (2) dan Ayat (3) adalah aturan yang sesungguhnya menjadikan presiden jauh lebih kuat dalam relasi dengan DPR, tetapi sering jadi melemah dalam realitas politik sehari-hari. Kinilah saatnya Presiden SBY menggunakan 50 persen kewenangan legislasi tersebut untuk memblokade proposal perubahan pilkada langsung menjadi tidak langsung yang diusung Koalisi Merah Putih dengan cara menarik diri dari proses pembahasan. SBY tinggal memerintahkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi untuk tidak menghadiri lagi pembahasan RUU Pilkada bila proporsal dipilih DPRD tersebut terus dipaksakan.

Dengan penarikan diri pemerintah dari pembahasan RUU tersebut, usul kepala daerah dipilih DPRD tersebut akan menemui jalan buntu. Basis pemilukada akan kembali pada aturan-aturan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 (mulai Pasal 56 sampai dengan Pasal 119) berikut perubahannya yang sesungguhnya memang sudah mulai ketinggalan zaman dan compang-camping di sana-sini.

Apa boleh buat, jauh lebih baik mempertahankan yang lama dengan kelemahan ketimbang menempuh jalan baru tetapi membunuh demokrasi lokal yang sedang tumbuh dalam sembilan tahun terakhir. Lagipula, KPU sebagai penyelenggara pemilu dapat tetap menambal kekurangan tersebut dengan regulasi yang mereka buat sebagaimana yang telah dikerjakan selama ini.
Di hari-hari akhir pemerintahan, sikap SBY dinantikan banyak orang. Akankah sang presiden dengan masa jabatan paripurna tersebut tetap menjadi perawat dan penjaga demokrasi kita? Jawabannya kita akan pastikan hari-hari terakhir ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar