Tantangan
Gas Bumi Menggantikan BBM
di Transportasi
Agus Pambagio ;
Pemerhati
Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik
|
DETIKNEWS,
14 September 2014
Bahan
Bakar Minyak (BBM) saat ini masih menjadi primadona energi di industri dan
transportasi, meskipun suplainya minus (harus impor) dan harganya terus
meningkat. Jadi jangan heran jika neraca perdagangan kita di Anggaran Belanja
dan Pendapatan Negara (APBN) terus negatif karena impor BBM terus meningkat
nyaris tidak terkendali.
Di
sisi lain cadangan gas bumi kita masih tinggi dan sesuai dengan Peraturan
Menteri (Permen) ESDM No. 19/2010 Tentang Pemanfaatan Gas Bumi Untuk Bahan
Bakar Gas Yang Digunakan Untuk Transportasi telah menetapkan bahwa Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (K3S) wajib mengalokasikan sebesar 40% (empat puluh
persen) dari Domestic Market Obligation (DMO) untuk memenuhi kebutuhan Bahan
Bakar Gas untuk transportasi. Namun kenyataannya boleh dibilang sebagian gas
kita di ekspor untuk menambal APBN akibat terlampau semangatnya mengimpor
BBM.
Bagi
sektor industri, mereka siap menggunakan bahan bakar gas (BBG) sebagai sumber
energy. Namun ketersediaan BBG belum dapat diandalkan karena minimnya
infrastruktur gas, seperti regulasi yang kedaluwarsa dan lambannya
pertumbuhan pipanisasi. Hal tersebut yang membuat industri ragu kalau harus
mengandalkan sumber energinya pada gas, BBM masih sumber energi utama bagi
mereka.
Bagi
sektor transportasi juga begitu, kelangkaan infrastruktur, seperti pipanisasi
dan keberadaan Stasiun Pengisian Bahanbakar Gas (SPBG) masih menjadi
keengganan utama publik berpindah dari BBM ke. Pengalaman armada bus Trans
Jakarta menjadi bukti bahwa BBG belum bisa diandalkan sebagai sumber energi
di sektor transportasi.
Dengan
semakin terbatasnya kemampuan keuangan Negara untuk mengimpor BBM, maka
konversi BBM ke BBG menjadi salah satu keharusan yang harus segera
dilaksanakan oleh Pemerintah baru pimpinan Jokowi-Jusuf Kalla. Kondisi ini
tentunya sebuah tantangan untuk mereka berdua.
Kendala Utama Konversi
BBM ke BBG
Kendala
utama konversi BBM ke BBG untuk transportasi adalah adanya beberapa anggapan
keliru di kalangan masyarakat terkait dengan ketersediaan energi di
Indonesia. Pertama mereka masih beranggapan Indonesia adalah Negara yang kaya
minyak, padahal tidak. Kita lebih banyak memiliki energi lain seperti
batubara, gas, CBM (Coal Bed Methane), panas bumi, air, BBN (Bahan Bakar
Nabati) dan sebagainya.
Kedua,
harga BBM di Indonesia harus murah karena terus disubsidi tanpa berpikir
bahwa hal ini menyebabkan terkurasnya dana Pemerintah untuk subsidi BBM (Rp
246,49 triliun pada Tahun 2014). Alangkah dasyatnya jika dana subsidi BBM ini
dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Ketergantungan kita kepada
BBM membuat ketergantungan pada impor minyak dan BBM makin besar dan
berakibat energi lain yang terbarukan sulit berkembang.
Ketiga
sebagai sumber energi utama sektor transportasi, konversi BBM ke BBG beum
dapat berjalan dengan baik ketika harga per liter skala premium (lsp) masih
Rp. 3.100. Dengan harga serendah itu tidak mungkin dapat mengundang minat
swasta untuk membangun infrastruktur gas, seperti SPBU dan pipanisasi gas
karena pasti merugi. Sebagai contoh, membangun sebuah SPBG diperlukan investasi
sekitar Rp 20 miliar.
Harga
BBG seharusnya berkisar sekitar Rp. 4.500/lsp supaya investor, termasuk BUMN,
semangat untuk membangun infrastruktur BBG karena secara teknis
menguntungkan. Tanpa keuntungan yang berarti secara jangka panjang dan tanpa regulasi
yang jelas, jangan harap swasta mau terlibat. Investasi swasta di sektor BBG
juga akan semakin menggairahkan ketika Pemerintah mencabut subsidi BBM serta
harga solar dan premium mencapai sekitar Rp. 9.500/l.
Bagaimana
dengan industri kendaraan bermotor? Mereka posisinya sama dengan pengguna dan
operator BBG, yaitu menunggu kepastian pelaksanaan regulasi konversi BBM ke
BBG yang dibuat dan dilaksanakan oleh Pemerintah. Mereka akan berpartisipasi
ketika kepastian kebijakan dapat menjamin investasi yang mereka tanamkan.
Ketika
infrastruktur belum tersedia, jangan pernah berharap industri kendaraan
bermotor akan menyediakan converter untuk jenis kendaraan yang pernah
dibuatnya dan atau membuat kendaraan baru yang dapat menggunakan BBG, minimal
produk hybrid yang juga bisa menggunakan BBM dan atau BBG. Tanpa kepastian
tersebut mereka pasti menolak.
Industri
kendaraan bermotor tidak memerlukan imbauan, seperti yang selalu disampaikan
Pemerintah, tetapi memerlukan kepastian karena untuk memenuhi kebijakan
konversi BBM ke BBG, mereka memerlukan kajian teknis dan non teknis selama
kurang lebih 6 tahun.
Langkah ke Depan
Supaya Konversi Berhasil
Supaya
konversi BBM ke BBG berjalan baik seperti di India, Vietnam dll,pertama
Pemerintah harus menghapuskan subsidi BBM tidak lebih dari 2 tahun kedepan
dan segera menunjuk lead institution, misalnya PT PGN Tbk untuk melaksanakan
pengembangan BBG. Kemudian bersama-sama dengan industri kendaraan bermotor
(GAIKINDO) menyusun kembali Peta Jalan penggunaan BBG sebagai konversi BBM.
Kedua,
pengembangan BBG dengan pasar yang besar, skala ekonomi luas, dan investasi
besar, harus dipimpin oleh Pemerintah. Pemasaran BBG harus menggunakan
pendekatan resources driven bukan market driven. Misalnya, dimulai dengan
kendaraan yang relatif terkontrol misalnya angkutan umum, kota dan antar
kota, mobil dinas Kementrian dan Pemerintah Daerah lalu dilanjutkan dengan
kendaraan lain secara bertahap dan berkesinambungan melalui regulasi yang
jelas dan tegas. Bukan imbauan.
Ketiga,
Pemerintah harus memberikan insentif bagi pemilik kendaraan yang berminat
memakai BBG, misalnya memberikan diskon pembelian dan pemasangan converter
dan tabung gasnya (disubsidi oleh Pemerintah), atau memberikan diskon Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB) slama 3 tahun dan sebagainya.
Keempat,
Pemerintah harus memberikan insentif agar tercipta pasar yang meningkat pesat
untuk penggunaan BBG transportasi, antara lain : insentif bagi industri
kendaraan bermotor supaya memproduksi kendaraan baru dengan BBG, memberikan
subsidi harga converter untuk kendaraan lama, menyediakan lahan non sengketa
untuk SPBG serta menyediakan regulasi yang mewajibkan penggunaan BBG bagi
jenis kendaraan bermotor tertentu.
Kelima
pengembangan dan pemasaran BBG dilakukan secara terencana, terpadu, dan
komprehensif oleh semua pemangku kepentingan, seperti : Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, penyedia gas, pabrikan kendaraan bermotor, publik dan
SPBU/SPBG.
Keenam
Pemerintah harus segera menetapkan harga BBG yang lebih menguntungkan secara
keseluruhan, baik bagi pemilik kendaraan bermotor, industri (pemilik pabrik,
penghasil, transporter gas bumi), dan invetor SPBG. Konversi energi dari BBM
ke BBG tidak hanya menguntungkan publik tetapi juga negra karena dapat
menghemat biaya subsidi BBM. Semoga Pemerintahan baru berani melakukannya,
tidak terbatas pada slogan. Just do it!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar